Share

SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU
SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU
Penulis: Puspita

Satu

Penulis: Puspita
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-14 17:14:30

"Gugurkan saja kandunganmu!"

Yulis menghentikan langkah ketika melintas di depan kamar putrinya. Dahi wanita tiga puluh tujuh tahun itu berkerut. Heran. "Menggugurkan kandungan? Siapa yang hamil?" batinnya penuh tanya. Wanita pemilik alis bak semut berbaris itu pun mendekat untuk memperjelas pendengarannya.

"Gila kamu, Mas! Pokoknya aku gak akan menggugurkan kandungan ini. Aku gak mau tahu ya. Secepatnya kamu harus menceraikan wanita tua itu lalu mengusirnya dari rumah ini!" Suara Mira–putrinya, membuat Yulis membeku. Antara percaya dan tidak, bahkan untuk sepersekian detik wanita pemilik bibir tipis itu lupa untuk bernapas.

"Sabarlah, Sayang. Sebentar lagi, nanti setelah semua harta beralih atas namaku. Aku pasti akan menceraikan dan mengusirnya dari sini," balas seorang lelaki yang diyakini Yulis adalah suara Bagas—suaminya. Tubuh perempuan bermata bulat itu lemas, tulang-tulangnya serasa dicabut paksa oleh keterkejutan.

"Tapi, kapan, Mas! Kapan? Sampai perutku membesar?! Atau kamu memang sengaja menundanya, menunggu wanita itu tahu, lalu dia akan memaksaku untuk melahirkan anak ini, kemudian dia yang akan merawatnya?!" jawab Mira semakin membuatnya tak bertenaga. Berkali-kali Yulis menggeleng, menolak kebenaran yang baru saja diketahuinya.

Wanita yang disebut tua itu mengetuk pintu, ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar sang putri. Ketukan pertama tak tak ada respon, Yulis kembali mengetuk sambil memanggil putrinya.

Perlahan pintu terbuka, Mira tersenyum pada wanita bertubuh ramping itu. "Ibu?" sapanya pura-pura terkejut. "Belum berangkat?" imbuhnya sambil memegang daun pintu.

"Kamu bicara dengan siapa?" tanya Yulis tanpa basa-basi. Tatapannya menelisik ke dalam ruangan bernuansa biru tersebut. Kedua alisnya bertaut ketika melihat ranjang dalam kamar itu berantakan.

"Bicara? Oh, tadi aku lagi latihan drama, Bu. Ibu mendengarnya?" balas Mira. Gadis dua puluh tahun itu terlihat biasa saja. Sama sekali tak ada gurat kegugupan di raut wajahnya.

Yulis menggangguk. "Drama? Lalu siapa lawan bicaramu tadi?" tanya Yulis sambil mengedarkan pandangannya ke dalam kamar sang putri dari sela pintu yang tak terbuka sempurna.

Mira menunjukkan ponselnya. "Ini. Ibu mau dengar?" Gadis itu balik bertanya.

Yulis tersenyum sambil menggeleng. "Tadi itu jelas suara ayahmu, jangan membohongiku, Mir." Yulis tak percaya begitu saja dengan apa yang diucapkan Mira. Dia yakin jika telinganya masih normal.

"Ya ampun, Ibu. Gak percaya amat. makanya dengerin ini."

Setelah Mira memutar rekaman suara, Yulis baru percaya. "Oh, ya udah lanjutkan," ucapnya, setelah itu dia beranjak meninggalkan Mira rasa penasaran. Yulis yakin dengan pendengarannya, tapi terpatahkan dengan alasan gadis itu yang cukup masuk akal, walaupun terasa janggal.

Wanita penyuka kopi itu melangkah keluar rumah, meninggalkan Mira yang setelah kepergiaannya tersenyum penuh kelegaan.

