Home / Romansa / SIMBIOSIS / 4. Mengunjungi calon mertua

Share

4. Mengunjungi calon mertua

Author: Fit
last update Last Updated: 2021-08-14 15:07:04

"Ayah, dia ga baik untuk aku."

Ayah dan ibunya yang sedang sarapan pun terdiam. Mereka menunggu putrinya melanjutkan apa yang ingin di utarakannya. Eva mendesah pelan, ia terpaksa mengatakan hal ini. Ia ingin kedua orang tuanya tahu seperti apa pria yang ingin dijodohkan dengannya.

"Dia," Eva mengusap wajahnya dengan gemas. "dia ga waras, Ayah."

"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?" tanya Ibunya.

Eva terdiam, ia masih tak yakin harus jujur atau tidak. Ayahnya pasti akan marah jika mendengarnya. Ia memutar otaknya untuk mencari alasan yang tepat.

"Dia punya pacar," ujar Eva lirih.

Ayahnya mengernyit bingung. "Tapi Bambang bilang dia tidak pernah punya pacar."

Eva mengerjapkan matanya beberapa kali. "Bambang?"

Ayahnya mengangguk lalu berkata, "Ayahnya Andra."

Eva membulatkan mulutnya. "Mungkin Andra tipe orang yang tertutup."

"Kalau begitu, Ayah akan tanyakan lagi pada Bambang," ujar ayahnya.

Eva menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Jangan!"

Ibu dan ayahnya pun menjadi bingung dengan putrinya tersebut. Mereka memilih untuk melanjutkan sarapan. Mereka sama sekali tak menghiraukan Eva yang masih meracau. Putrinya itu bersikeras ingin membatalkan perjodohan itu.

"Eva bisa melunasi semuanya."

Ayahnya langsung meletakkan sendok. Ia menatap putrinya dengan sorot yang tajam. Sedangkan ibunya terlihat sangat kaget dengan ucapan putrinya tersebut.

"Mengapa kamu sampai seperti ini, Eva?" tanya Ibunya dengan wajah sedih.

Eva menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. "Aku ga mau menikah dengan dia, Bu."

Ia langsung bangun dari kursinya, lalu bergegas meninggalkan ruang makan tersebut. Tapi dari arah berlawanan, nampak Andra yang sedang berjalan ke arahnya. Ia mendesis pelan, kehadiran pria itu jelas membuatnya sangat kesal.

Andra tersenyum tipis pada kedua orang tua Eva. Hal itu membuat Eva menjadi semakin tak suka dengan pria tersebut. Jika hanya bersamanya, pria itu tak pernah tersenyum, kecuali jika disuruh.

"Tumben Andra sudah datang. Padahal hari minggu," ujar Ibu Eva.

Andra menunjuk ke arah Eva yang ada di ruang tamu. "Eva bilang mau ke taman bermain."

Pemilik nama itu pun mengernyit bingung sambil menunjuk dirinya sendiri. Lalu Andra mengangguk, kemudian ia berpamitan pada kedua orang tua Eva. Setelah itu ia mengamit lengan wanita yang akan menjadi teman kencannya tersebut.

Eva berulang kali berusaha melepaskan genggaman Andra yang begitu erat. Sangat sulit karena tenaga pria itu sepuluh kali lebih kuat darinya. Akhirnya ia pun pasrah saat pria itu membawanya ke pinggir jalan.

"Kok ke sini?" tanya Eva dengan bingung.

"Kita ke rumah orang tua saya," jawab Andra.

Eva menggelengkan kepalanya. Ia tak mau pergi ke rumah pria itu. Tapi tatapan tajam Andra berhasil membuat nyalinya ciut.

"Pulangnya jangan terlalu malam," ujar Eva lirih.

Andra menganggukkan kepalanya. "Saya cuma mau ambil uang."

Eva semakin bingung dengan ucapan pria tersebut. Jika ia pulang untuk mengambil uang, berarti ....

"Kamu bawa uang, kan?" tanya Andra.

