Share

Tiba-tiba dilamar

Sore hari sepulang dari kantor, Rose pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalanan. Dia tinggal di sebuah kostan pinggir kota yang terletak cukup jauh dari ramainya hiruk - pikuk perkotaan.

Saat itu senja hampir terbenam, Rose menghentak - hentakkan kakinya ke tanah, kemudian mengangkat tangan kanannya, mengenalnya kemudian membukanya lebar dan melakukannya secara berulang-ulang.

"Sehari tidak memegang senjata, tidak nyaman sekali." ia bergumam sendiri. Tak berapa lama sebuah mobil berhenti di dekatnya, membuat Rose juga menghentikan langkah kakinya.

Rose mengenal mobil tersebut kemudian mendekat, perlahan kaca mobil pun turun "Masuklah!" ucap seorang pria yang tak lain adalah paman Marco. Tanpa pikir panjang Rose pun masuk ke dalam mobil Mereka kemudian pergi ke markas.

Markas tempat berkumpulnya para Assassin di bawah naungan Paman Marco, Arkansas. Organisasi yang terdiri dari sekitar 64 orang dengan 30% -nya adalah seorang wanita.

Dari banyaknya wanita, Rose merupakan orang yang paling terkenal, dia pun mendapatkan julukan sebagai pembunuh berdarah dingin dan Black Rose yang terkenal.

Entah kenapa hari itu itu Paman membawanya ke markas, mungkin ada sesuatu yang harus dibahas lagi mengenai keberadaan kunci tersebut.

Arkansas berada di tempat yang sangat jauh dari pemukiman warga, sebuah gedung bekas yang terbengkalai akhirnya dijadikan markas oleh Paman Marco sekitar 30 tahun lebih lamanya.

Dengan membuntuti Paman Marco Rose dibawa ke ruangan pribadinya, namun dalam perjalanannya tetiba dia mendengar seseorang menjerit sangat keras.

Rose menghentikan langkahnya, Paman pun ikut terhenti, "Paman, suara apa itu?" tanya Rose sembari menoleh pada suara teriakan tersebut berasal.

"Oh, seseorang yang sedang disiksa." balas Paman membuat Rose bergidik takut, kejam sekali, batinnya.

Perjalanan pun dilanjutkan, tibalah di ruangan pribadi paman. Paman duduk di kursinya sementara Rose duduk di salah satu sofa di sudut ruangan tersebut.

"Bagus Rose, sebuah awalan yang sangat bagus." ucap paman, dia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan rokok dan korek api.

"Apa kau mau?" tanyanya sembari menyodorkan bungkus rokok tersebut.

Rose mengerutkan alisnya "Aku tidak merokok!" dia mendengus kesal.

"Hm, baiklah. Ngomong-ngomong, bagaimana hari pertama bekerja? apakah menyenangkan?" tanya paman, dia mengambil sebatang rokok kemudian menyulutnya dengan korek api.

Rose menghela nafas kasar "Tidak buruk." balasnya simple.

Paman kemudian beranjak, Dia berjalan menuju sebuah brangkas di dekat tempat duduknya.

"Apapun dan bagaimanapun caranya, kau harus mendapatkan benda itu. tidak perlu terburu-buru, lakukan dengan perlahan dan bermain cantik."

"Aku tahu, sehari saja tidak membunuh orang pasti membuatmu bosan. Jangan khawatir, setelah misi ini selesai Paman akan memberikanmu banyak misi lagi."

Dia mengambil sebuah senjata api lalu meletakkannya di atas meja tepat didepan Rose.

"Edisi terbaru New York, Apa kau menyukainya?" Rose menyukai barang-barang seperti itu, Paman akan memberikannya barang-barang baru untuk membuat performa Rose meningkat.

Terbukti saat melihat benda itu mata langsung berbinar - binar, Rose lalu mengambil senjata api tersebut "Wah, apa ini untukku?" tanyanya.

Paman menghembuskan asap rokoknya "Tentu saja untuk keponakan Paman tersayang."

"Terima kasih, paman."

"Kau boleh membawanya, pulanglah, kau pasti lelah karena baru pulang bekerja." ucap paman.

Rose mengangguk semangat, dia langsung beranjak dari tempat duduknya "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu sampai jumpa paman."

Rose berlalu pergi, melihatnya yang begitu bersemangat membuat paman merasa bangga. dia tersenyum menyeringai kemudian mematikan rokoknya. 

Hari berganti, dikantor pukul jam 7.30 Rose sudah stand by di tempat duduknya. Diperkirakan mungkin El akan datang siang seperti sebelumnya.

Rose pun menggunakan kesempatan itu untuk mencari tahu tentang keberadaan kunci yang dia cari. dengan hati-hati dan penuh waspada, dia membuka satu demi satu laci di meja kerja El.

