Share

Dua

Author: Puspita
last update Last Updated: 2022-12-14 17:16:28

"Fif! Afif!" Yulis berseru sambil menuruni anak tangga, dia benar-benar gugup. Beruntung tidak sampai jatuh ketika kakinya tersandung kardus mie. Saking berisiknya hingga membuat pemilik nama yang dipanggilnya mendongak ke arahnya.

"Ada apa, Bude?" Lelaki muda itu mengerutkan keningnya mendengar kegaduhan yang Yulis buat.

"Afif, kamu pulang sekarang. Barusan ibumu telepon, katanya Aufar jatuh," ujar Yulis setelah sampai di depan keponakannya dengan napas masih ngos-ngosan.

Lelaki muda berkacamata itu nampak cemas, kemudian merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih miliknya. Afif berdecak, rupanya ponselnya dalam mode silent, makanya tak mengetahui jika ada panggilan masuk. "Puluhan panggilan dari Ibu. Ya udah aku pulang dulu ya, De. Assalamualaikum ....!" Lelaki berkacamata itu bergegas menuju kendaraan yang terparkir di samping toko. Sementara Yulis mengekor di belakangnya.

"Ati-ati, Fif. Jangan lupa ngabarin bude jika ada sesuatu," pesan Yulis. Wanita pemilik hidung mancung itu sebenernya ingin ikut, tetapi tak bisa karena tak ada yang menjaga toko.

"Ada apa, Bu? Kok Mas Afif buru-buru pulang?" tanya Wina, saat gadis itu hendak mengisi barang-barang yang sudah berkurang di rak.

"Aufar jatuh di kamar mandi, Win," sahut Yulis. "Sepertinya cukup parah, sampai Rindu menelpon," imbuh Yulis yang terlihat khawatir.

"Innalilahi, semoga saja tidak apa-apa ya, Bu. Kasihan," sahut Wina bersimpati. Setelah itu gadis berwajah manis itu kembali melanjutkan aktivitasnya.

"Iya, Win. Aamiin."

Yulis masih termangu di tempatnya berdiri, sambil mengutak-atik ponselnya. "Mas Bagas kemana sih, sampai sekarang kok gak pulang-pulang?" gumamnya sebelum panggilannya tersambung.

**

Setelah sukses membodohi istrinya, Bagas dan Mira segera meluncur ke klinik yang dituju, setelah sebenarnya sudah memesan nomor antrian melalui telepon.

"Aku takut, Mas." Mira terus saja merengek dan semakin menjadi ketika mobil yang mereka kendarai memasuki bangunan bercat putih tempat praktek seorang dokter kandungan.

"Tenangkan dirimu, Sayang. Kamu jangan khawatir. Setelah menggugurkan kandunganmu, semua akan baik-baik saja. Kamu harus bersabar, ingat tujuan kita hampir sampai, tinggal sedikit lagi. Setelah itu kita akan menikmati hasilnya. Oke?"

Bagas mencium pucuk kepala Mira setelah memberi pengertian padanya. Mira pun luluh, pada dasarnya wanita muda itu memang sangat mencintai Bagas, lelaki yang seharusnya dia hormati layaknya seorang ayah.

Tempat itu sudah cukup ramai ketika Mira dan Bagas datang. Kebanyakan mereka adalah wanita-wanita belia. Mereka tak datang sendiri, ada yang ditemani wanita yang lebih tua, ada yang ditemani seorang lelaki, dan ada juga yang datang dengan beberapa teman sebayanya.

Mira semakin merapatkan dirinya pada Bagas ketika melihat beberapa perawat mendorong beberapa Stretcher yang membawa seorang pasien. Bagas mengusap punggung Mira untuk menenangkan wanita muda tersebut. Kemudian membawanya ke dalam dekapan. Agar Mira tidak semakin panik, Bagas mengajaknya duduk di sudut ruangan. Sambil menyandarkan kepalanya pada pundak Bagas, Mira mengamati satu persatu orang yang ada di tempat itu. Ada yang terlihat takut seperti dirinya, ada yang terlihat gusar dan ada yang terlihat biasa-biasa saja.

