STATUS WA ADIK IPARKU 3
Aku menelan ludah membaca statusnya. Ada yang terasa nyeri disini. Hatiku terasa dicubit kuat-kuat. Kenyataan kalau aku belum hamil di usia pernikahan kami yang kelima, kerap membuatku rendah diri. Aku dan Mas Reno sudah memeriksakan diri dan hasilnya kami baik-baik saja. Tapi tuntutan dan cemooh orang sekitar seringkali membuatku harus mengelus dada."Makanya nggak usah terlalu capek, Ndin. Serahkan butik itu pada adikmu. Kamu fokus usaha biar cepat hamil."Itu kata Mama mertuaku, bahkan beliau mengucapkan hal itu di tahun pertama pernikahan. Kalimat pertama yang terus diulangnya hingga aku hafal.Memberikan butik yang kurintis sejak masih gadis pada adikku. Entah adik yang mana yang dimaksud Mama. Apakah Vira adik Mas Reno, atau Radit adikku. Keduanya tidak mungkin kulakukan. Aku merintis butik itu dari nol. Berdua Lila sahabatku, kami memulainya dari hanya bermodal ruko kosong dan stok baju puluhan juta saja. Berjalan dua tahun, ketika butik nyaris kolaps, Lila memutuskan menjual bagiannya padaku. Aku mencicilnya sampai lunas empat tahun lamanya, susah payah membangun bisnis itu dari awal lagi hingga kini omzetnya ratusan jutaan sebulan. Butik itu adalah bukti perjuanganku, kalau sebagai perempuan, aku tak hanya bisa menadahkan tangan.Dan kini, status WA Riris menyentil nyentil hatiku. Dia telah menyentuh egoku yang paling dalam, hal sensitif yang selama ini kerap menjadi alasan dinginnya rumah kami. Mas Reno, yang di tahun-tahun pertama selalu membelaku, akhir-akhir ini mulai terasa berbeda. Selama ini aku diam, tetap mencoba menahannya disisiku dengan berbagai cara. Tapi juga pasrah, karena bagaimanapun kami saling mencintai, hanya Allah yang punya kuasa membolak balikan hati manusia.Aku men-screenshoot status F* Riris, entah untuk apa. Mungkin untuk mengingatkan diriku sendiri, bahwa sudah seharusnya aku berhenti berbaik hati pada ular yang mulutnya berbisa itu.***"Bu Andin, butik sudah mau tutup. Ibu belum pulang?"Ema, asisten kepercayaanku melongokkan kepalanya dari balik pintu. Aku menoleh sejenak, mematikan laptop dan menutupnya. Baru tersadar kalau ini sudah jam sepuluh malam. Biasanya aku pulang lebih dulu, sekitar jam tujuh. Ema dan Tia yang mengurus buka dan tutup Butik secara bergantian setiap hari."Ini mau pulang." Senyumku, berdiri dan meraih tas. Setelah mengunci ruangan pribadiku, kami turun beringinan ke lantai satu, tempat baju-baju branded di display dengan rapi."Omset makin bagus ya Em. Kalau stabil, akhir tahun kita jalan-jalan.""Wah, serius Bu?" Seru Ema. Satu lagi karyawan ikut keluar sambil menenteng tas."Serius dong. Makanya semangat ya."Aku menepuk bahunya, berjalan keluar lebih dulu. Kutunggu Ema dan Astri menutup rolling door, barulah naik ke mobil. Ema memegang kunci duplikat sehingga dia bisa membuka butik lebih dulu jika aku kesiangan.Mereka berdua naik ke motor yang sama. Kubiarkan mereka jalan lebih dulu. Pelan-pelan, aku keluar, bersatu dengan kendaraan di jalan raya. Kota kecil ini, tak pernah benar-benar tidur. Kehidupan ekonomi tengah menggeliat. Jam sepuluh malam, masih terasa ramai.Tiba-tiba, mataku menangkap sosok