Share

KANAYA MELARIKAN DIRI

Satu Minggu berlalu, Kanaya benar-benar kesal pada Hayden lantaran pria itu sangat sibuk. Memang Hayden selalu pulang dengan waktu yang teratur, namun, malam harinya pria itu akan kembali bekerja dan tidak menemaninya.

"Kau ini terus meninggalkanku, apakah ini caramu mengurus seorang gadis sakit?" tanya Kanaya dengan tatapan mata tertuju pada figura besar Hayden yang tertempel di dinding. Ingin rasanya Kanaya merusak figura itu untuk menyalurkan rasa kesalnya pada Hayden.

Gadis itu kembali masuk kamar, memainkan ponsel yang dibelikan oleh Hayden 3 hari yang lalu. Dengan begitu ia tidak perlu menggunakan telepon rumah untuk menghubungi Hayden.

Beberapa menit lagi jam makan siang Hayden tiba, Kanaya sudah siap dengan ponsel genggamnya untuk menghubungi pria itu. Ketika waktunya tiba, dengan cepat Kanaya menelpon Hayden sampai sambungan itu benar-benar tersambung.

"Hi, Hayden tampanku. Kau sudah bersiap hendak makan siang bukan?" tanya Kanaya, terdengar suara grasak-grusuk dari seberang sana. "Iya. Kau sendiri sudah makan siang?" tanya Hayden dari seberang sana.

Kanaya merasa senang, Hayden terdengar sangat peduli padanya. "Belum, aku ingin memastikan kau makan siang atau tidak lebih dulu. Setelah itu aku akan makan siang dengan benar!" jawab Kanaya penuh semangat. Hayden mengangguk sekilas di seberang sana. "Ya, kau harus makan dengan benar dan banyak. Malam nanti kau harus memijatku lagi," ujar Hayden berhasil membuat Kanaya kesal. Gadis itu mendengus kesal.

"Kau tidak akan tahu betapa lelahnya aku memijatmu setiap malam," ucap Kanaya yang sudah bisa dipastikan jika wajah cantik itu tengah cemberut kesal.

"Kau pun tidak akan tahu betapa pusingnya bekerja seharian dan harus menghadapi tingkah menyebalkanmu jika pulang," balas Hayden membuat percakapan itu semakin sengit.

"Kau sangat menyebalkan! Aku benci padamu," ujar Kanaya yang berhasil membangkitkan senyum smirk Hayden tanpa sepengetahuan gadis itu.

"Kau bisa pergi jika tidak nyaman," ujar Hayden dengan maksud dan tujuan untuk menggoda Kanaya saja. Karena hatinya sudah sangat yakin jika Kanaya tidak akan berani keluar. "Dasar!" setelah Kanaya berucap, sambungan itu terputus meninggalkan Hayden yang gemas dengan tingkah Kanaya. Jika saja hari ini libur, mungkin ia tengah sibuk memerhatikan wajah menyebalkan dari Kanaya.

Percakapan itu benar-benar membuat Hayden lupa untuk makan siang, tanpa menunggu waktu lebih lama lagi pria itu segera memakan makanannya yang disediakan oleh Kanaya pagi tadi. Makanan itu masih hangat karena Hayden memiliki penghangat makanan di ruangannya.

***

Waktu pulang telah tiba, Hayden masih belum bersiap-siap untuk pergi karena masih ada satu pekerjaan yang harus selesai hari ini juga. Pria itu hanya meminta pada sekretarisnya untuk menelpon rumah jika dirinya akan pulang telat.

Entah saking asik bekerja atau apa, Hayden baru menyadari jika langit sudah mulai menggelap. Kepalanya terasa sangat sakit dengan mata yang sudah memerah. Pria itu bangkit dari duduknya dan meregangkan otot-otot yang terasa sangat kaku. Tiba-tiba saja pikirannya tertuju pada Kanaya, gadis itu pasti sedang menunggunya dengan mulut mungil yang siap memarahinya habis-habisan lantaran pulang telat.

