"Ya Tuhan, masa sih Rani membawa BPKBku?" tanyanya lemas. "Dasar istri nggak wajar! Udah minggat, bawa BPKB suami!"
Rudi merasa mendadak kepalanya nyut-nyutan. Motor Yamaha All new R-15 nya terancam diambil orang kalau BPKBnya entah kemana.
"Aduh, Ya Tuhan. Kemana lagi sih aku harus mencari Rani?" gumam Rudi setengah frustasi.
Sekali lagi dia mencoba menelepon Rani, namun sayangnya ponsel Rani tetap tidak aktif.
"Astaga, kemana sih Rani? Kemana harus kucari ya? Rani sudah tidak punya orang tua. Satu-satunya yang tersisa dari saudara Rani adalah kakak lelakinya di luar pulau. Tapi masa Rani berani ke sana sendirian malam-malam begini?" gumam Rudi.
"Ah, bodo amat. Aku telepon aja kakaknya. Kalaupun kakaknya Rani nanti ngomelin aku, biar aku blokir aja sekalian."
Rudi menekan nomor kontak kakak iparnya, dan tak lama kemudian nada sambung berubah menjadi suara laki-laki.
"Halo, Uda."
"Halo Rud, tumben telepon. Ada apa?"
Rudi menelan ludah. Bingung hendak meneruskan pertanyaannya.
"Heh, kamu itu kenapa Rud. Kamu yang telepon kok malah kamu yang diam aja. Apa ada sesuatu yang terjadi pada Rani?" tanya kakak iparnya panik.
"Emm, apa Rani mengabarkan ke Uda kalau dia akan ke rumah Uda?"
"Nggak Rud. Memang kenapa? Apa Rani tidak ada di rumah? Coba cerita Rud, jangan berbelit-belit!"
"Anu Da, Rani pergi sama laki-laki lain saat aku sedang bekerja." Akhirnya Rudi mengatakan hal yang sejujurnya.
"Apa? Enggak mungkin! Keluarga kami bukan tipe keluarga pengkhianat. Pasti kamu memfitnah Rani. Atau kalian menyakiti Rani sehingga membuatnya pergi. Jujur kamu!"
"Enggak Da. Ini ada surat pamitnya. Nanti aku fotokan."
"Rud, aku sudah mengenal Rani saat masih kecil. Dia tipe orang yang memegang teguh komitmen. Dia tidak akan pergi kalau tidak disakiti lebih dulu. Dia adalah perempuan yang sangat setia kawan. Tidak mungkin dia pergi dengan laki-laki lain. Awas kalau kamu ketahuan menyakiti adikku, aku tidak akan tinggal diam, Rud!" seru kakak iparnya.
"Tapi Rani juga membawa pergi BPKB motor saya, Da. Saya kan bingung?!"
"Jadi kamu mencari Rani karena Bpkb mu yang nggak ada di rumah? Tadi kamu menuduh Rani kabur dengan lelaki lain, sekarang kamu menuduh Rani kabur membawa BPKBmu? Rani bukan maling dan Rani bukan pengkhianat, Rud!"
Tangan Rudi gemetar dan tanpa salam terlebih dahulu dia mematikan sambungan teleponnya lalu memblokir nomor kakak iparnya.
"Hadeh, niatnya nyari istri malah dapat omelan dari kakaknya. Apes deh nasib hari ini."
Rudi memukul jidatnya sendiri. Dengan rasa lelah, dia menyandarkan punggungnya ke dipan ranjang.
"Ck, gara-gara Rani ngilang, aku belum sempat membersihkan tubuh setelah kerja. Mandi dulu sajalah. Daripada pusing nggak jelas."
Rudi pun meraih handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.
"Aduh, dingin banget!" serunya saat memegang air di dalam bak. Mendadak dia teringat Rani yang selalu bersedia menjerangkan air untuk mandinya.
"Hm, dipikir aku enggak bisa tanpa kamu, Ran? Aku pasti bisa. Sebelum ada kamu, aku juga biasa merebus air sendiri," gumam Rudi lalu beranjak ke dapur.