seseorang yang kukenal, keluar dari sebuah toko sepatu branded. Meski dari jauh dan hanya diterangi lampu, aku tak mungkin salah mengenali kalau itu Riris. Dia tampak tersenyum, dan yang membuatku makin terkejut adalah, tangannya yang menggelayut mesra di lengan seseorang.Tiinnn…Suara klakson mobil membuatku tersadar kalau aku telah berhenti cukup lama di tempat yang tak seharusnya. Kutepikan mobil, namun mencari tempat berhenti di keramaian seperti ini bukan hal mudah. Aku harus berhati-hati agar tak menyenggol kendaraan lain. Dan ketika aku benar-benar telah berhenti, sosok Riris telah menghilang.Aku menghela nafas, meraih ponsel dan bermaksud menelepon Ibu. Lalu teringat bahwa ini sudah hampir jam sebelas malam. Ibu biasanya sudah tidur karena nanti akan bangun jam tiga pagi untuk sholat malam. Kuurungkan niat menelepon Ibu dan malah menekan nomor Riris. Sekali, dua kali, dan pada deringan yang ketiga, telepon tersambung. Terdengar suaranya menguap."Kenapa sih telpon malam-malam? Aku dah tidur tahu Mbak."Aku terdiam sejenak. Jelas-jelas aku melihatnya tadi, tapi dia bilang sedang tidur."Kamu dimana?""Aku di rumah lah. Ngapain tanya-tanya?""Tolong sopan sedikit bicara denganku Ris. Apa kau yakin kalau kau sedang ada di rumah?""Eh, apa maksud Mbak?" Ada kesan gugup dalam suaranya. Aku bahkan samar-samar mendengar suara orang lain."Mana Ibu? Aku mau bicara.""Ya ampun Mbak, ini hampir tengah malam. Okelah Mbak menggangguku dan Kayla tidur, tapi jangan ganggu Ibu. Kasian Ibu capek."Aku tertawa dalam hati, lagaknya seolah paling peduli pada Ibu."Ya sudah. Tapi jangan coba-coba membohongiku Ris. Aku akan segera tahu."Kutekan nada suaraku sedemikian rupa. Riris diam saja di ujung sana. Tanpa menunggu jawabannya, aku menutup sambungan telepon dan memandang lagi toko sepatu di seberang sana yang sekarang sudah tutup. Siluet dirinya tadi masih terbayang di mataku. Siapa lelaki itu? Apakah selama ini, Riris sudah mencoba mencurangi adikku?***Rumah gelap gulita ketika aku masuk, padahal mobil Mas Reno ada di garasi. Kenyataan yang membuatku sedikit kaget karena seharusnya dia belum pulang dari Surabaya. Aku melangkah pelan, masuk ke dalam kamar setelah membuka sepatu dan menaruhnya di rak. Namun, sosok yang duduk di atas ranjang dalam kegelapan itu membuatku terkejut."Pulang malam lagi? Pantas saja kau tak hamil juga. Kau terlalu lelah. Sudah kubilang, turuti kata-kata Mama. Berikan butik pada pada Vira atau Riris dan fokus pada dirimu sendiri."Aku menghela nafas."Aku nggak setiap hari ke butik Mas. Aku pikir Mas belum pulang.""Itu bukan alasan Andin. Apa kau mau seperti ini selamanya? Aku butuh seseorang yang membuatku semangat pulang ke rumah. Seorang anak."Aku menggigit bibir. Ternyata aku bukan lagi alasannya untuk segera pulang."Maaf. Aku akan berusaha lagi. Tapi jangan suruh aku menyerahkan butik. Kau tahu apa artinya butik bagiku."Mas Reno mendengus, dia berdiri dan menghampiriku. Diraihnya tas dalam genggamanku dan diletakkannya di atas nakas. Berdiri di belakangku, dengan hembusan nafasnya menerpa leher, aku mulai merinding."Aku mandi dulu, Mas." Elakku.Mas Reno tidak menjawab. Dia menarik kemejaku dengan ka-sar hingga kancingnya berlepasan. Dido-rongnya aku ke atas tempat tidur, lalu dia mulai membuka piyamanya sendiri. Sen-tuhannya yang ka-sar terasa menyakitkan. Lima tahun lamanya dia tak pernah seperti ini. Rasa kecewa terasa meluap-luap di setiap gerakannya. Setelah selesai, dia langsung menarik selimut dan berguling membelakangiku.Aku menggigit bibir, menahan isak yang mendesak hendak keluar. Apakah akhirnya aku harus menyerah?