Hanya butuh lima menit berjalan kaki untuk sampai ke toko serbaguna yang dikelolanya. Saat Yulis tiba, ketiga pegawainya sudah menunggu. Mereka langsung bangkit dari tempatnya masing-masing. Salah satunya membuka toko setelah menerima kunci dari Yulis, setelah itu mereka dengan cekatan melakukan tugas masing-masing.

Sementara Yulis langsung menuju mejanya. Mulai sibuk mencatat dan mengecek pesanan pelanggan. "Ris, ini nota dari Bu Siti. Tolong kamu siapkan, nanti jam sepuluh mau diambil," titahnya sambil menyerahkan kertas pada pemuda tersebut. Setelah itu dia kembali mencatat beberapa daftar belanja dari pelanggan yang dikirim ke W******p.

Yulis berungkali melihat benda bundar yang melingkar di tangannya. Perempuan itu berdecak karena sudah hampir setengah jam dia berada di toko, suami dan putrinya tak kunjung datang.

Sementara itu di kediaman Yulis, kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu menuntaskan hasrat yang tadi sempat tertunda. Setelah itu dengan langkah ringan mereka berjalan beriringan menuju toko. Bagas langsung menempati tempat duduknya yang berada di sisi Yulis. Sedangkan Mira berdiri di depan meja kasir ibunya. Gadis manis itu menatap Yulis dengan malas, tapi dia harus melakukan sandiwara agar rencananya bisa tercapai.

"Ibu, hari ini aku ingin diantar Ayah," ujar Mira. "Kayaknya aku kurang enak badan, takut kenapa-kenapa kalau nyetir sendiri," imbuhnya dengan wajah memohon. "Boleh, ya."

Yulis tersenyum, tapi sejenak kemudian wajahnya berubah serius. Wanita penyuka warna kalem itu teringat kejadian tadi. "Kalau sakit, mending izin aja, Mir," sahutnya sambil menatap putrinya.

"Gak bisa, Bu. Hari ini ada gladi bersih untuk pementasan drama yang tadi ibu dengar."

Yulis tak langsung menjawab, wanita penyuka kopi tanpa gula itu menoleh pada suaminya. "Ayah antar Mira ya," pintanya.

"Jangan lah, Dek. Nanti kamu keteteran loh. Ini kan hari Senin, pasti ramai," kilah Bagas, padahal sesungguhnya itulah yang diharapkannya. "Mira, kamu naik gocar aja ya," imbuhnya sambil menatap Mira.

Yulis memandang wajah lelakinya sejenak sebelum kembali berucap, "kasihan, Mira. Aku gak pa-pa, nanti biar Afif kesini untuk bantu-bantu," sahutnya. Yulis mencoba menatap mata Bagas untuk mencari sesuatu di sorot mata bermanik hitam tersebut. Namun, lelaki yang sudah membersamainya selama 18 tahun itu selalu menghindar.

"Ya udah lah kalau gitu," balas Bagas sambil bangkit dari duduknya. "Aku berangkat nganterin Mira dulu ya," pamitnya.

Setelah menerima uang saku, Mira segera beranjak menyusul Bagas yang sudah mendahuluinya. Kedua orang beda jenis kelamin dan generasi itu tersenyum bahagia ketika sudah berada dalam Honda jazz milik Mira, hadiah dari Yulis karena diterima di universitas terbaik di kota mereka.

Selepas kepergian suami dan putrinya, Yulis segera menghubungi Afif, meminta keponakannya itu untuk membantunya di toko. Setelah itu wanita penyuka warna lembut itu kembali sibuk dengan nota dan bulpoin.

Tak lama berselang Afif datang, karena memang jarak rumahnya tidak terlalu jauh. Lelaki muda itu sudah terbiasa membantu sepupu ibunya itu.

"Pagi, Bude," sapa Afif setelah masuk ke toko. "Pakde kemana?" imbuhnya bertanya, setelah duduk di bangku yang tadi ditempati Bagas.

"Ngantar Mira ke kampus. Anak itu kurang sehat," sahut Yulis tanpa menoleh, tangannya sibuk mencatat pesanan pelanggan.

