“Haniyah!” Haniyah yang sedang berjalan berdampingan dengan sahabatnya, Kamila menoleh ke sumber suara.
Kamila berdecak kagum melihat sosok laki-laki tampan berdiri di hadapannya. Sementara Haniyah mengerjap tidak percaya melihat lelaki yang sebentar lagi menjadi suaminya itu tiba-tiba ada di area kampus. “Ngapain di sini?” Tanya Haniyah sedikit berbisik. “Mau jemput calon istri?” Sebelas alis Haniyah terangkat. Tiba-tiba sekali Elkan datang ke kampus menjemputnya, belum lagi apa tadi dia bilang? Calon istri? Wah, sebuah kemajuan sekali mendengar Elkan menyebut kata-kata itu. “Apaan sih?” Keluh Haniyah. “Calon istri? Ini calon kamu Han?” Pada akhirnya Kamila penasaran pada interaksi keduanya. Haniyah hanya tersenyum canggung. Sementara Elkan justru tersenyum lebar dan memperkenalkan diri pada Kamila. “Saya Elkan, tunangan Haniyah.” Kamila bersorak gembira mendengar kalimat Elkan. Tanpa disadarinya dia melompat lalu memeluk Haniyah. “Kok gak bilang sih kalau sudah tunangan?” Haniyah menutup wajahnya sedikit malu, sayangnya adegan itu justru membuat cincin di jari manisnya malah jadi tekspos. “Aaaah, cincinnya cantik banget Han.” Kamila kembali memeluk Haniyah. “Congrats ya, i’m happy for you dear.” Kamila dengan tulus mengucapkan selamat pada Haniyah. Dia adalah saksi hidup bagaimana malangnya nasib Haniyah di rumah orang tuanya sendiri. Maka itu saat mendengar Haniyah sudah bertunangan dan akan menikah dia jadi orang paling bahagia. Ketiganya berjalan ke arah parkiran, saat Kamila mengarah ke parkiran motor Elkan malah mengajak Haniyah ke arah parkiran mobil. Kamila hanya mengangguk mengizinkan Haniyah pergi mengikuti langkah Elkan. Ada rasa tenang di hatinya, dia melihat kesungguhan di mata Elkan untuk Haniyah. Saat sampai di parkiran, Haniyah dibuat kaget bukan kepalang. Elkan membawa sebuah mobil dengan plat baru untuk menjemput Haniyah. Haniyah tidak lekas naik saat melihat Elkan membukakan pintu depan, dia hanya mematung tak percaya. “Ayo naik calon istri, panas nih.” Untuk kedua kalinya Elkan mengucapkan kalimat sakral itu membuat wajah Haniyah memerah karena malu. Mau tak mau akhirnya dia naik ke mobil dan duduk disamping Elkan yang akan mengemudi. Pemandangan itu tidak luput dari pandangan Calista yang kuliah di kampus yang sama dengannya. Keningnya mengernyit melihat Elkan mengemudikan mobil ke kampus dan menjemput Haniyah. Tangannya berlipat di depan dada, menahan rasa penasaran di dadanya. Ada rasa iri yang hadir saat itu melihat dua calon pengantin itu terlihat lengket sementara Aryo justru jarang sekali menunjukkan perhatian padanya. Tapi selain rasa iri yang lebih penting bercokol dalam kepalanya adalah pertanyaan ‘bagaimana Elkan bisa menjemput Haniyah dengan mobil mewah? Mobil siapa?’ “Jangan-jangan tu orang sengaja pinjam mobil kantor atau mobil temannya buat gaya-gayaan pas jemput Haniyah.” Calista terkekeh dengan kalimatnya sendiri, lalu tidak lama tawanya pecah. * Rasa heran yang sama sebenarnya juga dirasakan Haniyah saat duduk di samping Elkan di dalam mobil. Dia tidak pernah melihat Elkan membawa mobil sebelumnya. Selama ini yang dia tahu, Elkan menggunakan motor bebek keluaran lama. “Kan…” Elkan yang sedang fokus di kursi pengemudi berdehem menjawab panggilan Haniyah. “Ini mobil siapa?” tanya Haniya setelah cukup lama dalam rasa penasaran. “Mobilku.” Jawaban singkat itu membuat Haniya tersedak salivanya sendiri. “Uhuk!” “Kenapa? Kamu gak apa-apa?” tanya Elkan ikut kaget melihat reaksi Haniya, Haniya menggeleng. “Kamu lagi bercanda kan?” Elkan mengernyit. “Ini beneran mobil kamu? Kok bisa?” “Kenapa gak bisa?” Haniyah ragu menjawab, tapi rasa penasaran memenuhi kepalanya. “Hm… maaf ya. Kamu kan cuma karyawan biasa, selama ini naik motor bebek keluaran lama, tapi kok bisa punya mobil? Ini juga bukan mobil murah loh, lumayan mahal ini harganya.” Elkan tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. “Gimana kalau kita ke rumah dulu, nanti aku ceritakan di sana.” Haniyah melirik. “Ke rumah kamu?” Elkan menggeleng. “Ke rumah Mas Satriya, Mbak Raisa bilang dia pengen ketemu kamu di rumah.” Jelas Elkan. “Tapi aku belum bilang Ibu kalau mau mampir.” Haniya mencoba menolak, namun Elkan mempunyai jawaban dari penolakan Haniyah. “Sebelum jemput kamu, aku sudah sempetin jemput Ibu, Ibu sekarang ada di rumah Mas Satriya.” Haniyah mendelik. “Nanti aku antar kalian pulang sekalian.” “Ibu di rumah Mas Satriya? Ibu boleh dibawa pergi tadi? Kok bisa?” Haniya bertanya tanpa jeda. Sedikit bingung dia karena selama ini Ibunya tidak boleh meninggalkan rumah keluarga Wiryawan apalagi dengan orang yang mereka tidak kenal baik. Tapi bagaimana bisa sekarang Ibu keluar bersama Elkan. “Tante Elvina bilang silahkan kalau mau dibawa, asal harus pulang tepat waktu.” Kening Haniya mengkerut. “Tumben diizinin.” Celetuk Haniya, sementara Elkan menggendikkan bahunya dan kembali fokus mengemudikan mobilnya ke rumah Satriya. Haniyah tidak pernah menceritakan secara detail apa yang dialaminya dirumah keluarga Wiryawan. Hanya sesekali dia bercerita kalau peraturan di rumah itu sangat ketat. * Elkan menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang terbilang besar dan luas. Sedikit lebih luas bahkan dari kediaman Wiryawan. Saat keluar dari mobil, Haniyah sempat mematung di dekat pintu mobil, tidak percaya kalau rumah yang didatanginya adalah rumah milik Satriya, Kakak pertama Elkan. “Ini kita gak salah rumah?” Bisiknya membuat Elkan terkekeh kecil. “Gak, ini beneran rumah Mas Satriya, yuk masuk. Ibu sama Mbak Raisa sudah menunggu.” Haniya menutup pintu mobil, lalu berjalan pelan mengikuti langkah Elkan. Sampai di depan pintu, suara seorang anak perempuan meneriakkan namanya terdengar. “Kak Haniyaaaaaaah.” Itu suara Rumi yang pernah ditolong Haniyah. Tiba-tiba saja gadis berusia sembilan tahun itu berlari seperti anak kecil menghampiri Haniya dengan senyum merekah di wajahnya. “Hai Rumi,” Haniyah mengusap rambut Rumi setelah Rumi mencium punggung tangannya. “Ayo masuk Kak.” Rumi menarik tangan Haniyah sedikit kencang, hingga Haniyah hampir terjatuh, untung saja dia bisa menjaga keseimbangan tubuhnya hingga tidak benar-benar terjatuh. “Rumi hati-hati dong, itu tantenya nanti jatuh loh.” celetuk Elkan. “Kok Tante? Kakak dong.” Keluh Rumi. “Kamu kan panggil Om ke Om Elkan, ini