Share

4. Mengunjungi calon mertua

"Ayah, dia ga baik untuk aku."

Ayah dan ibunya yang sedang sarapan pun terdiam. Mereka menunggu putrinya melanjutkan apa yang ingin di utarakannya. Eva mendesah pelan, ia terpaksa mengatakan hal ini. Ia ingin kedua orang tuanya tahu seperti apa pria yang ingin dijodohkan dengannya.

"Dia," Eva mengusap wajahnya dengan gemas. "dia ga waras, Ayah."

"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?" tanya Ibunya.

Eva terdiam, ia masih tak yakin harus jujur atau tidak. Ayahnya pasti akan marah jika mendengarnya. Ia memutar otaknya untuk mencari alasan yang tepat.

"Dia punya pacar," ujar Eva lirih.

Ayahnya mengernyit bingung. "Tapi Bambang bilang dia tidak pernah punya pacar."

Eva mengerjapkan matanya beberapa kali. "Bambang?"

Ayahnya mengangguk lalu berkata, "Ayahnya Andra."

Eva membulatkan mulutnya. "Mungkin Andra tipe orang yang tertutup."

"Kalau begitu, Ayah akan tanyakan lagi pada Bambang," ujar ayahnya.

Eva menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Jangan!"

Ibu dan ayahnya pun menjadi bingung dengan putrinya tersebut. Mereka memilih untuk melanjutkan sarapan. Mereka sama sekali tak menghiraukan Eva yang masih meracau. Putrinya itu bersikeras ingin membatalkan perjodohan itu.

"Eva bisa melunasi semuanya."

Ayahnya langsung meletakkan sendok. Ia menatap putrinya dengan sorot yang tajam. Sedangkan ibunya terlihat sangat kaget dengan ucapan putrinya tersebut.

"Mengapa kamu sampai seperti ini, Eva?" tanya Ibunya dengan wajah sedih.

Eva menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. "Aku ga mau menikah dengan dia, Bu."

Ia langsung bangun dari kursinya, lalu bergegas meninggalkan ruang makan tersebut. Tapi dari arah berlawanan, nampak Andra yang sedang berjalan ke arahnya. Ia mendesis pelan, kehadiran pria itu jelas membuatnya sangat kesal.

Andra tersenyum tipis pada kedua orang tua Eva. Hal itu membuat Eva menjadi semakin tak suka dengan pria tersebut. Jika hanya bersamanya, pria itu tak pernah tersenyum, kecuali jika disuruh.

"Tumben Andra sudah datang. Padahal hari minggu," ujar Ibu Eva.

Andra menunjuk ke arah Eva yang ada di ruang tamu. "Eva bilang mau ke taman bermain."

Pemilik nama itu pun mengernyit bingung sambil menunjuk dirinya sendiri. Lalu Andra mengangguk, kemudian ia berpamitan pada kedua orang tua Eva. Setelah itu ia mengamit lengan wanita yang akan menjadi teman kencannya tersebut.

Eva berulang kali berusaha melepaskan genggaman Andra yang begitu erat. Sangat sulit karena tenaga pria itu sepuluh kali lebih kuat darinya. Akhirnya ia pun pasrah saat pria itu membawanya ke pinggir jalan.

"Kok ke sini?" tanya Eva dengan bingung.

"Kita ke rumah orang tua saya," jawab Andra.

Eva menggelengkan kepalanya. Ia tak mau pergi ke rumah pria itu. Tapi tatapan tajam Andra berhasil membuat nyalinya ciut.

"Pulangnya jangan terlalu malam," ujar Eva lirih.

Andra menganggukkan kepalanya. "Saya cuma mau ambil uang."

Eva semakin bingung dengan ucapan pria tersebut. Jika ia pulang untuk mengambil uang, berarti ....

"Kamu bawa uang, kan?" tanya Andra.