Setelah air panas, lelaki itu menuangnya ke dalam bak mandi dengan ditambah air dingin.
Setelah merasa segar dan tidak terlalu lelah lagi, Rudi segera menuju ranjangnya.
Lagi-lagi dia teringat Rani yang tidak pernah mengeluh untuk diajaknya memenuhi kebutuhan biologisnya.
"Ah, Rani, masa sih kamu pergi dari rumah karena perkenalan seharimu dengan petugas bank Emok. Sepertinya tidak mungkin," sahut Rudi.
Tepat saat dia hendak memejamkan matanya, ponselnya berdenting. Rudi dengan bersemangat meraih ponselnya. Siap mengomel pada Rani.
Dahinya berkerut tapi tak berapa lama kemudian senyumannya terkembang.
[Mas, ini Nilam. Kamu nggak terluka kan? Sebagai permintaan maaf, besok aku mau mentraktir kamu makan siang. Apa kamu mau?]
Mata Rudi berbinar membaca pesan dari dari Nilam. Dengan bersemangat, dia membalas pesan dari Nilam, tapi dengan gaya sedikit jaim.
[Aku nggak apa-apa. Sebenarnya aku besok agak sibuk. Tapi kalau kamu memaksa, aku tidak akan menolak ajakan kamu, Nilam. Besok aku share saja lokasi kafe dekat kantorku.]
Rudi tersenyum. 'Rani, memangnya kamu saja yang bisa jalan dengan lelaki lain? Aku juga bisa jalan dengan perempuan lain," gumam Rudi lirih.
**
Rudi bersiul-siul bahagia sambil keluar dari kantor saat jam makan siang.
"Mau kemana kamu, Rud? Happy benar sepertinya?" sapa Toni, salah seorang teman Rudi yang terkenal paling setia.
"Mau makan sianglah."
"Tapi kayaknya beda sama saat makan siang kemarin? Jangan bilang kalau kamu mau makan sama cewek?"
Rudi melirik temannya dengan tersenyum misterius.
"Ada deh. Mau tahu aja, apa mau tahu bulat?" tanya Rudi sambil menyambar helmnya.
"Heh ingat Rud, kamu kan sudah punya istri. Jangan sampai kamu selingkuh loh!" tukas Toni sebelum Rudi menghidupkan mesin motor.
Rudi menatap temannya dengan serius. "Wajar kan kalau cuma makan aja? Masa setelah menikah aku nggak boleh makan berdua sama cewek lain sih? Aturan darimana itu? Yang penting kan hubungan kami nggak sampai ke hotel!" tukas Rudi lalu segera melajukan motornya meninggalkan kantor sekaligus temannya yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Rudi memarkir motornya di halaman kafe depan kantornya seraya melihat ke seluruh penjuru kafe. Setelah sosok yang dinantikannya tampak duduk di salah satu sudut kafe, Rudi segera melangkahkan kakinya menuju gadis itu.
"Nilam kan?" tanya Rudi mengulurkan tangannya.
Gadis itu mengangguk. "Mas Rudi kan?"
Rudi mengangguk lalu menyeret kursi di hadapannya dan mendudukinya.
"Maafkan saya atas kejadian tabrakan kemarin. Saya kurang hati-hati mengendarai motor."
"Tidak apa-apa. Yang penting kita juga selamat," sahut Rudi sambil memberikan senyum termanisnya.
"Kalau begitu, silakan pesan apa saja, biar saya yang membayarnya."
"Wah, tidak bisa. Saya kan laki-laki. Biar saya yang membayarnya," sahut Rudi basa basi. Merasa gengsi untuk menerima tawaran traktiran dari perempuan secara langsung.
Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan, Nilam justru langsung mengiyakan tawaran Rudi.
"Oh baiklah. Saya terima tawaran mas Rudi dan tidak akan sungkan lagi untuk memesan menu sebagai tanda perkenalan kita," tukas Nilam tersenyum.