calon istri Om, jadi kamu panggilnya Tante bukan Kakak.” Wajah Haniyah tiba-tiba bersemu merah mendengar kata calon istri yang diucapkan Elkan. Sementara itu Rumi hanya ber-ooo panjang mendengar ucapan Elkan sambil kembali menarik tangan Haniyah yang masih salah tingkah mendengar ucapan Elkan. Ketiganya berhenti berjalan di depan pintu penghubung dapur dan ruang makan. “Assalamu’alaikum.” Ucap Haniyah saat melihat Raisa dan ibunya sedang asik membuat kudapan di dapur. Raisa lekas menyambutnya dan mengajaknya ikut bergabung, meninggalkan Elkan yang berdiri mematung di ambang pintu. * Setelah cukup lama bergabung dengan Ibu dan Raisa, Haniyah kembali ke ruang tengah menemui Elkan yang sedang duduk bersandar di atas sofa sambil memainkan ponselnya. Haniyah datang dengan secangkir minuman hangat dan kue buatan Raisa dan Ibu yang sudah matang. “Buatanmu?” Haniyah menggeleng. “Itu buatan Ibu dan Mbak Raisa.” Elkan mengangguk pelan sementara Haniyah duduk di salah sisi sofa. “Jadi, kapan mau cerita?” Elkan melirik sambil menyeruput teh untuknya. “Cerita apa?” tanya Elkan berpura-pura tidak faham. “Soal mobil itu?” Elkan menyamankan dirinya di sofa lalu menatap Haniyah yang tidak terlalu berjarak darinya, sebelum bicara Elkan menarik nafas pelan. Ada ragu tersirat di wajahnya saat akan bicara. Di hatinya sudah mulai muncul rasa untuk Haniyah, dia pun tahu Haniyah tidak suka dibohongi. Tapi sejak awal dia telah menyembunyikan tentang identitasnya sebenarnya.‘Apa aku harus jujur Han?’Tidak lama setelah akad nikah diucapkan, Haniyah keluar bersama dengan ibunya. Elkan mematung memandang Haniyah dengan balutan kebaya putih yang dia kenakan. Bukan kebaya baru. Haniyah mengenakan kebaya milik ibunya semasa muda. Tapi meski begitu, haniyah begitu tampak cantik dan mempesona.Elkan tidak berhenti menatapnya.Saatnya keduanya berhadapan, petugas KUA meminta keduanya duduk berdampingan untuk menandatangani berkas-berkas pernikahan. Setelah itu Elkan menyematkan cincin emas di jari manis Haniyah. Haniyah menerimanya, lalu mencium punggung tangan Elkan dan Elkan menyambut dengan mencium kening Haniyah.Prosesi akad nikah selesai. Semua yang hadir menikmati hidangan yang sudah disiapkan oleh Haniyah, dibantu Ibu dan Mbok Minah.Setelah petugas KUA pulang, tinggallah keluarga Haniyah dan Elkan di dalam ruangan itu.“Baik, karena acaranya sudah selesai, maka saya akan mulai melakukan tugas saya sebagai pengacara keluarga ini.” Danu dan Elvina saling pandang. Mereka tidak tahu
“Kamu gimana sih? Kenapa ngelakuin sesuatu tanpa rundingan dulu sama Mommy?” Elvina kesal mendengar Cerita dari Calista.“Kamu juga Mas, bisa-bisanya kamu ngelakuin hal kayak gitu di rumah ini, pake ketahuan sama Elkan lagi!” Kali ini amarahnya tertuju pada Danu.“Kamu tahu kan kalau aku ngincar Humairah sudah lama? Dia akan keluar dari rumah ini sebentar lagi, ini kesempatan buat aku dapatin dia.” Kilah Danu.“Kalau terjadi sesuatu dengan dia, Haniyah bisa membuat kita kehilangan semua harta ini Mas. Mas tahu kan kalau harta ini bisa kita pakai karena dia masih hidup.” Danu menggeram.“Nanti kalau semua harta ini sudah pindah ke tangan kita, kamu bisa ngelakuin apapun sama mereka, sekarang jangan macam-macam Mas.” Teriakan Elvina menggema dalam ruangan tertutup milik keluarga Wiryawan.*Sementara itu, Haniyah sedang merawat ibunya di dalam kamar.Humairah sudah cukup lama sakit, tidak hanya fisik tapi juga mentalnya. Bukan pertama kali Danu berusaha melecehkan Humairah di rumah itu,