***"Selamat Bu Andin. Usia kandungan sudah dua belas minggu ya. Wah, nantinya pasti akan jadi ramai nih. Seru banget."Dokter Budi, dokter Sp.OG langganan ku, memberi selamat. Dia adalah saksi perjuanganku mendapatkan buah hati saat bersama Mas Reno dulu. Dan kini, aku datang bersama Mas Ziyan. Sang dokter tak banyak bertanya. Dia profesional. Kebahagiaan pasiennya adalah fokus dirinya. Di luar itu bukan merupakan urusannya. Prinsip yang sangat kuhargai."Benar Dok. Allah ternyata begitu sayang padaku."Aku datang ke praktek dokter Budi dengan Formasi lengkap. Mas Ziyan, Aksa, dan juga ketiga gadis kecilku yang cantik. Tentu saja kami menjadi perhatian banyak orang. Dengan keempat anak yang masih kecil, dan aku kembali datang untuk periksa kehamilan.Aku hanya tersenyum membalas pandangan heran orang-orang. Tak perlu menjelaskan karena aku tak kenal mereka. Juga, tak perlu menjelaskan, karena ukuran kebahagiaanku dan mereka pasti berbeda.Ya. Aku bahagia, membayangkan masa tua bersamanya
STATUS WA ADIK IPARKU (ekstra part)Sahabat menjadi cinta. Apakah itu mungkin terjadi pada kami?Setahun lagi sudah berlalu. Semuanya baik baik saja. Aku bahagia tinggal bertiga bersama Ibu di rumah peninggalan Ayah. Radit dan Nayla bersikeras membayar harga rumah lamaku dengan Mas Reno untuk mereka tempati bertiga Kayla. Tadinya aku tak mau. Aku mempersilahkan mereka tinggal sampai kapan saja. Tapi Radit tak mau, sebagai lelaki, dia ingin memberi tempat tinggal bagi istrinya dengan cara membeli, bukan menumpang. Aku akhirnya setuju setelah melihat rumahku yang kutinggalkan berdebu. Rumah yang selama lima tahun menjadi istanaku.Aku memang tak pernah datang lagi setelah memindahkan semua barang yang kurasa perlu ke rumah Ibu. Setiap membuka pintunya, semua kenangan bersama Mas Reno Menghantam, membuat dadaku terasa sesak. Terutama ketika Aksa yang mulai pandai bicara ikut ikutan memanggil Radit Papa. Sedih tentu saja, karena aku tak bisa memberikan keluarga yang utuh pada putraku sa
Tak ada yang lebih membahagiakan melihat adikku akhirnya menikah lagi. Radit mengucapkan ijab kabul dengan tenang meski suaranya bergetar. Aku tahu dia mungkin teringat pada Riris dan pernikahan seumur jagungnya yang berakhir tragis. Kulihat mata Ibu berkaca-kaca. Apalagi setelah ijab kabul selesai, Nayla langsung menggendong Kayla, menciumi nya. Tapi peduli gaunnya yang cantik itu kusut.Keluarga Nayla yang turun temurun merupakan keluarga dokter, menerima kami dengan sangat baik. Mereka tak pernah mempermasalahkan status Radit yang duda beranak satu. Atau Ibu yang hanya hidup dengan pensiunan Ayah dan warung sembako nya. Atau aku yang janda tanpa status, yang saat ini masih menabung untuk membangun kembali butik. Mereka keluarga dokter yang kaya raya tapi bersahaja. Tak sekalipun kudengar kata-kata yang membuat kami berasa berbeda. Adik Nayla yang masih kuliah, seorang gadis cantik dan periang, bahkan langsung akrab dengan Kayla dan Aksa.Aku bahagia, tentu saja. Kebahagiaan orang-o
