Malam itu dihabiskan Marissa dengan membayangkan apa yang terjadi antara Tristan dan Naomi. Bayangan keduanya sedang beradu kemesaraan tak henti-hentinya membuat hatinya terkoyak. Tak bisa dipungkiri jika semua terjadi begitu saja tanpa diminta.
"Tuhan terlalu cepat menunjukkan ini semua. Aku sampai tak memiliki kesempatan untuk sekedar bernapas." Marissa meratapi kepedihan kisah hidupnya.Belum juga segala duka dan kepedihannya beranjak, sudah ditambah lagi dengan kesedihan yang datang bertubi-tubi. Keputusan yang dia harapkan bisa memperbaiki segalanya justru berbalik menghancurkan semua yang dia miliki.Hingga tengah malam menjelang, tak ada tanda-tanda kepulangan Tristan. Suasana masih nampak sunyi sepi tanpa ada yang berlalu lalang. Para pegawai dan pembantu rumah itu juga nampaknya sudah menuju peraduan masing-masing untuk beristirahat. Hingga saat jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, suara gerbang dibuka membuat mata Marissa tiba-tiba te"Apa sopan pergi ke perusahaan dengan pakaian seperti itu?" tanya Marissa."Ini bukan apa-apa, kenapa mengoceh?" balas Tristan ketus."Bukankah hari ini kamu berjanji untuk menyelesaikan pekerjaanmu? Mengapa tak berpakaian seperti biasa?" Marissa masih belum puas dengan jawaban suaminya."Cukup, Rissa. Kenapa cara berpakaian menjadi masalah untukmu?" protes Tristan.Marissa diam sesaat, dia membuat suaminya marah dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada akhirnya. Toh, itu juga hanya sekedar gaya berpakaian. Tak layak untuk menjadikan itu sebagai alasan untuk berdebat. Hanya saja, Marissa merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan Tristan darinya."Sungguh kamu sangat aneh, pakai kaos saja kamu permasalahkan," umpat Tristan dan meraih tas kerjanya.Saat pria itu mengambil pegangan tas itu, Tiba-tiba seisi tas tumpah ke lantai. Rupanya Tristan lupa menutupnya saat mencari ponselnya semalam. Pria itu membiarkan tas kerjanya ter
Naren berjalan ke arah Tristan yang sedang menikmati kopi dan kudapan khas coffee shop itu. Keduanya nampak sangat mesra dan hangat. Sangat berbeda dengan apa yang biasa Naren lihat di rumah. "Kamu sengaja?" tanya Naren. Tristan kelabakan, dia kelihatan sekali panik dan bingung. Coffee shop itu dia pilih karena letaknya yang cukup jauh dari rumah atau perusahaan, tapi ternyata justru Naren menangkap basah dirinya yang sedang bermesraan dengan Naomi. "Ada istrimu di depan," ujar Naren dengan nada yang sangat dingin dan mata yang mengarah pada seorang wanita yang duduk di bangku depan coffee shop itu. Seketika Tristan mengikuti arah pandang kakaknya dan juga menangkap dari balik kaca sosok istrinya itu. "Marissa," lirih Tristan. "Siapa kamu? Apa kamu tidak tahu jika Tristan sudah beristri?" tanya Naren pada Naomi. Tak ada jawaban apa pun dari wanita simpanan Tristan itu, dia nampak gelagapan juga. Kemudian meringsek ke tubuh
Bibir mereka saling bersentuhan di rembang gelap malam, semua terjadi begitu saja tanpa niat dan aba-aba. Yang Naren inginkan hanya ingin membuat Marissa merasa jika masih ada dirinya di sana yang akan melakukan apa yang wanita itu inginkan. Bak gayung bersambut, Marissa membalas ciuman itu dengan dekapan hangat. Marissa mendekatkan tubuhnya hingga mereka berdua berpaut semakin dalam dan lebih dalam lagi.Jarak mereka sudah habis, keduanya saling menyentuh dan memberi kehangatan. Naren menarik mundur wajahnya dan mendekap erat tubuh wanita itu. Marissa terbenam dalam pelukan kakak iparnya."Saat itu, aku merasa bersalah pada suamiku. Untuk kali ini, tidak sama sekali," ujar Marissa dalam hati.Dia mengingat malam panas yang dia lalui bersama Naren saat itu. Walau semua terjadi di alam bawah sadarnya, tapi semua menimbulkan kekacauan yang cukup besar. Hati wanita itu terus gelisah dan dikejar rasa bersalah yang teramat besar. Hingga berpuncak pada kerelaann