Setelah beberapa saat menunggu akhirnya tiba saatnya giliran Mira yang akan ditangani. Wanita itu sempat ragu dan ingin mengurungkan niatnya. Namun, Bagas segera membujuknya, memberikan dukungan dengan membisikkan kata-kata penyemangat demi hubungan mereka. Mira pun akhirnya luluh juga, dia akhirnya dibawa masuk ke sebuah ruangan.

Bagas hanya bisa menunggu di ruang yang sudah disediakan. Detik berlalu seakan lambat bagi lelaki baya tersebut, berkali-kali dia bangkit kemudian duduk kembali. Dia benar-benar terlihat khawatir.

Situasi saat ini mengingatkan Bagas pada kejadian beberapa tahun silam, ketika usia pernikahannya dengan Yulis baru berjalan sekitar lima tahunan. Penantian yang cukup lama akhirnya datang juga. Kabar gembira itu membuat semua keluarga bersyukur, Yulis hamil di saat hampir putus asa. Kasih sayang pun tumpah ruah untuk istri tercintanya tersebut. Bagas sangat memperhatikan Yulis, tak sekalipun dia meninggalkan wanitanya terlalu lama. Namun, sayang seribu sayang, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Yulis terkena musibah ketika Bagas tidak ada di rumah. Yulis terpeleset di sebuah undakan ketika hendak menjemur pakaian. Perempuan muda itu mengalami pendarahan hebat. Riwayat kandungan lemah yang diderita Yulis membuat kehidupan di rahimnya tak bisa bertahan. Dia harus rela kehilangan calon buah hati sekaligus rahimnya.

Tanpa sadar, mengingat semua itu membuat Bagas berkaca-kaca. Namun, lelaki berusia empat puluh tujuh tahun itu lekas mengusap sudut matanya yang mengembun. Berkali-kali Bagas menghela napasnya untuk menghilangkan bayangan masa lalu Yulis. Bagas menghirup udara sebanyak yang dia mampu, kemudian menghembuskannya secara perlahan, perasaannya pun kembali membaik. Kini pikirannya beralih ke Mira. Wanita muda yang sudah menggantikan posisi Yulis di hatinya. Wanita yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri itu mampu menggoyahkan imannya. Bagas tak berdaya.

Panggilan atas namanya membuyarkan lamunan lelaki yang menggunakan setelah kaos dan celana jins itu. Gegas Bagas menghampiri petugas yang memanggil namanya. Suami Yulis itu begitu serius menyimak apa saja arahan dari petugas sampai terlihat beberapa kali mengangguk. Setelah petugas itu kembali masuk, Bagas segera keluar ruangan untuk mencari apa saja yang diperintahkan oleh perawat tadi.

**

Yulis mendengkus kesal, setelah panggilannya tak tersambung. Sudah puluhan kali dia mencoba menghubungi suaminya. Namun, tak juga diangkat dan sekarang malah ponselnya mati.

"Permisi, Bu. Ini ada surat dari kantor bank xxx untuk Pak Bagas Baskoro," ucap lelaki tersebut sambil mengulurkan sebuah amplop pada Yulis.

"Dari Bank?" tanya Yulis saat menerima amplop tersebut.

"Iya, Bu. Tolong tanda tangan di sini, Bu." Lelaki itu menyodorkan sebuah kertas dan pulpen.

"Ini surat tagihan ya, Pak?" tanya Yulis lagi.

"sepertinya iya, Bu," jawab lelaki muda itu ragu.

"Kok sepertinya?" Yulis bertanya sambil mengamati amplop yang sudah di tangannya.

"Ya, aku kan tak tahu, Bu. Aku hanya kurir yang bertugas mengantar."

