Share

Bab 2

Penulis: Mas Khalid
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-21 14:04:03

Part 2

Ucapan Kania hari itu selalu terngiang-ngiang. Beberapa kali ia berusaha menepis rasa curiga, yang sempat terlintas akibat ucapan rekan kerjanya tersebut.

Gak mungkin mas Bara mandul. Bukankah ia terlihat baik-baik saja dan memiliki sperma yang cukup bagus. Alice membatin dalam hatinya. Seraya mengungat-ingat kembali, saat dirinya berhubungan intim dengan sang suami.

Tiba-tiba sebuah suara khas mengejutkan dirinya, dan telah berada tepat di belakangnya.

"Wah, wah, ternyata begini toh kerjaan kamu saat sedang libur kerja. Lihat nih, rumah berantakan kaya gini tapi kamu malah leyeh-leyeh." Mariam tersenyum sinis ke arah Alice. 

"Bu, kapan datang?" Alice segera menghampiri dan mencium tangan Mariam.

"Sudah dari tadi. Ibu ucapin salam, tapi kamu tidak juga menyahut. Akhirnya ibu langsung masuk saja." Mariam menjawab seraya menerima tangan Alice dengan ekspresi datar.

"Maaf Bu, aku sedang menyelesaikan pekerjaan. Besok ada event, jadi harus benar-benar dipersiapkan dengan matang." Alice tersenyum lalu mempersilahkan Mariam untuk duduk.

Tanpa ekspresi sedikit pun, Mariam langsung duduk di sofa pijat yang tersedia di pojok ruangan.

"Ibu mau refleksi dulu. Kamu nyalakan mesinnya." Titah Mariam, yang kemudian memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya membuka sebentar untuk melihat pergerakan tubuh Alice.

"Pantas saja kamu belum bisa punya anak. Lah wong mikirin kerjaan terus, bukan mikirin gimana caranya punya anak!" cetus Mariam santai.

Alice hanya tersenyum, ia sudah tidak kaget lagi dengan ucapan sang ibu mertua. Bahkan, ia selalu mempersiapkan telinganya untuk mendengar cacian Mariam setiap bertemu dengannya.

"Kalo dibilangin kok malah senyum-senyum. Kamu tuh mikir kenapa sih, Lice! Ibu malu loh, kalo dengar omongan tetangga di rumah. Lihat kakaknya Bara, baru nikah tiga tahun saja, sudah punya anak dua." Mariam terus saja bicara, sambil menikmati pijatan pada kursi yang di dudukinya.

Ya beda dong, Bu. Kan kalo mbak Anisa nabung duluan, makanya bisa punya anak dua dalam waktu tiga tahun pernikahan. Alice menggumam seraya meletakkan teh manis hangat di atas meja.

"Kamu bilang apa barusan? Ibu ndak dengar." Mariam membuka matanya dan mengarah ke tempat Alice duduk.

"Ndak apa-apa, Bu. Cuma bilang silahkan di minum tehnya." Alice kembali tersenyum dan menatap ke arah Mariam.

"Oh, nanti sajalah minumnya. Ibu mau pijat dulu." Mata Mariam kembali terpejam usai mengatakan hal tersebut. Hatinya selalu kesal dengan sikap Alice, yang begitu tenang saat di sindir perihal kehamilannya.

"Kamu sudah ke dokter lagi?" tanya Mariam selang beberapa menit kemudian.

Alice yang tengah serius menatap layar laptopnya langsung menoleh dan menjawab, "Sudah Bu." 

"Apa kata dokter?" 

"Mas Bara di suruh hadir juga dalam pemeriksaan." 

"Loh, kenapa bawa-bawa Bara? Kan bukan dia yang hamil?!" Mariam bertanya dengan wajah kesal.

"Kalau dalam keterangan dokternya, kedua belah pihak harus ikut diperiksa, Bu. Bukan salah satu saja." Alice menimpali pertanyaan Mariam, dengan menatap lekat wajah wanita paruh baya tersebut.

"Aah! Itu sih bisa-bisaan kamu, bilang saja minta ditemani ke dokter. Dasar manja!" cetus Mariam seraya memejamkan matanya kembali.