Rudi tercengang. Mendadak dia teringat saldo yang menipis dan uang di dompet yang entah tinggal berapa ratus ribu.
"Hm, oke."
Rudi hanya bisa melongo saat Nilam memesan beberapa menu termahal di kafe itu. Sementara itu Rudi hanya berani memesan sepiring nasi goreng biasa dan segelas jus alpukat.
Sementara itu Nilam memesan iga bakar, cumi goreng, gurami asam manis, dan capuchino cream cheese dingin.
"Ayo Mas Rudi, kita nikmati makanan ini. Keburu dingin." Nilam tersenyum bahagia sementara itu Rudi hanya bisa mengangguk dan memaksakan senyumnya.
"I-iya."
Baru saja Rudi menyendok nasi gorengnya, mendadak pandangannya tertumbuk pada Erwin. Petugas bank Emok yang dulu terlihat dalam panggilan video yang dilakukan oleh Rani saat dia menagih hutang.
Rudi segera berdiri dan menuju ke arah pintu masuk. Langsung dicekalnya krah baju Erwin. Tak dipedulikannya tatapan aneh Nilam dan beberapa pengunjung kafe yang lain.
"Mana istri saya?"
Erwin yang terkejut atas serangan mendadak dari Rudi hanya bisa mengerutkan keningnya.
"Istri kamu?"
"Mana Rani? Dia kabur dari rumah dan ikut kamu setelah kamu ancam dia masuk penjara kan? Jangan pura-pura tidak tahu!"
"Oh Bu Rani? Rani Indriyana? Dia sudah membayar hutang Bapak dengan lunas kok. Saya tidak pernah mengancamnya masuk penjara. Dan saya tidak tahu Bu Rani kemana? Karena setelah Bu Rani membayar utang bapak lunas, saya langsung pergi dari rumah bapak."
Kini tinggal Rudi yang melongo. "Apa? Tidak mungkin! Kalau Rani tidak ikut kamu seperti yang telah disebutkan dalam suratnya, lantas dia kemana?"
Next?
Kini tinggal Rudi yang melongo. "Apa? Tidak mungkin! Kalau Rani tidak ikut kamu seperti yang telah disebutkan dalam suratnya, lantas dia kemana?"Sebenarnya ada sedikit rasa lega dalam hatinya saat mengetahui fakta bahwa istrinya tidak kabur dengan laki-laki lain. Itu artinya Ranu masih mencintainya. Tapi hati Rudi memang masih bertanya-tanya tentang keberadaan Rani. Entah selamat atau tidakkah istrinya sekarang.Erwin hanya mengedikkan bahu sambil menepis tangan Rudi yang mencengkeram kerah bajunya. "Ya saya nggak tahulah. Yang suaminya kan kamu, Pak. Kenapa justru saya yang jadi tersangkanya?""Kamu pasti bohong ya?! Jelas-jelas dalam surat Rani disebutkan kalau dia kabur sama petugas bank Emok. Dan satu-satunya petugas bank Emok yang ke rumahku untuk menagih hutang kan cuma kamu. Kamu enggak usah ngeles lagi. Sekarang kembalikan istri saya!"Beberapa pengunjung mulai ricuh. Beberapa diantaranya bahkan mulai mengarahkan kamera ponsel ke arah Rudi dan Erwin. Seorang satpam mendeka
"Maaf, Pak. Tapi semua perhiasan ini palsu. Imitasi. Tidak ada harganya," tukas pemilik toko emas itu seakan membuat dunia Rudi yang cerah menjadi kelam."Apa?""Iya Pak, semua perhiasan emas ini imitasi." Pemilik toko emas itu mengulangi jawabannya. "Tidak mungkin. Pasti Mas nya salah periksa. Ayo periksa lagilah!" Rudi bersikeras untuk memaksa. Pemilik toko emas itu hanya bisa menghela nafas. "Saya sudah memeriksanya berulang kali. Dan hasilnya tetap sama. Perhiasan emas ini palsu. Kalau Bapak tidak percaya, silakan bawa perhiasan ini ke toko lain."Rudi tercengang dan dengan terpaksa dia mengambil perhiasan itu dari penjual emasnya.Rudi terpekur dalam hati. 'Jadi perhiasan ini palsu? Apa perhiasan ini yang dulu menjadi warisan ibunya Rani?! Kalau benar perhiasan ini adalah bagian dari warisan ibunya Rani, berarti perhiasan Rani selama ini palsu juga. Tapi kalau perhiasan ini berbeda dengan warisan ibunya Rani, buat apa Rani memiliki perhiasan palsu ini? Apa perhiasan ini untuk