"Aku pulang, Kanaya. Tunggulah," monolog Hayden ketika melihat wallpaper ponselnya yang menunjukkan foto Anaya dengan raut wajah terlihat sangat bahagia. Foto itu diambil ketika Kanaya sedang membuka box ponsel barunya.

Sebelum benar-benar sampai pada apartemen, Hayden memilih untuk membeli beberapa makanan dan camilan untuk berjaga-jaga jika Kanaya marah padanya. Gadis itu akan luluh jika dirinya membeli sesuatu entah apapun itu.

Sampai di apartemen, keadaan benar-benar sepi tanpa adanya Kanaya yang menyambut di kursi dekat pintu seperti biasa. Apartemen itu benar-benar kosong.

"Kanaya, aku pulang!" ujar Hayden sedikit meninggikan volume suaranya agar Kanaya yang entah ada di mana bisa mendengar suaranya. Beberapa detik setelah itu masih tidak terdengar balasan, benar-benar sunyi.

Hayden melangkah cepat menuju kamar Kanaya dan membukanya. Kamar itu pun kosong dengan pintu kamar mandi yang terbuka dan tidak menampilkan siapapun. Dengan penuh kepanikan Hayden berlari ke sana ke mari menelusuri setiap ruangan di apartemennya untuk mencari Kanaya. Namun nihil, gadis itu hilang bak ditelan bumi.

"Kanaya, tolong angkat!" kesal Hayden ketika mencoba menghubungi Kanaya lewat telepon namun gadis itu tak kunjung mengangkat teleponnya.

Tiba-tiba saja Hayden terpikir untuk melihat cctv, pria itu segera memasuki kamarnya dan membuka komputer. Terlihat Kanaya keluar dari apartemen dengan tas selempang berukuran sedang. Rekaman cctv yang menunjukan bagian Kanaya sedang mengambil beberapa baju yang tercecer di lantai setelah keluar dari kamar membuat Hayden semakin takut. Gadis itu pergi.

Dengan tangan yang gemetar Hayden menelpon beberapa anak buahnya untuk membantu mencari Kanaya. Bahkan Brian yang sedang berada di luar negeri Hayden menanyainya. Tentu pria itu tidak tahu menahu. Dasar Hayden bodoh!

Hayden merutuki dirinya sendiri ketika mengingat ucapannya siang tadi yang menyuruh Kanaya untuk pergi. Dan sialnya gadis itu benar-benar pergi tanpa seizin atau sepengatahuan dirinya.

Kota yang sedang ditempatinya sekarang benar-benar besar, tidak mudah mencari keberadaan gadis mungil seperti Kanaya di tengah-tengah ramainya manusia.

Waktu sudah semakin malam, namun Kanaya masih belum ditemukan. Kini Hayden tengah meminta bantuan temannya yang bisa melacak untuk membantu dirinya melacak Kanaya. Pria itu menggunakan ponsel Kanaya sebagai titik terang di mana gadis itu berada.

Kanaya sedang berada di cafe yang letaknya cukup jauh dengan apartemen. Cafe itu tidak terlalu ramai membuatnya bisa sedikit tenang. Belum lagi posisi duduk yang tepat berada di pojokan membuat Kanaya nyaman. Orang-orang tidak bisa melihatnya dengan jelas.

Ketika sedang menikmati alunan musik dari ponselnya, tiba-tiba saja terdengar suara rusuh. Tak sengaja telinganya mendengar seseorang memanggil namanya. Suara itu benar-benar terdengar familiar.

Hayden tiba dengan nafas yang terengah-engah, keringat sudah mengalir di seluruh tubuhnya membuat Kanaya yang melihat itu mengerutkan dahinya heran. "Kau kenapa?" tanya Kanaya dengan tatapan tanpa dosanya.