Eva menghela napasnya, lalu mengangguk lemah. Setelah itu Andra menghentikan angkot yang sudah mulai mendekati mereka. Ia memang sangat ahli dalam menghentikan angkot, tubuhnya yang tinggi itu memudahkan sopir untuk melihatnya.

~~~

Eva membelalakkan kedua matanya saat melihat bangunan berwarna putih yang sangat mewah. Ia menatap tak percaya ke arah pria yang sedang menekan bel berulang kali.

"Maaf, ini rumah siapa?" tanya Eva.

Andra menoleh sekilas. "Rumah orang tua saya."

Eva membulatkan mulutnya. Lalu ia memilih diam, menunggu seseorang membuka gerbang yang menjulang tinggi tersebut. Tak berapa lama, gerbang sedikit terbuka. Ia bisa mendengat Andra menghela nafasnya.

"Sialan," rutuk Andra.

Eva langsung membulatkan kedua matanya. Ia tak percaya pria di sampingnya ini berkata seperti itu. Lalu pria itu mendorong pagar dengan kekuatan penuh. Urat di lengannya sampai terlihat, pasti karena mengerahkan tenaga yang terlalu besar.

"Butuh bantuan?" tanya Eva.

Andra menggelengkan kepalanya. "Ini sulit, kamu ga akan bisa bantu saya."

"Bisa!" seru Eva.

Andra menoleh sekilas dengan wajah datarnya. "Silahkan kalau begitu."

Eva berjalan mendekati Andra, lalu ia menarik napas dan menghembuskannya secara berulang kali. Kemudian ia melingkarkan tangannya di pinggang pria tersebut. Sekuat tenaga ia menarik pria itu.

Andra menolehkan kepalanya dengan bingung. "Kamu ngapain?"

Eva mengerjapkan matanya beberapa kali. "Bantu—"

Andra terkekeh mendengar ucapan Eva. "Kamu bukan bantu untuk buka pintu, tapi bantu narik saya."

"Kalau saya tarik kamu, otomatis pintunya ikutan ke tarik karena kamu narik pintunya." Eva tersenyum lalu kembali menarik tubuh Andra. "Satu, dua, tiga!"

Bruk!

Andra menghela napasnya pelan. Ia membiarkan tubuhnya tergeletak di jalan. Sedangkan Eva terlihat sedang tertawa sambil membersihkan celananya yang kotor.

Andra masih tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh wanita ini. Padahal usianya sudah menginjak 25 tahun, tapi bagaimana pikirannya bisa seperti itu. Ia pun segera bangkit dan membersihkan celananya yang kotor.

Eva yang melihat celana Andra kotor pun merasa bersalah. Ia langsung membantu pria itu membersihkan celananya. Tapi ia tidak sadar dengan apa yang dilakukannya saat ini.

"I-itu biar saya saja," ujar Andra lirih.

Eva megerjapkan kedua matanya. "Apa?"

"Tangan kamu," gumam Andra.

"Tangan?" Eva melirik tangannya. Ia sangat terkejut dan menarik tangannya. "Ma-maaf."

Andra berdeham pelan, lalu menganggukkan kepalanya. Ia tetap berusaha tenang walau wajahnya sudah seperti kepiting rebus. Ia mendesis pelan, menyadari kebodohanya yang sudah menikmati sentuhan wanita itu.

"Loh, Andra?"

Andra dan Eva langsung menolehkan saat mendengar suara tersebut. Nampak wanita berusia lebih dari 40 tahun sedang tersenyum manis.

Wanita itu nampak terkejut saat melihat Eva. "Kamu calon istrinya Andra?"

Eva tersenyum kaku saat mendengar ucapan wanita tersebut. Ia melirik Andra yang berada di sampingnya. Pria itu menatap datar wanita yang ada di hadapan mereka.

"Iya, saya Eva—"

"Ayo masuk, Sayang," ujar wanita itu sambil menggenggam lengan Eva.

Wanita itu mengambil sebuah remot kecil dari sakunya. Lalu menekan tombol besar berwarna merah. Seketika pintu itu langsung terbuka lebar. Eva sangat kagum melihat betapa canggihnya gerbang tersebut.

Tapi bagaimana bisa Andra tidak bisa membuka gerbang tersebut? Mengapa ia harus menekan bel untuk bisa masuk ke rumah itu?

"Saya ibunya Andra. Kamu bisa panggil saya Ibu, karena sebentar lagi kamu akan menjadi bagian dari keluarga kami," kata Ibu Andra sambil tersenyum.

Eva masih terus mempertahankan senyum kakunya. Ia menoleh sekilas pada Andra yang berjalan di belakangnya. Ia seolah meminta pertolongan pria itu agar terbebas dari suasana canggung tersebut.

Andra nampaknya paham dengan maksud Eva. Tapi ia sama sekali tak mempunyai niat untuk membanti wanita itu. Ia akan membiarkan ibunya terus menempel pada calon istrinya tersebut.

Andra berdeham pelan. Eva langsung menoleh, berharap pria itu akan membantunya.

"Bu, aku titip Eva ya."

Eva langsung melotot mendengar ucapan Andra. Bukannya menolong, justru pria itu berniat meninggalkannya. Benar-benar menyebalkan!

Ibu Andra tersenyum sambil mengelus punggung tangan Eva. "Tentu saja. Ibu akan jaga calon istri kamu dengan baik."

Eva memaksakan kedua sudut bibirnya untuk membentuk senyuman. Padahal dalam hatinya, ia merasa sangat terbakar. Ia ingin sekali memukul kepala Andra menggunakan sepatu milik Vira yang beratnya melebihi tronton.

Andra tersenyum ke arahnya dengan penuh kemenangan. Sedangkan ia membalas senyuman itu dengan tatapan sinis.

'Awas lo ya!' teriak Eva dalam hati.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status