Share

2. SAH

Percayalah bahwa ketetapan Allah adalah yang terbaik, meski di awali dengan rasa sakit.

Perjalanan kehidupan manusia tidaklah selalu sesuai yang diharapkan, terkadang kita harus melewati jalan terjal setelah beberapa waktu menikmati jalan yang landai. Hari-harinya pun penuh misteris, saat ini kita tertawa bahagia seakan tak ada beban dan beberapa menit kedepan kita di hampiri rasa sedih,duka dan nestapa, inilah tabiat kehidupan. Tak ada yang dapat mengelak dari kenyataan ini, Allah berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (QS. Al-Balad: 4).

Di antara kesedihan yang banyak menimpa manusia adalah kondisi dimana seseorang mendapatkan sesuatu yang tidak diharapkannya. Banyak orang yang berusaha menggapai sesuatu yang kelihatannya baik, ia mati-matian mendapatkannya dan mengorbankan apapun yang ia miliki demi terwujudnya impian itu. Tetapi tanpa disadari hal itu menyakiti pihak lain. Ketika hal seperti ini terjadi, tak sedikit orang yang menyalahkan pihak lain, bahkan Allah, Rabb yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya pun tak luput untuk disalahkan. Orang-orang seperti ini, hendaknya mengingat sebuah firman Allah:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216).

Ayat ini merupakan kaidah yang agung, kaidah yang memiliki hubungan erat dengan salah satu prinsip keimanan, yaitu iman kepada qadha dan qadar. Musibah-musibah yang menimpa manusia semuanya telah dicatat oleh Allah lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.

Sebesar dan seberat apapun musibah yang kau alami saat ini. Bersabarlah, kelak kau akan terbebas dari lingkaran masalah yang menimpah. Cukup bersabar jadikan Allah sebagai penolong. Seringlah berdiskusi dengan-Nya. Sungguh tak ada pendengar yang lebih baik dari Allah.

"Ya Allah maafkan hamba, kali ini hamba datang kepadaMu dengan linangan air mata, dengan isakan-isakan pilu, dan keluhan-keluhan kehidupan yang amat rumit ini. Ya Allah jika dia yang Kau anggap baik untukku, tak ada alasan untuk aku menolaknya. Jika memang dia adalah persinggahan terakhirku, tak ada alasan untuk aku tak berlabuh, dan jika memang dia adalah seseorang yang akan menyempurnakan imamku, maka, perlancarkanlah segala urusan-urusannya. Ya Allah berikanlah hamba petunjuk untuk memecahkan keraguan dan keresahan hamba ini. Kau adalah Maha di atas Maha. Maka, terimalah dan kabulkanlah do'a dari hambamu ini. Aammin Ya Rabbal a'lamin" 

Setelah melaksanakan Sholat Istiqoroh, Zahra duduk termenung di sudut kamarnya. Merenungkan nasibnya kala berumah tangga di usianya yang baru menginjak 18 tahun. Air matanya menetes tanpa permisi.

Ketukan pintu membuatnya tersadar, lantas dia berdiri dan membukakan pintu buat sang umi.

"Zahra"

"Iya umi"

"Apa kamu siap?" 

"In sha Allah Zahra ridho um" kata Zahra dengan lirih

"Zahra apa kamu yakin?" Afifah tak percaya tadi putrinya menolak dan lihatlah sekarang, putrinya menerima perjodohan ini.

"Demi Allah Zahra ridho um. Jika dengan ini Allah dengan mudah memberikan syurga-Nya dalam genggamanku, maka tak ada alasan untuk Zahra menolaknya" kata Zahra dengan isakan kecil lolos tanpa permisi.

Afsanah Zahra, wanita yang bercita-cita menjadi sebaik-baiknya perhiasan dunia, wanita yang bermimpi suatu saat nanti menikah dengan pria yang mencintainya dan sebaliknya. Tapi, mimpi itu lenyap dalam hitungan detik. Zahra mencoba untuk mengorbankan mimpi dan perasaannya, jika dengan ini tak ada lagi hati yang tersakiti, tak ada alasan bagi seorang Zahra menolak permintaan dari sang abi.

Afifah memeluk tubuh putrinya dengan penuh kasih sayang. Hatinya nyeri menyaksikan ke ikhlasan putrinya itu.

"Terima kasih nak, terima kasih. Maafkan abi dan umi telah menghancurkan mimpimu" Afifah tak bisa lagi menyembunyikan rasa harunya.

"Tak ada yang perlu di maafkan dan meminta maaf. Bukankah sudah kewajiban seorang anak untuk menaati orang tuanya? Zahra tidak ingin tergolong dalam anak yang durhaka" kata Zahra sambil melepas pelukan sang umi.

"Umi bangga padamu nak" Afifah mengecup sayang kening putrinya petanda betapa dia sangat menyayangi putrinya.

"Bersiaplah sebentar lagi keluarga calon suamimu akan datang" Kata Afifah dan berlalu meninggalkan Zahra yang terdiam mematung.

Dia mencerna perkataan dari sang umi. Calon suami? entah kenapa kata itu terdengar asing dan menggelikan di telinganya. 

"Bismillah"

***

Setelah kedatangan keluarga Mahesa seminggu yang lalu. Hari ini adalah hari dimana seorang Afsanah Zahra akan menjadi milik seorang Alfarizi Putra Mahesa.