STATUS WA ADIK IPARKU 46Dia seorang wanita setengah baya berpakaian modis. Dengan setelan blazer putih dan tas branded yang dijinjing oleh kedua tangannya. Rambut pendeknya yang ikal kemerahan disisir dengan rapi, begitu juga make up yang pastinya ditata oleh penata rias profesional. Meski begitu, segala make up itu tampaknya tak mampu menutupi tanda-tanda penuaan di wajahnya. Saat aku tiba, dia tengah diinterogasi polisi. Sikapnya tenang, sama sekali tak gampak gentar meski telah terbukti dia lah penyebab kematian suaminya sendiri."Saya tidak pernah bermaksud membunuh suami saya, Pak. Yang seharusnya mati saat itu Riris, selingkuhnya. Bukan suami saya."Aku berdiri di belakangnya, mendengar dia bicara seperti tanpa merasa bersalah."Bapak bayangkan saja, suami saya memelihara wanita muda, menghamburkan uang untuknya. Siapa istri yang tak akan marah?""Harusnya Riris yang mati saat itu. Tapi tak masalah, toh dia akhirnya menemui ajal dengan cara yang tak kalah tragis. Putri saya Zha
Adek! Adek Aksa!"Suara Kayla yang ceria terdengar dari luar, lalu langkah kaki kecilnya yang melompat-lompat itu mulai mendekat. Tak lama, wajah mungil muncul dari balik pintu."Adek Aksa tidur?"Dia bertanya sambil berbisik. Aku menggelneg sambil tersenyum. "Nggak, kan baru habis mandi. Kayla dari mana?" Aku bertanya sambil menakainkan Aksa kaus kaki, lalu menggendongnya dan berjalan ke depan. Ada Nayla yang tengah mengukur tensi darah Ibu.Ah, kasihan Ibu. Masalah Radit dan Riris yang menguras air mata Ibu baru saja selesai. Baru saja kering mata tua itu, kini, aku hendak menambahinya lagi dengan masalah."Tensi Ibu agak rendah Mbak."Aku mendesah, merasa bersalah karena sudah lama justru Ibu yang mengurusku.Aku memperhatikan mata Radit yang tak lepas dari tangan cekatan Nayla. Setelah menyimpan lagi alat pengukur tensi, Nayla mengusap usap lengan Ibu."Jangan banyak pikiran Bu. Semua akan baik-baik saja."Aku terenyuh. Bagaimana Ibu akan baik-baik saja, jika satu anak menjadi du
STATUS WA ADIK IPARKU 45Bolehkah aku menangis lagi Ya Allah?Ternyata ada hal yang juga sama menyakitkannya dengan dikhianati, yaitu dibohongi. Pemakaman Vira sudah selesai, dan aku sama sekali tak mau menghadirinya. Bukan karena dendam, tapi karena aku tak ingin melihat wajah Mas Reno yang amat berduka. Pantas saja dulu, Mas Reno tampak biasa saja saat Vira dimakamkan. Tentu karena dia tahu yang dimakamkan bukanlah Vira, tapi bayinya. Aku bisa mengerti karena Vira dulunya adalah adik yang sangat dia sayangi. Tapi kebohongan terakhir yang dia lakukan, yaitu menutupi kematian Vira akibatnya sangat fatal. Aku masih bersyukur Vira hanya membakar butikku. Sungguh tak bisa kubayangkan jika dia mencelakai Aksa. Mungkin saja aku bisa menjadi pembunuh."Andin, makan, Nak. Kau butuh tenaga dan juga ASI untuk Aksa."Ibu meletakkan sepiring makanan di depanku. Aku menghapus mataku yang basah, mengusap dada, mencoba menyembuhkan rasa nyeri di dalam hati. Sudah tiga hari Mas Reno di rumah Mama,
