Yusna langsung berbalik badan, berjalan ke arah lemari kecilnya dengan langkah riang. Ia membuka pintu lemari sambil bersenandung pelan, benar-benar yakin bahwa kedatangan orang tuanya malam-malam seperti ini hanya berarti satu hal bahwa dia akan dibawa pulang. Entah karena kangen, atau karena merasa bersalah telah meninggalkannya jauh dari rumah.Sella dan Yitno hanya saling pandang. Yitno menahan napas panjang, sementara Sella menggenggam ujung bajunya erat.“Yusna…” panggil Sella pelan.“Iya, Bu?” jawab gadis itu riang, sambil melipat handuk kecil ke dalam tas.“Kami ke sini karena kami dapat telepon dari orang yang mengaku pihak asrama,” lanjut Sella, suaranya mulai mantap. “Katanya kamu hilang. Kami panik. Kami takut terjadi apa-apa dengan kamu.”Yusna langsung menoleh, wajahnya bingung. “Hah? Hilang? Aku? Siapa yang bilang? Aku dari tadi cuma di kamar. Terus makan, terus mandi, ya udah gitu aja.”Yitno melangkah maju, suaranya lebih tegas. “Ada orang yang pura-pura jadi petugas
Sella langsung berdiri dari kursi goyang. Segelas susu hangat tumpah ke lantai, tapi ia tak peduli. “Halo? Apa maksud Anda? Yusna kenapa?!”Suara di seberang terdengar tergesa. “Kami tidak bisa menjelaskan lewat telepon. Tapi Yusna… dia tidak ada di kamarnya sejak sore. Kami sudah mencarinya di sekitar asrama, tapi tidak ditemukan. Kami butuh Bapak dan Ibu datang secepatnya. Ini serius, Bu.”Jantung Sella berdetak tak karuan. Wajahnya pucat. Ia menatap Yitno yang baru saja bangkit dari kasur.“Ada apa?” tanya Yitno cepat, melihat kegelisahan istrinya.“Yusna hilang… dari tadi sore,” jawab Sella nyaris tak terdengar.Yitno langsung mengambil ponsel dari tangan istrinya. “Halo? Ini ayahnya. Siapa Anda?”“Pak, saya pengurus shift malam. Kami sudah hubungi kepala asrama tapi belum ada kabar. Kami butuh bantuan Anda untuk melakukan pencarian lanjutan. Tapi kami butuh dana operasional, Pak. Untuk mobil, konsumsi, dan tenaga kerja.”Yitno mengerutkan dahi. “Dana operasional? Itu tanggung jaw
Sella hanya menatap sejenak, lalu berdiri. Ia tidak membalas ucapan Yusna. Bukan karena tidak ingin, tapi karena air matanya nyaris tumpah jika ia berbicara. Ia hanya memberi isyarat pada sopir yang akan mengantar mereka ke asrama.Yitno menunduk sesaat, mengatur napasnya agar tidak goyah. Ketika kedua putrinya berjalan melewati mereka, ia menahan diri sekuat mungkin agar tidak meraih dan memeluk mereka. Padahal hatinya ingin. Ingin sekali.Mobil itu perlahan melaju meninggalkan rumah yang selama dua puluh tahun menjadi tempat tawa dan tangis keluarga kecil itu. Namun hari itu, hanya keheningan yang tinggal. Murni mengintip dari balik jendela dapur, lalu mundur perlahan, memeluk dadanya sendiri.Sella masih berdiri di tempat. Pandangannya tertuju pada ujung jalan yang baru saja dilewati mobil. Ia memejamkan mata. “Maafkan Ibu, Nak…,” bisiknya lirih.Di ruang keluarga yang kini lengang, Yitno akhirnya duduk. Ia membuka album foto tua yang terselip di rak. Di dalamnya, ada potret kecil
Kata-kata terakhir itu menggelinding pelan, tapi menggelegar bagai petir di telinga Yumna dan Yusna.“Asrama?”Yusna tertawa duluan. Tawanya renyah, penuh ketidakpercayaan. “Bu, ini serius? Kita dikirim ke asrama kayak anak-anak SMP yang bandel itu?”Yumna ikut terkekeh. “Ih, lucu banget. Serius deh, Bu. Masa Ibu tega sama anak sendiri? Ini tahun berapa sih? Zaman siapa anak kuliahan disuruh tinggal di asrama?”Yusna menambahkan sambil merangkul kakaknya, “Kalau Ibu mau bikin prank, harusnya videoin, biar sekalian viral di TikTok. Judulnya: ‘Orang Tua Gila Kirim Anak ke Asrama Demi Pembantu’.”Mereka tertawa bersama. Tanpa sadar, Sella dan Yitno sedang menatap mereka dengan wajah penuh kecewa. Bahkan Murni, yang berdiri di sisi belakang ruangan, hanya menunduk perlahan.Namun Yumna belum selesai. Ia berdiri, melipat tangan di dada. “Jujur aja deh, Bu. Ini pasti idenya Murni, kan? Dia ngadu ke Ibu terus Ibu langsung percaya. Padahal dia juga kerja nggak becus. Ngadu sana-sini. Bikin dr
Murni menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Maaf, Bu. Saya nggak mau ngeluh… Tapi… saya capek.”Sella tertegun. “Capek? Maksudnya capek kerja di sini?”Murni menggeleng cepat. “Bukan karena kerjanya, Bu. Saya memang niat bantuin. Saya senang bisa kerja, bantu keluarga juga. Tapi… saya sering dimarahi, Bu. Sama Mbak Yumna dan Mbak Yusna.”Mata Sella melembut. “Dimarahi? Bisa cerita ke Ibu maksudmu bagaimana?”Murni menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang selama ini ia pendam. Akhirnya ia berkata dengan suara pelan, hampir berbisik, “Mereka suka bilang saya bodoh… lemot… pernah juga Mbak Yusna lempar sendal gara-gara bajunya saya setrika tapi masih agak kusut. Padahal saya udah ulang dua kali.”Sella membelalak. “Lempar sendal?!”Murni mengangguk pelan, tidak berani menatap wajah majikannya. “Saya tahu… saya bukan siapa-siapa di sini. Saya cuma pembantu. Tapi rasanya… sakit, Bu. Apalagi kalau mereka maki depan Ayahnya, dan Pak Yitno cuma diam aja.”Sella diam membeku di temp
Siang itu, matahari menyengat dengan panas yang malas. Di dalam rumah, suasana masih sunyi. Yitno baru saja pulang dari puskesmas, mengantar Sella yang akhirnya diizinkan pulang dengan catatan harus bed rest total. Dokter menekankan, tidak boleh ada stres sedikit pun. Tak boleh mengangkat barang, tak boleh memasak, bahkan tidak boleh terlalu banyak bicara. Semua harus dihindari demi keselamatan kandungan.Yitno menatap sekeliling rumah dengan perasaan bercampur aduk. Pekerjaan rumah menumpuk—lantai belum disapu, cucian menumpuk di kamar mandi, dan dapur masih berantakan. Biasanya Sella yang menangani semua itu, bahkan saat sedang lelah sekalipun. Tapi kini semua harus berubah.Yumna dan Yusna duduk di ruang tamu, wajah mereka dingin dan acuh. Keduanya masih menyimpan luka batin, tapi Yitno tahu, keadaan tak bisa menunggu hingga hati mereka sembuh sendiri.“Yumna, Yusna,” panggil Yitno dengan suara tenang namun tegas.Kedua gadis itu menoleh. Yumna hanya menaikkan alis tanpa berkata. Y