17."Siska?!" Paman yang baru saja datang, langsung terkejut melihat Tante Siska yang sedang mengobrol dengan ayah. Dirinya seperti terpana melihat Tante Siska, sampai tak berkedip.Aku lekas memanggil nenek yang berada di belakang. Aku takut paman membuat ulah, dan rencanaku gagal. "Tejo?" panggil nenek begitu sudah sampai di ruang tamu."Ah. Bibi apa kabar?" Paman meraih tangan tua nenek, dan menciumnya takzim. "Alhamdulillah, baik. Tumben kamu pulang?" "Tejo kangen sama bibi," sahut paman dengan mata yang menatap liar kearah Tante Siska. "Bisa biarkan aku, dan Siska ngobrol berdua?" imbuhnya lagi. "Nggak! Tante Siska ada keperluan dengan ayah. Paman kan kangen sama nenek. Kenapa nggak ngobrol sama nenek saja?" Aku langsung menolak permintaan paman mentah-mentah. Dirinya melayangkan tatapan tajamnya padaku. Tapi, aku tak merasa takut sama sekali.Selain karena ada ayah, dan nenek yang akan melindungi ku. Aku juga sudah muak dengan paman. Dari gerak-geriknya aku tau bahwa pam
18Sejak kejadian tadi pagi. Ayah tak pernah lagi terlihat. Aku tak tau dia berada dimana. Sampai makan malam selesai pun ayah tak datang.Aku yang tengah membantu nenek membereskan meja makan, seketika mengerutkan kening, bingung. Melihat nenek yang menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan lauk, serta sayur. "Itu untuk siapa?" tanyaku. Sebab aku, dan nenek sudah makan. Kecuali ayah. Tapi, ayah saja tak tau ada dimana. "Ini untuk ayahmu," jawab nenek seraya menuangkan air kedalam gelas, dan meletakkannya di atas nampan bersama dengan makanan tadi. "Loh, ayah ada dimana? Dari tadi Sandra nggak lihat.""Ayahmu ada di kamar belakang. Kamar almarhum pamannya dulu," sahut nenek, dan langsung berlalu pergi. Aku cepat-cepat membereskan meja makan, dan langsung menyusul nenek. Aku takut salah jalan. Karena rumah ini sangat luas, dengan banyak kamar. Entah kamar mana yang nenek maksud tadi.Aku langsung bernafas lega saat mendapati nenek sedang mengetuk sebuah pintu dekat dengan lorong
19.Ternyata apa yang nenek ucapkan, benar adanya. Dua hari setelah nenek berbicara pada ayah tentang menikahi tante Siska, hari ini nenek mengajakku pergi ke bank untuk mengambil uang tabungannya. Bank itu terletak di dekat tempat aku, dan ayah turun dari angkot kemarin. Aku, dan nenek pergi kesana menggunakan sepeda motor milik almarhum kakek. Sebelum kami sampai di bank. Nenek menyuruhku untuk pergi ke rumah Tante Siska terlebih dahulu. Dengan arahan dari nenek, kami pun sampai di rumah orang tua Tante Siska. "Assalamualaikum." Nenek mengucap salam seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah dengan cat tembok warna biru muda itu. "Wa'alaikumussalam, sebentar!" Terdengar suara orang menyahut dari dalam rumah. Tak lama kemudian pintu itu pun terbuka, dan terlihatlah seorang wanita tua berdiri dibaliknya.Wanita tua yang mungkin seumuran dengan nenek itu berdiri menatap aku, dan nenek bergantian."Aku Atun. Masa kamu lupa, Sri," ujar nenek dengan nada gurauan.Wanita t
20.Hari ini tetangga sekitar yang nenek undang, datang untuk membantu persiapan pernikahan ayah.Hari pernikahan ayah akan dilakukan besok. Nenek memberi tau Tante Siska, bahwa dia tak perlu menyiapkan apapun. "Sandra, coba lihat ayahmu. Panggil dia kemari!" titah nenek yang tengah menyiapkan pakaian yang akan ayah kenakan esok saat ijab qobul nya. Sedari tadi pagi ayah tak terlihat. Bahkan, teman-temannya datang pun ayah tak keluar menyambut mereka. Ayah terus mengurung diri di kamar almarhum kakek waktu itu. Entah ini adalah bentuk protesnya pada nenek, atau apa. Yang jelas, ayah jarang sekali menanggapi ucapan nenek. Dirinya akan keluar dari kamar itu, saat jam makan saja. Itupun aku atau nenek yang harus memanggilnya keluar. Tok, tok, tok!"Sandra masuk, ya, Yah." Aku langsung membuka pintu saat tak ada sahutan dari dalam. Ceklek!Aku langsung menghela nafas lelah saat masuk kedalam kamar, dan melihat ayah yang tengah duduk melamun di kursi kayu.Dirinya belum menyadari