"Kalau sakit, napa mesti masuk? Kan bisa izin," sahut Afif sambil mengamati budenya.

"Lagi ada tugas katanya," balas Yulis singkat.

Obrolan mereka berhenti ketika ada beberapa pembeli yang datang. Keduanya lalu sibuk, mencatat dan menjumlah. Hingga tak terasa hari sudah beranjak siang.

Sholawat tarhim sudah terdengar dari toa masjid. Yulis berucap syukur, setelah itu dia langsung memasukkan beberapa ikat uang yang sudah dihitungnya ke dalam tas, dan membiarkan sisanya di dalam laci.

"Aku naik dulu ya, Fif," pamitnya, setelah itu dia beranjak ke lantai atas untuk mempersiapkan diri melaksanakan kewajiban sekaligus beristirahat sejenak, karena harus bergantian dengan Afif. Para karyawan juga melakukan hal yang sama. Setelah itu mereka akan makan siang yang sudah dikirim oleh katering langganan Yulis.

Ponsel Yulis berdering, tepat setelah dia selesai beribadah. Bibir tipis itu mengulum senyum ketika melihat siapa yang menghubunginya. Namun, baru sepersekian detik perempuan itu menutup mulutnya yang ternganga saking terkejutnya. "innalilahi wa innailaihi rojiun."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ipasari
Hadeee, jelas2 denger sendiri eee malahan lebih percaya anaknya, pantas di selingkuhin.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dungu,tolol,bucin dan terlalu gampang percaya. pantas dan wajar dikhianati dan diselingkuhi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    Lima puluh tujuh

    "Ke Jati Wangi kayak kemarin itu, terus ke Pelang, terus ke kampung air. Udah itu aja, Pa. Kenapa sih Papa nanya-nanya. Biasanya juga gak gitu." Mutiara mulai sewot, tetapi sebenarnya gadis kecil itu sangat bahagia karena baru kali ini papanya mengajaknya bicara cukup lama.Yulis mengulum senyum mendengar nada protes dari Mutiara."Papa kan ingin tahu, Kak. Karena setelah ini, papa akan berusaha menemani Kakak dan Mama kemanapun kalian mau," sahut Indra. Sontak hal itu membuat manik bening Mutiara berbinar."Jadi Papa gak kerja dong. Nanti dapat uangnya dari mana?" Yulis sampai tak percaya Mutiara akan berkata seperti itu. Dia benar-benar tahu apa yang dirasakan putrinya sambungnya tersebut."Kan Mama punya toko," canda Indra sambil tertawa."Jangan lah, Pa. Itu kan punya Mama.""Terus?""Ya Papa tetap kerja, kalau hari libur kita jalan-jalan. Gitu, Pa.""Pi

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    lima puluh enam

    "Baiklah, Sayang. Yuk, mandi dan ganti baju dulu," ajak Ridwan. Lelaki itu merasa tak enak hati dengan ucapan putrinya. Dia khawatir Indra salah paham, tapi juga sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan pada mantan iparnya tersebut.Citra menatap Yulis, biasanya wanita berjilbab itu yang melakukannya. Namun, melihat Yulis diam saja, bocah berambut lurus itu juga tak berani meminta. Citra benar-benar kesal pada pakdenya, yang menurutnya sudah merusak suasana. "Aku juga udahan, Ma," ucap Mutiara."Ayo, mandi dan ganti bajunya sama papa," sahut Indra. Seketika pandangan kedua wanita berbeda generasi itu tertuju pada lelaki yang sudah berdiri dari duduknya.Sesaat kemudian Mutiara tertawa. "Gak mau, sama Mama aja. Malu lah kalau ganti baju sama Papa.""Nah itu si Citra gak malu sama papanya""Beda, Pa. Kan Citra udah gak punya mama. Palingan Om Wan cuma nungguin di luar. Biasanya kan