Eva menghela napasnya, lalu mengangguk lemah. Setelah itu Andra menghentikan angkot yang sudah mulai mendekati mereka. Ia memang sangat ahli dalam menghentikan angkot, tubuhnya yang tinggi itu memudahkan sopir untuk melihatnya.

~~~

Eva membelalakkan kedua matanya saat melihat bangunan berwarna putih yang sangat mewah. Ia menatap tak percaya ke arah pria yang sedang menekan bel berulang kali.

"Maaf, ini rumah siapa?" tanya Eva.

Andra menoleh sekilas. "Rumah orang tua saya."

Eva membulatkan mulutnya. Lalu ia memilih diam, menunggu seseorang membuka gerbang yang menjulang tinggi tersebut. Tak berapa lama, gerbang sedikit terbuka. Ia bisa mendengat Andra menghela nafasnya.

"Sialan," rutuk Andra.

Eva langsung membulatkan kedua matanya. Ia tak percaya pria di sampingnya ini berkata seperti itu. Lalu pria itu mendorong pagar dengan kekuatan penuh. Urat di lengannya sampai terlihat, pasti karena mengerahkan tenaga yang terlalu besar.

"Butuh bantuan?" tanya Eva.

Andra menggelengkan kepalanya. "Ini sulit, kamu ga akan bisa bantu saya."

"Bisa!" seru Eva.

Andra menoleh sekilas dengan wajah datarnya. "Silahkan kalau begitu."

Eva berjalan mendekati Andra, lalu ia menarik napas dan menghembuskannya secara berulang kali. Kemudian ia melingkarkan tangannya di pinggang pria tersebut. Sekuat tenaga ia menarik pria itu.

Andra menolehkan kepalanya dengan bingung. "Kamu ngapain?"

Eva mengerjapkan matanya beberapa kali. "Bantu—"

Andra terkekeh mendengar ucapan Eva. "Kamu bukan bantu untuk buka pintu, tapi bantu narik saya."

"Kalau saya tarik kamu, otomatis pintunya ikutan ke tarik karena kamu narik pintunya." Eva tersenyum lalu kembali menarik tubuh Andra. "Satu, dua, tiga!"

Bruk!

Andra menghela napasnya pelan. Ia membiarkan tubuhnya tergeletak di jalan. Sedangkan Eva terlihat sedang tertawa sambil membersihkan celananya yang kotor.

Andra masih tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh wanita ini. Padahal usianya sudah menginjak 25 tahun, tapi bagaimana pikirannya bisa seperti itu. Ia pun segera bangkit dan membersihkan celananya yang kotor.

Eva yang melihat celana Andra kotor pun merasa bersalah. Ia langsung membantu pria itu membersihkan celananya. Tapi ia tidak sadar dengan apa yang dilakukannya saat ini.

"I-itu biar saya saja," ujar Andra lirih.

Eva megerjapkan kedua matanya. "Apa?"

"Tangan kamu," gumam Andra.

"Tangan?" Eva melirik tangannya. Ia sangat terkejut dan menarik tangannya. "Ma-maaf."

Andra berdeham pelan, lalu menganggukkan kepalanya. Ia tetap berusaha tenang walau wajahnya sudah seperti kepiting rebus. Ia mendesis pelan, menyadari kebodohanya yang sudah menikmati sentuhan wanita itu.

"Loh, Andra?"

Andra dan Eva langsung menolehkan saat mendengar suara tersebut. Nampak wanita berusia lebih dari 40 tahun sedang tersenyum manis.

Wanita itu nampak terkejut saat melihat Eva. "Kamu calon istrinya Andra?"

Eva tersenyum kaku saat mendengar ucapan wanita tersebut. Ia melirik Andra yang berada di sampingnya. Pria itu menatap datar wanita yang ada di hadapan mereka.

"Iya, saya Eva—"

"Ayo masuk, Sayang," ujar wanita itu sambil menggenggam lengan Eva.

Wanita itu mengambil sebuah remot kecil dari sakunya. Lalu menekan tombol besar berwarna merah. Seketika pintu itu langsung terbuka lebar. Eva sangat kagum melihat betapa canggihnya gerbang tersebut.

Tapi bagaimana bisa Andra tidak bisa membuka gerbang tersebut? Mengapa ia harus menekan bel untuk bisa masuk ke rumah itu?

"Saya ibunya Andra. Kamu bisa panggil saya Ibu, karena sebentar lagi kamu akan menjadi bagian dari keluarga kami," kata Ibu Andra sambil tersenyum.

Eva masih terus mempertahankan senyum kakunya. Ia menoleh sekilas pada Andra yang berjalan di belakangnya. Ia seolah meminta pertolongan pria itu agar terbebas dari suasana canggung tersebut.

Andra nampaknya paham dengan maksud Eva. Tapi ia sama sekali tak mempunyai niat untuk membanti wanita itu. Ia akan membiarkan ibunya terus menempel pada calon istrinya tersebut.

Andra berdeham pelan. Eva langsung menoleh, berharap pria itu akan membantunya.

"Bu, aku titip Eva ya."

Eva langsung melotot mendengar ucapan Andra. Bukannya menolong, justru pria itu berniat meninggalkannya. Benar-benar menyebalkan!

Ibu Andra tersenyum sambil mengelus punggung tangan Eva. "Tentu saja. Ibu akan jaga calon istri kamu dengan baik."

Eva memaksakan kedua sudut bibirnya untuk membentuk senyuman. Padahal dalam hatinya, ia merasa sangat terbakar. Ia ingin sekali memukul kepala Andra menggunakan sepatu milik Vira yang beratnya melebihi tronton.

Andra tersenyum ke arahnya dengan penuh kemenangan. Sedangkan ia membalas senyuman itu dengan tatapan sinis.

'Awas lo ya!' teriak Eva dalam hati.

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SIMBIOSIS   94. Lamaran

    Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga

  • SIMBIOSIS   93. Seribu kupu-kupu

    Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah

  • SIMBIOSIS   92. Pengakuan

    "Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu

  • SIMBIOSIS   91. Rindu

    Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin

  • SIMBIOSIS   90. Adik

    Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla

  • SIMBIOSIS   89. Sebuah kenyataan

    Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status