Share

3. Kue dari Andra

Eva menatap datar pria yang duduk di hadapannya. Hari masih terlalu pagi, tapi nampaknya pria itu memang berniat untuk merusaknya. Ia melirik ke arah ibunya yang nampak sangat senang dengan kunjungan Andra. Sedangkan ayahnya hanya diam dengan mata yang terpaku pada koran.

Eva hendak mengambil piring dari meja, tapi tangan Andra lebih cepat meraihnya. Ia menatap pria itu dengan tatapan tak suka. Ia langsung merampas piring dari tangan pria tersebut. setelah itu ia memilih untuk diam dan fokus pada sarapannya. Hari minggu sudah di depan mata, ia harus menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Untuk sementara ia akan membiarkan pria itu mengikuti naskah yang dibuat oleh ayahnya.

“Makan yang banyak,” ujar ibu Eva pada Andra yang sedang mengambil makanan.

Andra tersenyum dan mengangguk. Tangannya mulai bergerak mengambil makanan yang sesuai dengan seleranya. Lalu ia melihat sebuah telur mata sapi di atas piring bermotif bunga. Ia pun langsung mengambilnya. Tapi tangannya terhenti saat Eva menjepit sendok miliknya dengan garpu.

“Itu punya saya,” ujar Eva dengan tatapan elangnya.

Andra mengernyitkan dahinya. “Tapi tadi—"

Eva langsung menusuk telur itu dengan garpu yang ada ditangannya. Lalu ia membawa telur itu masuk ke dalam piringnya. Sedangkan Andra hanya bisa menatapnya dengan ekspresi datarnya yang khas.

“Eva ga boleh gitu sama Mas Andra,” tegur ibunya.

Telur yang sudah ada di dalam mulutnya langsung jatuh kembali ke piring saat mendengar ucapan ibunya tersebut. ia memicingkan kedua matanya dengan kening yang berkerut. Sepertinya ia sudah salah dengan ucapan ibunya tersebut.

“Apa? M-mas?” tanya Eva.

Ibunya mengangguk sambil tersenyum. “Kalian sudah harus mencari nama panggilan satu sama lain.”

Andra bergidik mendengar ucapan Ibu Eva yang sudah mulai melantur kemana-mana. Ia pun dengan cepat menghabiskan sarapan yang ada di piringnya. Selesai sarapan, ia langsung pamit untuk menunggu di luar rumah. Jika terus menunggu di dalam, mungkin ia bisa terpengaruh dengan ucapan wanita yang sebentar lagi akan menjadi ibunya.

Dari luar rumah, Andra bisa melihat Eva yang mulai menunjukkan senyumnya. Tapi nampaknya senyuman manis itu belum cukup untuk mencairkan hatinya yang sekian lama membeku. Ia sudah terlanjur bertekad untuk tak berurusan dengan dunia percintaan. Maka dari itu akan sulit membuatnya kembali merasakan cinta.

“Naik taxi lagi?”

Andra menggelengkan kepalanya. “Naik bus.”

Eva mendengus pelan lalu berkata, “Kalau ga punya mobil, lebih baik jangan jemput saya.”

“Kenapa?” tanya Andra.

“Saya merasa seperti percuma. Sebelum ada kamu, saya selalu naik bus dan taxi. Jadi kehadiran kamu saat ini tak lebih hanya sebagai pelengkap,” jelas Eva.

“Saya hanya—“

“Kamu hanya boneka milik ayahmu!” potong Eva.

Setelah mengatakan itu, Eva langsung melenggang pergi meninggalkan Andra yang masih terdiam di tempatnya. Ia bahkan tak peduli jika ucapannya itu menyakiti perasaan pria tersebut. Kini yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana cara untuk membatalkan pernikahan tersebut.

Saat tengah sibuk berpikir, lengannya seperti ditarik dengan lembut. Ia langsung menoleh dan mendapati Andra dengan wajah datarnya. Ia memang sudah mulai terbiasa melihat ekspresi itu, tapi entah mengapa ia selalu kesal.

“Senyum,” gumam Eva.

Andra yang berada satu langkah di depannya pun berhenti. Perlahan ia menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman. Kali ini Eva tak berkomentar, senyuman pria itu terlihat sangat manis sampai ia sangat ingin melakukan hal yang kemarin.

Eva langsung menggelengkan kepalanya berulang kali. Andra pun terlihat bingung melihatnya. Senyum di wajah pria itu sudah kembali berubah menjadi wajah datarnya. Ia hanya mengedikkan bahunya, ia tak ingin terlalu dekat dengan pria itu.