Alice hanya tersenyum mendengar ucapan sang ibu mertua. Meski dalam hatinya selalu terasa sakit, setiap habis mendengar ucapan Mariam, namun ia tetap sikapi dengan senyuman.

"Kalau sampai tahun depan kamu belum juga hamil, Ibu mau jodohkan Barana dengan anak sahabat sekolah Ibu dulu. Dia seorang janda, baru punya anak berusia lima tahun. Cantik, pekerja kantoran, dan yang pasti bisa memberikan keturunan untuk Barana. Tidak seperti kamu!" Mariam kembali berkata, namun kali ini penuh dengan penegasan. 

Alice yang mendengar ucapan Mariam barusan, segera mengalihkan pandangannya dari laptop. Tubuhnya tiba-tiba terasa sangat sesak dan tak berdaya, bagaikan dihantam palu dari berbagai arah dan meluluh lantakan pertahanannya selama ini.

Senyum manis yang selalu menghiasi bibirnya, adalah perisai diri agar ia terlihat baik-baik saja meskipun dicaci dan dihina seperti apapun. Akan tetapi kali ini, perisai itupun telah hancur dan sirna.

Tangisnya pun sudah tak tertahan lagi. Alice segera berlari menuju kamarnya, mengabaikan teriakan dari Mariam yang tengah tersenyum sinis.

Biar mikir tuh anak! Di diamkan bertahun-tahun, gak mikir juga. Dia pikir aku gak malu apa, setiap arisan pada menanyakan kondisinya! Mariam menggumam sambil menikmati pijatan di kursi refleksi tersebut.

Matanya kembali terpejam dan mengingat pertemuannya dengan Indah beberapa waktu lalu. Senyum menghiasi bibirnya yang tebal, karena mengingat ucapan sahabatnya itu.

"Mar … gimana kabarnya putramu, Bara? Sudah hamil belum istrinya?" Indah bertanya sambil menyesap es teh manis di hadapannya.

"Belum Ndah, gak tahulah aku harus apalagi. Padahal mereka sudah ke dokter manapun dan belum membuahkan hasil juga." Mariam menjawab pertanyaan sahabatnya dengan wajah belagak bersedih.

"Lah terus dokter bilang apa?"

"Ya katanya mereka berdua baik-baik saja. Tapi ya begitulah, tetap saja belum dikaruniai anak. Aku jadi pusing dan malu, Ndah." Mariam memasang mimik sedih dihadapan sahabatnya. 

Sebenarnya sejak dulu Mariam menginginkan Barana menikah dengan putrinya Indah. Tapi apa daya, Barana menolak dan memilih menikah dengan Alice.

"Coba kalau dulu dia nikah dengan Sarah, pasti sekarang udah bahagia hidupnya!" cetus Mariam melirik ke arah Indah. 

"Sayangnya, Sarah pun sudah bahagia dengan pilihannya sekarang." Mariam kembali menambahkan ucapannya. Ia ingin melihat ekspresi sahabat, yang telah lama tidak bertemu dengannya itu.

"Mar … kamu tahu tidak? Sebenarnya Sarah sudah berpisah dengan suaminya sejak setahun lalu. Suaminya ketahuan berselingkuh dan telah mempunyai anak dari selingkuhannya tersebut." Wajah sedih Indah mulai terlihat saat menceritakan kehidupan putrinya.

"Astaghfirullah … kasihan Sarah. Coba jika dia menikah dengan Barana, pasti tidak akan mengalami hal seperti itu." Mariam segera memeluk Indah dan menghiburnya.

Indah hanya tersenyum sesaat sebelum akhirnya ia memiliki sebuah ide untuk Sarah dan Barana.

"Mar, kita nikahkan saja Barana dengan Sarah. Putramu tidak harus bercerai dengan istrinya, cukup jadikan Sarah istri kedua. Bagaimana menurutmu?" tanya Indah dengan tatapan penuh harap kepada Mariam.