Sementara Haniyah sedang sibuk di gudang, Calista malah sedang membongkar isi lemari Haniyah. Dia mengambil selembar baju dan hijab yang sering dipakai Haniyah, lalu tanpa membereskannya kembali dia keluar dengan memakai pakaian Haniyah melekat di badannya.“Cih, apa bagusnya pakaian ini? Kalau bukan karena rencanaku, aku gak akan mau memakai baju murahan seperti ini.” Calista mengumpat saat pakaian Haniyah terpasang di badannya.*Di Tempat lain, Elkan sedang menatap ponselnya. Sebuah video baru masuk ke ponselnya, Elkan menggeram, meskipun tidak terlihat wajahnya tapi dari belakang terlihat kalau perempuan yang bergelayut manja di lengan pria itu adalah Haniyah.Tangan Elkan mengepal, apalagi saat melihat video lain yang masuk dan menunjukkan kalau dua orang dalam video itu masuk ke dalam hotel. Elkan mengenali hotel itu, segera diambilnya kunci mobil dan melaju ke hotel yang letaknya ditengah kota itu.Mobil Elkan membelah jalanan Jakarta, sedikit menyesal dia karena hari ini tidak
“Kamu belum terus terang ke Haniyah Kan?” Elkan dan Raisa menoleh bersamaan ke sumber suara, Raisa.“Belum Mbak, aku bingung mau cerita darimana.” Haniya memandang kakak beradik itu bergantian.“Cerita apa?” tanyanya penasaran.“Boleh Mbak yang cerita?” Elkan mengangguk mempersilahkan, kemudian Raisa memilih duduk di samping kanan Haniyah dan Ibu duduk di samping kirinya.“Kamu tahu tentang keluarga Prasetya Han?” Haniya menggeleng pelan, dia memang tidak tahu apapun tentang keluarga itu. Selama ini hidupnya hanya berkutat antara kampus dan keluarga Wiryawan.“Harly Ahmad Prasetya, seorang pengusaha yang punya banyak bisnis di masa mudanya. Meninggal dalam kecelakaan saat ketiga putranya masih duduk dibangku SD. Salah satu putranya itu adalah Elkan.” Haniyah menatap Elkan, jadi dia anak seorang pengusaha? Bukan orang biasa?“Papa meninggalkan bisnis untuk ketiga putranya sebelum Beliau meninggal.” Raisa menjeda ucapannya sesaat.“Ada tiga jenis usaha. Satu bisnis perhotelan yang saat
“Haniyah!” Haniyah yang sedang berjalan berdampingan dengan sahabatnya, Kamila menoleh ke sumber suara.Kamila berdecak kagum melihat sosok laki-laki tampan berdiri di hadapannya. Sementara Haniyah mengerjap tidak percaya melihat lelaki yang sebentar lagi menjadi suaminya itu tiba-tiba ada di area kampus.“Ngapain di sini?” Tanya Haniyah sedikit berbisik.“Mau jemput calon istri?” Sebelas alis Haniyah terangkat.Tiba-tiba sekali Elkan datang ke kampus menjemputnya, belum lagi apa tadi dia bilang? Calon istri? Wah, sebuah kemajuan sekali mendengar Elkan menyebut kata-kata itu.“Apaan sih?” Keluh Haniyah.“Calon istri? Ini calon kamu Han?” Pada akhirnya Kamila penasaran pada interaksi keduanya.Haniyah hanya tersenyum canggung. Sementara Elkan justru tersenyum lebar dan memperkenalkan diri pada Kamila.“Saya Elkan, tunangan Haniyah.” Kamila bersorak gembira mendengar kalimat Elkan. Tanpa disadarinya dia melompat lalu memeluk Haniyah.“Kok gak bilang sih kalau sudah tunangan?” Haniyah me