"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat. "Mana adikku?" tanya Aris langsung masuk ke dalam ruang tamu rumah Rudi. "Ran! Rani!" Aris memanggil-manggil adiknya dan beranjak menuju ruang tengah. Rudi segera berlari mengejar kakak iparnya."Tunggu, Da. Rani tidak ada di sini!"Aris menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap ke arah Rudi."Kalau Rani tidak ada di sini, kenapa kamu nggak nyari adikku? Kenapa kamu justru membiarkan Rani menghilang? Apa kamu sudah lapor polisi, hah?" tanya Aris sambil mencengkram kerah baju Rudi. Rudi merinding melihat tangan kanan Aris terkepal ke arahnya. Tapi dikuat-kuatkan hatinya lalu dia menatap ke arah kakak iparnya. "Uda, seharusnya bukan Uda yang marah. Tapi aku!" tukas Rudi. Matanya menatap tajam ke arah Aris. "Apa maksud kamu? Katakan?!""Uda duduk dulu. Akan kuambilkan kertas berisi pesan terakhir Rani," tuk
POV Rani Flash back on."Rani, semua sudah makan. Piringnya jangan lupa dicuci ya?" tukas ibu mertuaku. Aku yang sedang membaca novel online favoritku mau tidak mau harus berhenti dan menoleh pada Mas Rudi.Meskipun pintu kamar tertutup tapi suara mertuaku yang di dekat ruang makan seolah bisa menembus dinding kamar kami. "Mas.""Apa?" Aku memanggil mas Rudi tapi suami ku masih asyik dengan ponselnya."Mas!""Apa sih?" tanya Mas Rudi sambil tetap bermain dengan ponselnya. "Kenapa sih kok aku terus yang disuruh nyuci piring dan nyapu-nyapu? Apa mentang-mentang karena aku paling miskin di sini jadi aku bisa disuruh apa saja?"Mas Rudi meletakkan ponselnya dan menatapku."Sudahlah, jangan lebay. Mamaku berarti kan ibumu juga. Kamu sudah enggak punya ibu dari lama kan? Wajar kan kalau mamaku menyuruh anaknya, yaitu kamu untuk membantunya dalam urusan pekerjaan rumah?" tanya mas Ardi membuatku tercengang. Dia selalu mempunyai alasan untuk memojokkanku atau membenarkan tindakannya dan
Flash back On :Aku mendelik. "Kamu boleh melupakan aku. Tapi kamu pasti tidak akan melupakan sapu tangan ini kan?""Bagaimana ini bisa ada padamu? Bukankah sapu tangan ini kuberikan pada ..,""Widuri. Teman sepermainan kamu saat masih SMP.""Mas Agus, kok bisa kenal Widuri?" tanyaku bingung. Mas Agus tertawa lalu menggembungkan pipinya dan melingkarkan jempol dan telunjuknya ke mata, seakan menjadi sebuah kacamata.Aku mendelik. "Mas Donat? Mas Agus itu mas Donat?" tanyaku kaget. Mas Agus tertawa. "Ya, nama lengkapku Agus Doni Kurniawan."Aku melongo tak henti-hentinya takjub pada metamorfosis mas Agus, dari gemuk menjadi kurus. "Aku rindu padamu, Ran," tukas mas Agus hampir memelukku.Dengan cepat aku menahan dadanya yang hendak menarikku ke dalam pelukannya. "Maaf Mas, kamu sudah punya istri. Aku nggak ingin ada fitnah di sini."Mas Agus terlihat kecewa dan menurunkan tangannya. "Apa kabar Widuri, Mas? Sejak pindah ke ibu kota, kami tidak pernah berkontak lagi.""Widuri sehat