Zahra terduduk kaku di depan cermin, sambil menatap pantulannya dengan nanar.

"Ya Allah jika dengan ini adalah bagian dari rencanaMu. Maka, hamba akan menerimanya dengan ikhlas." 

"Semoga dia yang terbaik untukku"

"Assalamu'alaikum Dek." Fauziyah dan Fauzan memasuki kamar adik kecil mereka yang sebentar lagi akan berpindah kepemilikan.

"Wa'alaikum salam" jawab Zahra tanpa mengalihkan pandangannya dari cermin kebesaran miliknya.

"Cieee Raranya kakak udah mau nikah aja nih" goda Fauzan mencoba menghibur Zahra.

Fauziyah sudah menceritakan kepadanya, perihal pernikahan Zahra yang tanpa di dasari cinta. Meski berat, Fauzan merelakan semuanya berjalan dengan semestinya dan atas kehendak-Nya.

"Idihhh jangan murung gitu dong Dek, kasihan make up nya" goda Fauziyah.

"Kok kasihan make up nya? Bukan Raranya?" kata Zahra dengan tampang polosnya.

"Ya, iyalah kasihan make up nya. Karena di pakai sama gadis yang mukanya murung" ledek Fauziyah.

"Apa sih Mbak. Gaje tau" kata Zahra kesal.

"Taulah yang bentar lagi mau jadi bini orang," sindir Fauzan.

"Hoho. Yang bentar lagi bakal jadi emak-emak" timpal Fauziyah yang mendapat pelototan dari sang empuh.

"Mending kalian keluar deh. Rara tuh lagi gugup dan mencoba nenangin diri. Kalau udah gak ada keperluan Mbak, Sama Abang bisa keluar sekarang" gertak Zahra penuh kesal.

"Udalah Mbak, kita keluar aja, macan nya udah mau ngamuk nih." ledek Fauzan

"Hayuk Dek. Semangat Ra," 

"Ingat Ra. Ini bukan akhir dari segalanya. Tapi, ini adalah awal dari perjalanan mu" kata terakhir sebelum kedua kakaknya keluar dari tempat ternyaman.

Kalimat Fauziyah seakan menjadi kaset dan tamparan bagi Zahra. Kakaknya benar, ini bukan akhir tapi awal.

Zahra sudah mengenakan gaun berwarna putih dengan kerudung berwarna senada tak lupa pula make up yang menghiyasi wajah cantiknya dan mahkota kecil bertender manis di kepalanya yang berlapiskan kerudung. 

Di lantai dasar semua orang berlalu lalang kesana kemari, mempersiapkan segala sesuatu. Karena, sejam lagi akad akan di mulai.

***

"Saya terima nikahnya Afsanah Zahra binti Zain Hanafi dengan maskawin tersebut tunai." suara bas nan tegas memenuhi ruangan penuh bahagia itu.

"SAH" 

Zahra meneteskan air mata kala mendengar suara tegas milik Alfarizi Putra Mahesa di iringi dengan kata Sah. Baik Zahra maupun Alfa tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi, entah mengapa ada perasaan aneh saat kata sah menyeruak indra pendengaran mereka.

"Umi" dengan spontan Zahra memeluk erat tubuh Afifah. Suara isakan mulai memenuhi kamar yang di penuhi dengan hiyasan bunga, entah tangisan bahagia atau sedih. Hanya Zahra yang bisa merasakannya.

"Selamat sayang. Umi selalu mendoakan yang terbaik buat kamu nak,"

"Mari kita kebawa, suami mu sudah menunggu mu" lanjut Afifah lalu menuntun Zahra di bantu oleh Fauziyah.

Dengan penuh rasa gugup, Zahra duduk di samping kanan Alfa. Jantung Zahra maraton, ingin rasanya dia pergi menjauh dari keadaan yang sangat menegangkan bagi kedua mempelai ini.

Alfa tidak menatap gadis berusia 18 tahun, yang beberapa menit lalu menjadi istrinya.

"Cihhh bahkan aku tidak menginginkan dirimu" batin Alfa

Meski sudah mengatakan kata sakral di depan para tamu undangan, tidak mudah bagi seorang Alfa mengakui Zahra sebagai istrinya. Jangan salahkan Alfa, karena sejatihnya Alfa tidak menginginkan pernikahan ini. 

Lantas siapa yang pantas untuk di salahkan.?

Apa mungkin takdir.?

Atau

Waktu.?

Manusia mengatur, Allah juga turut mengatur. Tapi, skenario-Nya yang lebih indah. Nikmati saja bagaimana semestinya waktu berjalan dan takdir mempermainkan kehidupan manusia.

Setelah Alfa menyayatkan cincin di jari manis istrinya. Zahra meraih tangan suaminya, dengan malu-malu dia mengecup tangan yang akan menjadi tempatnya pulang. Alfa bisa merasakan betapa dingin dan gemetarnya tangan Zahra.

Dengan ogah-ogahan Alfa memgecup singkat puncak kepala Istrinya.

Zahra memejamkan mata kala benda kenyal menyentuh puncak kepalanya. 

"Ya Allah, aku tidak berharap lebih dari-Mu. Intinya, jadikan dia yang saat ini ku kecup tangannya adalah awal dan akhir kebahagiaanku." batin Zahra berbisik.

Tbc.......

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status