Mariam yang mendengar ide Indah segera menyetujuinya. Ia pun segera memeluk sahabatnya kembali dan berkata, "Tapi kita jangan tergesa-gesa dulu, Ndah. Beri waktu pada mereka untuk saling dekat kembali. Aku pun sekalian memberi ultimatum kepada menantuku, agar ia berpikir."

Indah tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Mereka berdua kemudian tertawa lepas, membayangkan kelak kedua anak mereka benar-benar menikah.

**

Sejak mendengar ucapan Mariam beberapa hari lalu, hati Alice berubah menjadi penuh curiga kepada suaminya. Terlebih jika Barana tidak memberinya kabar sama sekali jika sedang berada di kantor atau di luar rumah.

Tangisnya kembali pecah, mengingat semua hal yang ia alami. Tak ada tempat baginya untuk bercerita, perihal rencana sang ibu mertua. 

Alice bukanlah tipe yang mudah percaya dengan orang lain. Alhasil ia pun menghabiskan waktu sendirian dengan menangis dan meratapi hidupnya.

                      ***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 24

    Part 24Rintihan suara kesakitan terdengar begitu jelas di telinga Barana, sehingga membuatnya penasaran ingin melihat siapakah yang baru saja masuk ke ruang UGD tersebut. Namun sayangnya, Mariam pun tengah membutuhkan dirinya."Dok … tolong anak saya, Dok!" seru suara di sebelah ranjang Mariam, yang hanya terhalang oleh tirai.Barana tersentak kaget saat mendengar suara itu. Suara yang tidak begitu asing di telinganya, yang membuat hatinya tergelitik untuk mengetahui orang tersebut."Mama Indah!" Barana tersentak kaget, saat mengetahui siapa pemilik suara tersebut."Barana?!" Indah pun tak kalah kaget saat mengetahui siapa yang memanggilnya."Siapa yang sakit, Ma?" tanya Barana khawatir."Kamu sendiri ngapain di sini?" Indah malah balik bertanya pada menantunya."Ibu terkena stroke, Ma. Tadi mendadak pingsan di rumah." Barana menoleh ke arah ranjang Mariam."Ya Allah Mariam … terus bagaimana keadaan ibumu sekarang?" tanya Indah.Barana kemudian menceritakan kepada Indah, semua ucapan

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 23

    Part 23Perceraian Alice dengan Barana sudah melewati waktu hampir satu tahun. Devan yang pada akhirnya mengetahui status Alice, mencoba memberi sinyal kepada wanita itu agar mau menerimanya. Namun sayang, rasa trauma dan juga takut akan mendapatkan perlakuan yang sama, membuat Alice masih mempertimbangkan semuanya.Hingga suatu hari Kania menghubungi dirinya. Nada bicaranya seolah terdengar sedikit sedih. Namun Alice berusaha untuk tidak terpengaruh."Devan sudah cukup lama menunggu kepastianmu loh, Lice," ungkap Kania."Siapa yang menyuruhnya untuk menungguku, Nia?" Alice malah membalikkan pertanyaan."Alice … tolonglah! Jangan biarkan rasa takut itu terus menghantui dirimu seumur hidup. Dokter telah menyatakan kandunganmu sehat dan baik-baik saja. Ayolah Lice, buka matamu! Di luar sana, ada seorang pria yang masih menunggumu dengan sabar dan setia!" cetus Kania sedikit kesal.Alice terdiam. Pikiran melayang kepada pria yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Devan, pria tampan juga mapa

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 22

    Part 22Pertengkaran terus mewarnai kehidupan Barana dengan Sarah. Terlebih pasca dirinya bercerai, sikap wanita itu malah semakin menjadi. Bahkan kali ini Sarah menuntut agar ia dinikahi secara negara.Sarah yang memang berniat menuntut harta gono-gini milik Barana, mencoba mendatangi Alice ke rumahnya. Kedatangannya bersama Mariam tersebut tanpa sepengetahuan Barana, namun sayangnya wanita itu telah pindah rumah. Amarah Mariam pun meledak, saat mengetahui Alice telah menjual rumahnya tanpa memberikan uang sepeser pun kepada Barana.Wanita paruh baya itu pun mencoba mencari dimana Alice tinggal sekarang. Namun hasilnya nihil, karena tidak seorangpun yang ingin memberitahukan keberadaan Alice.Sebenarnya rumah itu dibeli oleh Devan, bukan dengan orang lain. Karena saat Alice ingin menjualnya, ia merasa kesulitan karena lama terjual. Alice pun tidak tahu, jika rumah itu dibeli oleh Devan. Karena semua urusan jual beli tersebut di urus oleh asisten pribadi pria itu. Devan memang seng