Dia lantas menunjuk makam di sebelahnya."Di dalam sini, bayiku terkubur. Aku harus menjadi orang lain gara-gara kalian!""Kau memanipulasi kematianmu. Itu sebuah kejahatan."Vira tersenyum culas. "Itu bukan urusan kalian.""Jelas jadi urusanku karena kau pasti tahu sebabnya sampai butikku terbakar."Gadis itu menelan ludah. Dia mundur hingga kakinya menabrak nisan. Ternyata dia hanya bisa mengubah wajahnya, tapi tidak cara berpikirnya yang ceroboh itu. Mas Reno menatap adik angkatnya itu dengah pandangan sedih."Ayo ikut, kau harus bertanggungjawab atas perbuatanmu."Lalu tiba-tiba, kurasakan benda dingin menempel di kepalaku. Disertai sebuah suara berat."Tidak ada yang boleh membawa Nona Tania pergi."…"Kalian salah. Semua pelaku kejahatan harus berakhir di penjara."Seperti adegan film, dimana kami semua adalah pemerannya. Aku berbalik begitu mendengar suara Zi. Kini di hadapanku, tampak seorang lelaki, mengangkat tangannya setelah menjatuhkan pisaunya ke tanah. Sementara di bel
STATUS WA ADIK IPARKU 44Rumah itu megah sekali, besar dan sangat mewah. Pagarnya saja sepertinya cukup untuk membangun satu rumah sederhana, belum lagi pilar-pilarnya yang tinggi. Jarak antara pagar dan teras cukup jauh sehingga aku tak dapat melihat pintu berukir yang pasti sama mahalnya. Halamannya ditanami rumput Jepang, dengan bunga-bunga yang tak semuanya tumbuh di Indonesia. Dan di sudut halaman, ada kandang berisi burung-burung yang cantik. Begitu mobil kami berhenti di depan pos satpam, seorang lelaki berseragam coklat langsung berlari menghampiri. Dia berdiri di balik pagar mewah itu, menatap dengan curiga. Tubuh tegap dan rambut cepak membuatku menduga bahwa mungkin dia mantan tentara. "Cari siapa?""Apa benar ini rumah Nyonya Arlene?"Lelaki itu menatap Mas Reno cukup lama."Benar. Ada keperluan apa dengan Nyonya?""Kami ingin bertemu putri Nyonya yang baru datang dari luar negeri. Namanya Vira."Wajah itu langsung berubah. Jika dia tadi tampak curiga, kini dia menampilka
Kau bilang waktu itu bahwa kau tak mengenalnya, Ndin.""Zi. Dia ibu kandung Vira. Dia yang membawa jenazah Vira. Aku curiga dia memalsukan kematian Vira. Vira masih hidup!"Di seberang sana, kudengar suara Zi mendesah. Aku tahu dia tak suka mendengarku seperti ini karena akan membuatku berada dalam bahaya. Tapi sungguh aku tak bisa diam saja. Jika Vira masih hidup, maka kemungkinan besar aku tahu siapa yang bertanggung jawab membakar butikku. 'Nikmati saja hidupmu saat ini, kebahagiaan yang kau miliki saat ini. Tunggulah, aku akan membuat kejutan untukmu.'Kata-kata Vira saat aku menemuinya di tahanan waktu itu kembali terngiang. Inikah kejutan yang dia maksud? Atau… ini hanya peringatan dan dia telah menyiapkan kejutan yang lebih besar lagi?"Zi, tolong cari alamat Nyonya Arlene. Ini pasti bukan hal sulit untukmu.""Memang, tapi akan menyulitkan hidupmu. Biar aku bicara dengan Reno. Kau baru saja melahirkan.""Sudah lewat seminggu, Zi. Aku sudah sembuh.""Keras kepala."Aku meringis