"Kita pulang," ujar Hayden dengan salah satu tangan yang mulai menarik pergelangan tangan Kanaya untuk ikut dengannya. "Hey, aku belum membayar—" Hayden menyela. "Bayar, Jack!" titah Hayden pada salah satu anak buahnya untuk membayar apapun yang dinikmati oleh Kanaya selama diam di cafe.

Masuk ke dalam mobil, Kanaya maupun Hayden masih belum membuka suara. Pria itu masih mencoba menormalkan detak jantungnya yang seakan berlarian ke sana-kemari. Kanaya benar-benar membuat hatinya kacau!

"Kenapa kau pergi?" tanya Hayden setelah sekian lama diam dan bergelut dengan kesunyian. Gadis itu menoleh, menatap Hayden dengan tatapan tak percayanya.

"Apakah kau sudah memasuki kepikunan? Siang tadi kau menyuruhku pergi! Dan aku segera menurutinya," jawab Kanaya dengan kedua tangan yang bersidekap dada penuh kesombongan.

"Jangan ulangi lagi," ucap Hayden dengan nada sangat dingin. Hal itu tentu membuat nyali sombong Kanaya menurun. "Kau pun harus janji tidak boleh menyuruhku pergi," cicit Kanaya dengan menatap takut-takut pada Hayden.

"Aku janji. Kau tidak boleh pergi lagi, katakan saja jika kau bosan. Aku akan mengajakmu jalan-jalan meskipun dengan waktu terbatas," ujar Hayden yang segera diangguki oleh Kanaya. Menuruti perintah pria itu mungkin menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.

Ternyata, wajah dingin dan tatapan tajam Hayden lebih menyeramkan dari apapun. Kanaya lebih menyukai wajah datarnya dengan sesekali mulut yang bergerak untuk berdebat dengannya.

Sampai di apartemen, Kanaya segera membanting tubuhnya di atas sofa. Sungguh, duduk terlalu lama ternyata berpengaruh pada pinggangnya sampai sakit seperti ini.

Sebelum menyusul Kanaya untuk beristirahat sebentar, Hayden mengunci pintu apartemennya terlebih dahulu agar Kanaya tidak kembali kabur. Jangankan kabur, Kanaya terlihat sangat lelah sekarang. Begitu pula dengan Hayden yang merasakan sakit kepalanya semakin menjadi-jadi. Pria itu terus memijat pelipisnya sebisa mungkin.

"Kau sakit?" tanya Kanaya yang kini sudah bangkit dan duduk di samping Hayden. Pria itu mengangguk, menatap Kanaya dengan mata lelahnya.

"Astaga, matamu merah sekali. Kau harus segera membersihkan diri dan sehabis itu kau istirahat. Aku akan menyiapkan air hangat," ujar Kanaya penuh khawatir dengan gerak-gerik super cepat untuk menyediakan air hangat agar tubuh Hayden lebih rileks nantinya.

Beberapa saat kemudian Kanaya tiba dan memberitahukan jika air hangatnya sudah siap. Selagi menunggu Hayden selesai mandi, Kanaya menyiapkan beberapa makanan serta obat sakit kepala yang kini ditaruh di atas meja pada kamar Hayden. Tak lupa juga untuk menyiapkan air kompresan yang akan digunakan untuk mengompres Hayden sebelum tidur.

Pria itu keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk yang hanya melilit dari pinggang sampai lutut saja. Selebihnya dibiarkan begitu saja dan menjadi konsumsi Kanaya. Pipi gadis itu tampak merona, cepat-cepat memalingkan wajahnya dan membiarkan Hayden memakai pakaian dengan benar. Barulah Kanaya bisa mengurus pria itu dengan hati serta mata yang tenang.

Namun, bayangan tentang bentuk kotak-kotak di perut Hayden tadi selalu terbayangkan di kepala Kanaya. Gadis itu berusaha melupakannya sampai mati-matian namun tetap tidak bisa.

***

Karya indah mana bisa dilupakan. Betul atau benar?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status