"Suamimu pergi?" tanya Naren. "Hm, dia tidak akan pulang beberapa hari ke depan," jelas Marissa dingin. "Kenapa? Kalian bertengkar lagi?" Naren ingin tahu. Marissa beranjak dari depan kompor, dia beralih setelah telur yang dia goreng sudah matang. Wanita itu duduk di seberang Naren dan mulai memasukkan makanan yang memiliki kandungan utama protein itu ke dalam mulutnya. "Aku memintanya membelikanku rumah." Jawaban yang cukup membuat Naren menjadi tercenggang. Keadaannya sangat pelik sekarang, Marissa terus membuat desakan pada suaminya sebagai kode rahasia akan apa yang sebenarnya dia ketahui terkait hubungan Tristan dengan Naomi. "Rumah?" tanya Naren setengah tak percaya. "Kamu pasti bercanda," lanjutnya. "Tentu saja, untuk apa aku minta rumah jika di sini saja menyediakan banyak kenyamanan untukku," balas Marissa menggoda. Naren menatap dengan sorot mata yang berbeda setelah Marissa menyelesaikan kalim
Marissa begitu gembira dengan rencana makan malamnya bersama Naren. Sehingga tanpa sadar dia bersiap dengan sangat matang. Wanita itu bersolek dengan sempurna hingga membuat wajahnya menjadi semakin cantik. Gaun indah juga dia persiapkan, walau tertutup dan terkesan sopan, tapi gaun itu tidak mengurangi kesempurnaan tubuh Marissa yang memang sangat proporsional. "Pa, aku ada janji makan di luar." Naren sudah lebih awal berpamitan pada ayahnya. "Kalian berdua akan makan di luar?" Tuan Baruna curiga. "Tidak," jawab keduanya serentak. "Aku ada janji dengan papaku, Pa. Sudah lama setelah nenek meninggal kami tidak saling bertemu," balas Marissa. Tuan Baruna mempercayai keduanya dan membiarkan mereka makan malam keluar. Dia yang sedari pagi menaruh curiga pada dua manusia itu sama sekali tak berprasangka buruk lagi. Marissa dan Naren beranjak dengan wajah sumringah. "Hotel Celostone," kata Marissa membaca pesan dari kakak iparny
Malam itu, Tristan benar-benar tak pulang. Dia berada di rumah Naomi. Baginya berbagi cerita bersama wanita itu sudah cukup membuatnya merasa senang. Sesekali dia memang merasa tertekan dan sifat buruknya tak bisa ditahan, tapi Naomi selalu tahu cara untuk menenangkan pria arogan itu. Tak heran jika Tristan tergila-gila padanya."Jika orang memiliki wanita lain dalam kehidupan pernikahannya, tentu saja karena ada masalah besar dalam diri pasangannya." Dalih itu Tristan gunakan untuk membuat hubungannya dengan Naomi menjadi sah.Naomi adalah wanita yang mengerti masa lalu Tristan, dia bahkan hidup lebih lama bersama Tristan sebagai seorang teman daripada Marissa yang hidup sebagai istrinya. Jika dibandingkan dengan Marissa, Naomi jauh lebih tahu berbagai hal tentang Tristan."Hanya aku yang mengerti dirimu, Tan. Kamu aman bersamaku," ujar Naomi.Tujuan utama wanita itu bukan kepuasan hatinya, dia hanya berusaha menempel erat pada pria itu untuk men
Tristan berhenti menyentuh istrinya, dia menepis Marissa dari atas pangkuannya dan segera mimik wajahnya berubah menjadi sangat marah. "Kamu meragukan aku? Kamu pikir di luar aku seperti apa?" desak Tristan dengan nada bicara yang cukup ketus. "Aku hanya menerka, Tan? Kenapa kamu berpikir aku menuduhmu selingkuh?" jawab Marissa seakan dia tak tahu apa pun. Kemarahan Tristan mereda, dia berusaha menekan amarah yang hampir saja keluar dari mulutnya. Bagaimana juga saat ini waktunya sama sekali tak tepat untuk membuat Marissa semakin memojokkannya. Setelah berbagai dugaan, Tristan memang merasa istrinya itu mengetahui sesuatu perihal hubungannya dengan Naomi. Hanya saja semua tak dia tunjukkan dan tak juga dia konfirmasi. Segalanya masih menjadi dugaan dan prasangka. "Aku ini suamimu, bukankag seharusnya aku bebas menjamahmu?" ujar Tristan. "Benar, kamu suamiku. Kamu berhak atas diriku dan aku bersedia kamu menyentuhku." Marissa menjaw
"Rissa!' Naren berseru dengan nada terkejut. Dia tak menyangka jika Marissa akan menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan yang bisa saja menjadikan Tristan semakin salah paham. "Biar saja, Naren. Biarkan dia menaruh curiga padaku, biarkan dia menganggap kita berdua memiliki hubungan selain hubungan ipar. Biar dia tahu, bagaimana rasanya curiga. Biar dia tahu bagaimana rasanya hidup dalam pengkhianatan," beber Marissa dengan cukup lantang. "Cukup, Rissa." Naren menghentikan kalimat-kalimat yang terus mengalir dari mulut wanita itu. Segala caci maki yang Marissa katakan dihempas begitu saja oleh Tristan. Dia kembali ke sebuah kepercayaan jika istrinya tak melakukan apa pun berkat kalimat-kalimat yang seakan memojokkannya tadi. "Aku butuh bicara denganmu, Naren." Tristan menaruh tas kerjanya dan dia berjalan ke arah pintu belakang. Naren menganggukkan kepalanya pada Marissa dan berjalan mengikuti adiknya. Dia cukup penasaran apa yang s