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 21

    Part 21"Suami kamu?" tanya Devan singkat."Akan menjadi mantan suami," sahut Alice acuhDevan tersenyum mendengar ucapan Alice. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan makan siang, dan mengabaikan kejadian barusan.Alice yang melihat sikap acuh Devan atas kejadian tadi hanya tersenyum. Setidaknya ia tahu bagaimana karakter Devan, jika menghadapi suatu masalah."Apakah itu istri keduanya?" tanya Devan lagi, diselimuti rasa penasaran.Alice hanya menganggukkan kepala tanpa berkata-kata. ia tetap menikmati makan siang kesukaannya tersebut. Seolah tidak terpengaruh oleh kata-kata Devan barusan."Apa kamu mengetahui pernikahannya tersebut?" selidik Devan."Tahu dan aku mengijinkannya." Alice menimpali ucapan Devan dengan santai.Sikap Alice tersebut membuat Devan terkejut, sebelum akhirnya kembali tersenyum. Ia sudah membayangkan, bagaimana sabarnya Alice dalam menjalani rumah tangganya."Hey Van, lanjutkan makanmu. Kok malah bengong?" ledek Alice melihat pria itu terus menatap

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 19

    Part 19Kejadian hari itu menyisakan trauma yang mendalam bagi Alice. Sejak saat itu gerbang rumahnya di gembok, dan melarang siapapun masuk ke rumah tanpa ada janji dengannya.Kania yang sempat mendengar pertengkaran antara Alice dengan Mariam pun jadi mengetahui jika ternyata sahabatnya itu telah mengajukan gugatan cerai.Akan tetapi Kania berpura-pura tidak mengetahui sampai Alice menceritakan sendiri kepada dirinya. Devan pun sudah beberapa kali menghubungi Kania dan menanyakan perihal sahabatnya tersebut, namun ia menutupi dan meminta Devan untuk mencari tahu sendiri perihal Alice."Tega kau, Nia! Masa sama teman sendiri gak mau kasih kisi-kisi." Suara bariton Devan terdengar kecewa dari seberang sana.Kania hanya tertawa mendengar ucapan teman semasa kuliahnya itu."Lebih baik kamu cari tahu sendiri deh, Van. Kurang seru kalo dari kisi-kisi." Kania menggoda Devan."Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan dariku sih? Cukup bilang dia ada suami atau tidak, simple kan?" Devan terus

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 18

    Part 18Makan malam pertama yang terjadi antara mereka, menyisakan kesan yang mendalam. Gaya Devan yang santai dan acuh, jauh dari kesan seorang CEO terkenal. Justru membuat Alice semakin tertarik untuk mengenal pria itu lebih dekat.Gelak tawa selalu terurai dari bibirnya di malam itu. Sehingga membuat Kania senang, melihat wajah sahabatnya begitu bahagia.Sebenarnya Kania tahu jika Alice akan mengajukan gugatan cerai. Namun ia sungkan untuk menanyakannya lebih jauh lagi, karena tidak ingin dianggap mempengaruhi keputusan Alice untuk bercerai dari Barana.Malam itu rona bahagia terus menggelayuti wajah cantik Alice. Bahkan saat Devan memutuskan untuk mengantarkannya pulang pun, Alice tidak menolak sama sekali. Kania yang sadar diri, menolak pulang bersama mereka. Ia beralasan di jemput oleh sang suami dan akan langsung menuju rumah orang tuanya.Devan dan Alice percaya dengan alasan Kania. Keduanya lalu pulang bersama menggunakan mobil Alice, diikuti oleh asisten pribadi Devan yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status