*Terkadang ada sebuah nama yang tertulis di hati, tapi tidak tertulis di buku nikah.***"Apa?! Kamu minta berpisah? Aku enggak mau!""Kenapa?" "Kok tanya kenapa? Karena aku mencintai kamu lah!"Rani tersenyum kecut. "Mencintai? Tapi kamu jelas memanfaatkanku, Mas. Kamu tidak usah mengelak lagi. Aku sudah muak dengan semua yang dianggap wajar olehmu dan keluargamu!"Rudi segera turun dari motornya dan mendekati Rani. Wajahnya tampak memelas."Oke, kalau kamu tidak mau pulang. Kita bicara di sini. Setidaknya pinggirkan dulu motor kamu agar kita tidak menghalangi orang lewat."Beberapa pengguna jalan memperhatikan mereka. Karena jalan yang mereka lalui masih dalam area pasar, mau tidak mau banyak mata yang melihat percekcokan suami istri itu.Rani pun hanya menghela nafas dan akhirnya meminggirkan motornya."Tolong berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu. Aku akan membahagiakan kamu dengan cara apapun," tukas Rudi sambil mendekat pada Rani. Perempuan itu menatap
Rudi dan Rani serentak menoleh ke sumber suara. "Mama?!"Mama Rudi menyeringai dan masuk ke dalam rumah. "Kamu benar-benar istri durhaka, Ran!" tunjuk mertuanya.Rani melirik tajam pada mertuanya. "Maaf, Ma. Kalau dulu mungkin Rani akan manut-manut saja. Tapi saat ini Rani tidak akan pasrah begitu saja. Rani akan membenahi apapun yang Rani pikir tidak adil," tukas Rani membuat mertuanya mendelik. "Kamu berani sekali ya sekarang?! Pantas dari dulu Mama sudah tidak sreg dengan kamu. Ternyata kamu memang bukan istri yang baik untuk Agus. Mama benar-benar kecewa dengan kamu, Ran!" sembur Mama. Tangan Rani terkepal. Ingin marah tapi ditahannya sekuat tenaga karena dia sadar bahwa dia berhadapan dengan orang yang lebih tua.Rani menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kesabaran. "Ma, apa Mama pikir Mama saja yang menyesal. Saya juga menyesal.""Apa kamu bilang? Kamu benar-benar istri yang tidak berbakti. Nggak tahu malu! Istri yang tahunya cuma makan dan tidur saja dan nggak perlu
"Len, duduk! Itu bukan salah Rani. Aku hanya ingin kamu hamil. Apa itu salah? Atau begini saja, bagaimana kalau Rani saja yang jadi istriku?" tanya Agus dengan wajah serius. "Mas, kamu jangan suka bercanda. Ini sama sekali tidak lucu. Lagipula, apa katamu, Mas? Kamu mau meninggalkanku demi bersama Rani? Mas Agus sudah nggak waras atau kamu kesurupan?" tanya Leni dengan pandangan mengejek terhadap adik iparnya. "Mas Agus, jangan ngeprank kami dong. Kami tahu kalau mas Agus akhir-akhir ini sering membuat video di YouTube tentang kiat-kiat sukses menjadi pengusaha. Tapi nggak bikin acara tentang prank kan?" ujar Maya seraya tertawa. "Iya nih Gus, kalau kamu memang ingin mengejutkan kami, jangan seperti ini caranya. Kamu kan bisa mengejutkan kami dengan mendadak membelikan rumah, mobil, atau sekalian penthouse tanpa kami tahu. Jangan bikin panik dengan prank kamu deh?!" sahut Mama Rudi sambil menatap wajah menantunya itu. "Mas, kamu pasti ngomong kayak gini karena kamu cuma ingin aku