21."Bagaimana para saksi, sah?" tanya pak penghulu saat ayah sudah berhasil mengucapkan ijab qobul dalam satu tarikan nafas. "Sah!" seru para saksi, dan tamu undangan dengan riang. "Alhamdulillah." Aku memanjatkan doa, dan rasa syukur atas pernikahan ayah yang berjalan lancar. Air mata haru seketika langsung menetes, saat melihat ayah memberikan tangannya pada tante Siska. Tante Siska lantas mencium tangan ayah dengan takzim.Binar bahagia di wajah Tante Siska, begitu kentara. Senyum manisnya tak pernah luntur dari wajah cantiknya yang terpoles make up tipis. Aku maju mendekati mereka, dan meraih tangan ayah.Ku cium dengan takzim tangannya, dengan mata berkaca-kaca. Perasaanku campur aduk saat ini. Rasa bahagia, haru, dan takut.Aku takut tak bisa mendekatkan mereka. "Selamat menempuh hidup barumu, ayah," ucapku setelah mencium tangannya. Ayah mengangguk, dan langsung memeluk ku. "Apa kamu bahagia, nak?" tanyanya. "Sangat. Sandra sangat bahagia. Berjanjilah untuk selalu m
22.Aku, ayah, dan Tante Siska. Akhirnya sampai di rumah saat hari menjelang malam. Sepulang ayah, dan Tante Siska dari rumah nek Sri tadi, nenek Atun sempat meminta ayah untuk menunda kepulangan kami. Tapi, ayah tetap ngotot ingin kami segera pulang hari ini juga. Dan akhirnya, nenek hanya memberi peringatan pada ayah untuk memperlakukan Tante Siska dengan baik.Ayah pun berjanji pada nenek sebelum kami berangkat tadi.Dan selama berada dalam angkot pun sikap ayah sudah tak sedingin tadi pagi. Dia terlihat tersenyum, dan berbicara pada Tante Siska seperti biasanya. Aku turut senang melihatnya. "Ayah. Sandra mau bicara empat mata dengan ayah," pintaku sebelum ayah masuk kedalam kamar menyusul tante Siska. Bukan niatku untuk mengganggu waktu mereka berdua. Tapi, ada hal yang harus aku sampaikan pada ayah.Ayah menutup kembali pintu kamar yang tadi sempat dibukanya. "Mau bicara apa? Mau bicara soal hubungan ayah, dan Tante Siska?" tanyanya. Aku menggeleng cepat. "Bukan. Sandra
23."Sandra ikut ayah ke kebun, nggak? Masih libur, kan?" tanya ayah saat kami bertiga sedang menyantap sarapan buatan Tante Siska untuk pertama kalinya. Rasa masakannya sangat nikmat, ditambah lagi dengan suasana pagi yang mendung. Membuatku merasakan kenyamanan. Aku pernah bermimpi untuk makan bersama dengan ayah, dan ibu di meja makan ini. Tapi, tak pernah kesampaian juga. Dan kini aku merasa puas, karena bisa mewujudkan impianku itu. Walaupun, bukan dengan ibu kandungku. "Sandra dirumah saja. Mau istirahat, capek," sahutku dengan gelengan kepala. "Mau tambah telur dadarnya, mas?" tanya Tante Siska yang duduk di kursi samping ayah. Ayah menggeleng pelan. "Cukup, dek. Mas sudah kenyang." Balas ayah seraya mengambil segelas air, dan meneguknya. Wajah Tante Siska terlihat murung karena penolakan ayah. Aku segera mengambil tindakan agar wajah cantiknya tak lagi murung. "Buat Sandra saja, ma." Aku langsung menyodorkan piring makananku, memintanya mengambilkan telur dadar itu u
24.Hari-hari yang aku, ayah, dan Tante Siska jalani. Sangat baik, dan damai. Tak ada pertengkaran atau sikap ayah yang dingin pada Tante Siska lagi. Hanya ada canda tawa yang meliputi rumah ini. Tak ada lagi jadwal aku menginap di rumah bibi Wati. Semuanya berjalan baik-baik saja. "Uweek, uweek!" Terdengar suara seperti orang muntah-muntah di belakang rumah. Aku yang baru saja keluar dari dalam kamar langsung melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit. Aku mengernyit heran. Suara muntah siapa itu?Apa itu suara ayah? Karena memang semalam ayah mengeluh mual karena masuk angin. Ayah terkena hujan saat perjalanan pulang dari kebun kemarin sore.Dengan sedikit berlari aku menuju ke belakang rumah.Ingin memastikan kondisi ayah. Kalau memang perlu, harus dibawa ke dokter. Tapi, saat tiba di belakang rumah. Yang ku dapati malah Tante Siska yang tengah berjongkok.Dia duduk membelakangi ku. Terlihat tangan kanannya memegang perut, dan tangan kirinya sibuk me