“Kalau aku menerima lamaranmu, kita akan menikah tanpa cinta Elkan.” Keduanya saling tatap untuk beberapa lama. “Entah suatu saat nanti akan ada cinta diantara kita atau malah salah satu dari kita akan menaruh hati pada orang lain.” Elkan mendekati Haniyah.Keduanya saling bersitatap, saling mencari jawaban dari mata lawan bicara mereka. Saling mencari ragu dari sudut pandang masing-masing.“Aku tidak berniat mempermainkan pernikahan Haniyah.” Elkan mengucapkan kalimat itu dengan pandangan serius menatap Haniyah, hingga akhirnya Haniyah memutus kontak mata mereka dan menghela nafasnya berat.“Ayo masuk.” Ajaknya.“Kamu sudah punya jawabannya?” Haniyah mengangguk. “Apa?” Elkan nampak penasaran.“Nanti di dalam aku jawab.”“Di sini dulu kenapa sih? Biar aku bisa siapkan diri untuk merespon jawaban kamu nanti.” Haniyah yang tadinya sudah berjalan ke arah pintu memutar badannya melihat Elkan sambil menyipitkan pandangannya.“Kamu berharap aku jawab apa?” tanyanya kemudian.“Diterima.” Jaw
Malam itu Haniyah tidak bisa tidur dengan nyenyak. Berulang kali memejamkan mata tapi dia tidak kunjung bisa tidur. Kalimat Aryo dan Elkan bergantian bermain di kepalanya, membuatnya merasa seperti dipermaikan keadaan.Esok harinya.Seperti biasa, Haniyah membersihkan rumah besar keluarga Wiryawan sejak subuh hari sebelum berangkat ke kampus. Meskipun dia adalah putri kandung di rumah itu, namun dia tidak diperlakukan selayaknya putri, dia lebih diperlakukan sebagai pembantu.Seandainya bisa kabur, dia akan dengan senang hati meninggalkan rumah yang semakin lama semakin terasa seperti neraka itu. Hampir tiap hari dia akan mendengar ucapan kasar untuknya dan ibunya, dan tidak jarang juga dia akan merasakan tamparan atau pukulan di salah satu anggota tubuhnya ketika dia melanggar aturan yang dibuat ibu tiri dan omnya.Kalaulah tidak terikat dengan surat wasiat kakek dan ayahnya, dia akan memilih hidup di jalan dibanding menjadi upik abu di istananya sendiri.“Keluar Han, itu ada Elkan
“Bagaimana kalau kita bertukar pasangan saja?” Sontak Haniyah menatap tajam pada Aryo. Orang tua laki-laki itu semalam melamarnya untuk menikah dengan putra mereka, dan sekarang dia meminta untuk bertukar pasangan.“Apa maksudmu?” tanya Haniyah yang sedari tadi diam menonton perdebatan yang terjadi.“Sejujurnya kalau tahu orang tuaku melamarmu, aku tidak akan setuju.” Haniyah kembali menatap Aryo. “Calista jauh lebih menarik dibanding kamu Haniyah,” Aryo melihat Haniyah dengan sorot mata meremehkan. “Bayangkan kalau aku menghadiri undangan dari relasi bisnisku dan harus mengajak kamu yang berpenampilan…” Aryo tidak melanjutkan ucapannya, ekspresinya sudah menunjukkan kalau dia tidak suka dengan penampilan Haniyah yang berhijab.Haniyah berdecak kasar. Sudah cukup kesal dia sejak tadi menonton penolakan Calista atas lamaran Elkan, sementara Elkan bersikukuh ingin tetap melanjutkan rencana pernikahan yang sudah diatur keluarganya.“Jadi maksudmu, kamu menolak pernikahan ini karena Cali