Sayangnya tak satu pun dari laci tersebut ia menemukan petunjuk. Rose berdiri sembari celingukan, dia berpikir kira-kira dimana benda tersebut diletakkan.

Namun belum sempat ia melangkahkan kaki tiba-tiba pintu terbuka, sontak Rose langsung berdiri tegak. Tak lama masuklah pria yang tak lain adalah bosnya, El.

"Selamat pagi Pak." Sapa Rose pagi itu pada bosnya.

"Pagi." balas El simple. Dia kemudian berjalan menuju tempat duduknya dengan tanpa menghiraukan keberadaan Rose.

Hari ini bosnya terlihat berbeda dari sebelumnya, kantung matanya menghitam serta rambut yang sedikit berantakan, dia pun sesekali menguap.

Rose menggelengkan kepalanya, berusaha mengabaikan hal itu lalu kembali duduk di tempatnya.

Beberapa saat kemudian "Hua, Lina, tolong buatkan kopi untukku!" perintah El sembari menguap.

Tidak sopan sekali! Gerutu Rose dalam hati, meski begitu dia menuruti perkataan El dan beranjak dari kursinya untuk membuatkan kopi.

Dia berjalan menuju pintu, namun belum sempat disentuh, pintu terbuka dengan sendirinya.

Duk!

Pintu terbanting begitu keras sampai menghantam wajah Rose, membuat dahi dan hidungnya berdarah "Sialan!" Rose mengepalkan tangannya.

Tak lama masuklah seorang wanita berumur sekitar 40 tahunan, dia terlihat muda dan cantik dengan rambut panjang disanggul, dengan begitu penuh karisma dia masuk dengan tidak memperdulikan Rose yang terluka.

"El!" panggilnya dengan suara cukup lantang.

Rose melirik bosnya yang memasang wajah tidak suka "Apa yang kau lakukan disini, Bu? Membuka pintu tidak bisakah pelan - pelan?" ia melirik Rose yang terluka, diikuti oleh ibu yang meliriknya.

"A-aku tidak sengaja, maaf, asistenku akan membawamu untuk mengobati luka itu." ucap ibu pada Rose.

"T-tidak perlu. Tolong ambilkan kotak P3Knya saja, biar aku yang obati." ia menolak halus, mungkin akan lebih menyenangkan jika tetap disana dan melihat pertunjukan yang menyenangkan terjadi didepan mata.

"El! Ibu datang dengan beberapa wanita cantik. Silahkan pilih." ucapnya lembut.

"Aku tidak mau! Bawa pergi wanita - wanitamu itu!" tolak El.

"Tidak bisa! Hari ini juga kau harus memilih calon istri, ibu sudah tua dan ingin segera menggendong cucu!" bersikeras.

Rose tersenyum menyeringai, tidak dia sangka bisa menikmati pertunjukan yang begitu menyenangkan.

Terdengar helaan nafas kasar El, dia melangkahkan kakinya mendekati ibunya, kedua tangannya kemudian mendarat di pundak ibu.

"Aku tidak mau, sekarang ibu pergi. Aku sibuk, masih ada pekerjaan." ucapnya, membalikkan tubuh ibunya lalu mendorong pelan.

"Percuma, ibu tidak akan pergi sebelum kau memilih salah satu gadis. Setelah itu baru ibu akan pergi." mempertahankan keras kepalanya, keduanya sama sekali tidak mau mengalah.

El menggertakkan giginya, entah bagaimana lagi harus menghadapi sikap itu tersebut "Aku sudah punya pacar." ucapnya, berniat ingin membuat ibu menyerah.

"Haaa? Benarkah? Siapa? Kapan akan menikahinya?" malah lebih parah.

"Ibu pulang dulu, nanti kita bicarakan dirumah."

Ibu menepis tangan El "Tidak mau. Sekarang telpon pacarmu, ibu ingin bertemu dengannya. Kalau tidak, ibu tidak pergi." dia kemudian duduk di sofa.

Tidak ada pilihan lain, El sudah sangat lelah menghadapi sikap ibu dan keinginannya itu. Dia berjalan menghampiri seorang wanita, tindakannya itu membuat semua orang penasaran dimanakah langkahnya akan terhenti.

Tap!

Akhir langkah El, dia berhenti didepan seorang wanita lalu dia memegang merangkul bahu wanita tersebut "Ibu, dia pacarku. Dan tidak lama lagi aku akan menikahinya. Rosélina."

Deg! Deg!

Rose membelakkan matanya lebar - lebar, pikirannya langsung tak karuan.

"Hah?" ia terkejut bagai baru saja disambar halilintar. Dan tiba - tiba..

Gubrak!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status