"Oh, iya. Saya sampai lupa. Maaf, Pak. Saya nggak fokus." Yulis nampak malu.

"Iya, Bu. Tidak masalah," sahut lelaki itu. "Tolong tanda tangan dulu, Bu," imbuhnya.

"Oh iya, Pak. Di sini ya." Setelah berucap Yulis pun menandatangani kertas sebagai bukti jika surat sudah ada yang menerima.

"Terima kasih, Pak," ucap Yulis, tak lupa seulas senyum dia berikan pada lelaki tersebut.

Wanita pemilik alis bak semut berbaris itu mengamati amplop yang dipegangnya, membaca nama dan alamat yang tertera di amplop tersebut.

Perlahan Yulis meletakkan ponselnya ke meja kemudian kembali mengamati amplop coklat tersebut. Dahinya berkerut menebak apa yang ada di dalam amplop itu. Setelah beberapa saat dalam kebimbangan akhirnya Yulis membukanya. Tubuh wanita itu luruh seketika setelah membaca isinya.

"Apa yang kamu lakukan, Mas?!" geramnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ipasari
Semoga kamu sadar kalau suamimu main curang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    Lima puluh tujuh

    "Ke Jati Wangi kayak kemarin itu, terus ke Pelang, terus ke kampung air. Udah itu aja, Pa. Kenapa sih Papa nanya-nanya. Biasanya juga gak gitu." Mutiara mulai sewot, tetapi sebenarnya gadis kecil itu sangat bahagia karena baru kali ini papanya mengajaknya bicara cukup lama.Yulis mengulum senyum mendengar nada protes dari Mutiara."Papa kan ingin tahu, Kak. Karena setelah ini, papa akan berusaha menemani Kakak dan Mama kemanapun kalian mau," sahut Indra. Sontak hal itu membuat manik bening Mutiara berbinar."Jadi Papa gak kerja dong. Nanti dapat uangnya dari mana?" Yulis sampai tak percaya Mutiara akan berkata seperti itu. Dia benar-benar tahu apa yang dirasakan putrinya sambungnya tersebut."Kan Mama punya toko," canda Indra sambil tertawa."Jangan lah, Pa. Itu kan punya Mama.""Terus?""Ya Papa tetap kerja, kalau hari libur kita jalan-jalan. Gitu, Pa.""Pi

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    lima puluh enam

    "Baiklah, Sayang. Yuk, mandi dan ganti baju dulu," ajak Ridwan. Lelaki itu merasa tak enak hati dengan ucapan putrinya. Dia khawatir Indra salah paham, tapi juga sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan pada mantan iparnya tersebut.Citra menatap Yulis, biasanya wanita berjilbab itu yang melakukannya. Namun, melihat Yulis diam saja, bocah berambut lurus itu juga tak berani meminta. Citra benar-benar kesal pada pakdenya, yang menurutnya sudah merusak suasana. "Aku juga udahan, Ma," ucap Mutiara."Ayo, mandi dan ganti bajunya sama papa," sahut Indra. Seketika pandangan kedua wanita berbeda generasi itu tertuju pada lelaki yang sudah berdiri dari duduknya.Sesaat kemudian Mutiara tertawa. "Gak mau, sama Mama aja. Malu lah kalau ganti baju sama Papa.""Nah itu si Citra gak malu sama papanya""Beda, Pa. Kan Citra udah gak punya mama. Palingan Om Wan cuma nungguin di luar. Biasanya kan