Tanpa terasa mereka sudah tiba di pinggir jalan yang besar. Nampak sebuah bus hendak melintasi mereka. Andra pun merentangkan sebelah tangannya untuk menghentikan laju bus tersebut. Akhirnya bus itu pun berhenti. Eva sedikit merasa beruntung karena Andra bisa menghentikan bus tersebut.

Mereka pun masuk ke dalam bus tersebut. Namun saat tiba di dalam, mereka sama sekali tak bisa menemukan tempat yang kosong. Semuanya sudah terisi oleh penumpang. Mereka pun terpaksa harus berdiri.

Mata Andra terus menelusuri seisi bus tersebut. Lalu ia melihat sebuah bangku yang kosong, namun di sampingnya seorang pria bertato dengan tubuh berotot.

"Saya ke sana sebentar," bisik Andra pada Eva.

Eva langsung menganggukkan kepalanya. Setelah itu Andra pun berjalan perlahan ke arah bangku yang kosong. Pria berotot yang duduk di sana menatapnya dengan tajam.

"Permisi, Mas," sapa Andra.

Pria itu masih terus menatapnya tajam. "Kenapa lo?"

"Apa Mas bisa duduk di sebelah sana? Istri saya sedang hamil. Dia tidak bisa duduk di dekat jendela," ujar Andra.

Pria itu menoleh ke arah Eva yang masih berdiri dengan kepala menunduk.

"Itu istri lo?" tanya pria itu.

Andra menganggukkan kepalanya. Pria itu pun segera menggeser posisi duduknya ke dekat jendela. Ia tersenyum dan berterima kasih pada pria tersebut.

Setelah itu Andra kembali berjalan ke arah Eva. Ia menggenggam lengan wanita itu dengan lembut. Wanita itu nampak tertegun dengan sikapnya.

"Mau kemana?" tanya Eva.

"Duduk di sana," ujar Andra sambil menunjuk ke kursi yang kosong.

Eva bergidik ngeri saat melihat pria berotot dengan banyak tato yang sedang duduk sambil memandangi jendela. Ia menghentikan langkahnya lalu menggelengkan kepalanya.

"Saya bisa berdiri," ujar Eva.

Andra menoleh dengan tatapan datarnya. "Saya jagain."

~~~

Eva duduk dengan senyum yang sangat dipaksakan. Ia menatap pria di hadapannya yang sedang mengeluarkan sekotak kue bolu. Padahal ia sama sekali tak berharap hubungan mereka akan sejauh ini. Tapi nampaknya Andra sangat patuh pada ayahnya sampai rela melakukan hal seperti ini. Pria itu sampai mendatangi kantor dan diizinkan masuk ke ruangannya.

Andra mendeham pelan. "Saya harus melakukan ini karena ayah—"

"Di mana kamu beli kue ini?" potong Eva, ia langsung mengambil mengambil sepotong kue bolu tersebut.

Andra tak menjawab, ia hanya diam karena kedua rekan kerja Eva datang. Mereka menarik kursi dan duduk di meja yang sama. Lalu mereka ikut memakan kue bolu yang ada di atas meja.

"Enak. Beli di mana, Va?" tanya Vira.

Eva mengedikkan bahunya. "Tidak tau, dia yang bawa," kata Eva sambil menunjuk Andra.

"Mas, beli kuenya di mana? Enak nih," tanya Ina.

Andra menggelengkan kepalanya. "Itu kue buatan rumah."

Ina dan Vira langsung terpesona dengan jawaban Andra. Mereka saling menatap satu sama lain dengan mulut membulat. Sedangkan Eva hanya tersenyum tipis.

"Kamu buat kue ini spesial untuk saya?" tanya Eva dengan percaya diri.

Andra menggelengkan kepalanya. "Bukan saya, tapi rekan kerja saya. Dia membuat kue itu, karena menyukai saya."

Seketika kerongkongan Eva mengering. Ia tak bisa menelan kue yang sudah ada di dalam mulutnya. Ina dan Vira meringis, lalu bangun dari kursinya.

"Va, kita ke kantin dulu ya," ujar Vira.

Eva menoleh dengan senyum yang dipaksakan. Lalu ia menganggukkan kepalanya. Kedua rekannya pun keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan ia dan Andra yang terjebak dalam suasana canggung.

"Dimakan kuenya," ujar Andra.

Eva tersenyum kecut, lalu menggigit kue yang ada di tangannya.

"Enak kan?" tanya Andra.

Eva menghela napasnya, lalu mengangguk lemah.

"Kuenya enak banget, saya sampai terharu."

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status