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    lima puluh lima

    Mendengar penuturan Yulis, perlahan Indra menelan ludahnya. Lelaki itu takut jika sesuatu terjadi padanya karena sudah menyakiti hati istrinya tersebut."Apa kamu mau turun?" Tanyanya kemudian. Indra sendiri bingung mengapa dia menawarkan hal itu kepada Yulis."Maksudku, apa kamu mau menemuinya. Bicara apa gitu atau menanyakan apa gitu?""Sebaiknya gak usah Pak In. Karena aku dan dia sudah menjadi orang asing," sahut Yulis mantap."Baiklah kalau begitu kita lanjutkan perjalanan." Indra pun membunyikan klakson agar lelaki yang kata Yulis mantan suaminya itu menyingkir.Setelah beberapa saat kendaraan melaju, Indra kembali bertanya pada Yulis. "Bener nggak mau turun di toko aja, biar aku yang nyusul anak-anak ke kampung air."Yulis tak lagi menjawab, wanita penyuka warna kalem itu malah membuang pandangannya keluar jendela dia benar-benar gerah dengan sikap Indra yang tak seperti biasanya. Yulis merasa

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    Lima puluh empat

    Perlahan Indra membaringkan tubuh Yulis, seolah wanita itu adalah barang berharga yang harus dengan hati-hati memperlakukannya. Yulis segera beringsut setelah terlepas dari rengkuhan Indra. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu terlihat kesal."Maaf, tadi kamu ketiduran di ayunan. Aku khawatir kamu masuk angin, jadi berinisiatif untuk memindahkanmu ke kamar," ucap Indra tanpa ekspresi. Yulis masih termangu, antara malu, senang, kesal dan tak mengerti dengan perubahan sikap Indra yang tiba-tiba."Tadi Muti telepon pakai nomor Ridwan. Ia ikut Omnya itu ke kampung air. Kamu istirahat saja. Biar aku yang menjemputnya," imbuh Indra, setelah itu dia langsung beranjak.Lagi-lagi Yulis dibuat terbengong, ia semakin tak mengerti, kedua alisnya bertaut memikirkan sebenarnya apa yang terjadi dengan suaminya tersebut."Aku ikut!" Setelah beberapa saat tercengang, Yulis segera menyusul Indra yang hampir meraih ganggang pintu.

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    Lima puluh tiga

    "Kami dari rumah tahanan, ingin memberi kabar pada ibu bahwa tahanan yang bernama Mira telah meninggal dunia. Selain Ibu, apa ada nomor keluarganya bisa dihubungi?""Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Yulis spontan. Sesaat kemudian dia tertegun. Seraut wajah yang dulu sangat disayanginya langsung hadir dalam kilasan ingatannya. Spontan nulis menutup mulutnya yang ternganga. Bagaimanapun juga Mira pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya."Mohon maaf, Pak. Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan saudari Mira, tapi, saya tahu di mana alamat orangtuanya. Nanti saya kirim alamatnya aja ya, Pak. Mohon maaf, hanya itu yang bisa saya bantu.""Terima kasih Bu. Kami kesulitan mencari keluarganya. Rumah yang dulu ditempati sekarang sudah atas nama orang lain."Panggilan pun terputus, Yulis tak langsung menyimpan benda pintarnya terbaru. Setelah mengirim alamat orang tua Mira, wanita bermata bulat itu menghubungi Afif.

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    Lima puluh dua

    "Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Indra menghentikan gerakan Yulis yang tengah menyendok nasi goreng di wajan untuk diletakkan di piring."Sarapan dulu, Pak In," sahut Yulis tanpa menoleh. Ia meneruskan kegiatannya menyiapkan sarapan untuk sang suami. Yulis berusaha bersikap biasa saja, walaupun sangat kecewa dengan sikap Indra semalam. Indra berhak melakukannya, tetapi caranya yang membuat Yulis kurang suka.Indra menghela napas untuk mengurangi kegugupan di hatinya, sambil terus memperhatikan punggung ramping istrinya yang belum pernah sekalipun dipeluk olehnya.Tak butuh waktu lama, sepiring nasi goreng sudah tersaji di depan Indra beserta segelas air putih."Sedekat–" "Makan dulu, Pak In," sela Yulis. Lagi-lagi wanita itu mengatakannya tanpa melihat suaminya. Setelah itu suasana kembali hening, hanya denting sendok dan piring yang terdengar memenuhi ruangan. "Alhamdulillah," ucap Yulis den

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status