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    lima puluh lima

    Mendengar penuturan Yulis, perlahan Indra menelan ludahnya. Lelaki itu takut jika sesuatu terjadi padanya karena sudah menyakiti hati istrinya tersebut."Apa kamu mau turun?" Tanyanya kemudian. Indra sendiri bingung mengapa dia menawarkan hal itu kepada Yulis."Maksudku, apa kamu mau menemuinya. Bicara apa gitu atau menanyakan apa gitu?""Sebaiknya gak usah Pak In. Karena aku dan dia sudah menjadi orang asing," sahut Yulis mantap."Baiklah kalau begitu kita lanjutkan perjalanan." Indra pun membunyikan klakson agar lelaki yang kata Yulis mantan suaminya itu menyingkir.Setelah beberapa saat kendaraan melaju, Indra kembali bertanya pada Yulis. "Bener nggak mau turun di toko aja, biar aku yang nyusul anak-anak ke kampung air."Yulis tak lagi menjawab, wanita penyuka warna kalem itu malah membuang pandangannya keluar jendela dia benar-benar gerah dengan sikap Indra yang tak seperti biasanya. Yulis merasa

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    Lima puluh empat

    Perlahan Indra membaringkan tubuh Yulis, seolah wanita itu adalah barang berharga yang harus dengan hati-hati memperlakukannya. Yulis segera beringsut setelah terlepas dari rengkuhan Indra. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu terlihat kesal."Maaf, tadi kamu ketiduran di ayunan. Aku khawatir kamu masuk angin, jadi berinisiatif untuk memindahkanmu ke kamar," ucap Indra tanpa ekspresi. Yulis masih termangu, antara malu, senang, kesal dan tak mengerti dengan perubahan sikap Indra yang tiba-tiba."Tadi Muti telepon pakai nomor Ridwan. Ia ikut Omnya itu ke kampung air. Kamu istirahat saja. Biar aku yang menjemputnya," imbuh Indra, setelah itu dia langsung beranjak.Lagi-lagi Yulis dibuat terbengong, ia semakin tak mengerti, kedua alisnya bertaut memikirkan sebenarnya apa yang terjadi dengan suaminya tersebut."Aku ikut!" Setelah beberapa saat tercengang, Yulis segera menyusul Indra yang hampir meraih ganggang pintu.

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    Lima puluh tiga

    "Kami dari rumah tahanan, ingin memberi kabar pada ibu bahwa tahanan yang bernama Mira telah meninggal dunia. Selain Ibu, apa ada nomor keluarganya bisa dihubungi?""Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Yulis spontan. Sesaat kemudian dia tertegun. Seraut wajah yang dulu sangat disayanginya langsung hadir dalam kilasan ingatannya. Spontan nulis menutup mulutnya yang ternganga. Bagaimanapun juga Mira pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya."Mohon maaf, Pak. Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan saudari Mira, tapi, saya tahu di mana alamat orangtuanya. Nanti saya kirim alamatnya aja ya, Pak. Mohon maaf, hanya itu yang bisa saya bantu.""Terima kasih Bu. Kami kesulitan mencari keluarganya. Rumah yang dulu ditempati sekarang sudah atas nama orang lain."Panggilan pun terputus, Yulis tak langsung menyimpan benda pintarnya terbaru. Setelah mengirim alamat orang tua Mira, wanita bermata bulat itu menghubungi Afif.

  • SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU    Lima puluh dua

    "Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Indra menghentikan gerakan Yulis yang tengah menyendok nasi goreng di wajan untuk diletakkan di piring."Sarapan dulu, Pak In," sahut Yulis tanpa menoleh. Ia meneruskan kegiatannya menyiapkan sarapan untuk sang suami. Yulis berusaha bersikap biasa saja, walaupun sangat kecewa dengan sikap Indra semalam. Indra berhak melakukannya, tetapi caranya yang membuat Yulis kurang suka.Indra menghela napas untuk mengurangi kegugupan di hatinya, sambil terus memperhatikan punggung ramping istrinya yang belum pernah sekalipun dipeluk olehnya.Tak butuh waktu lama, sepiring nasi goreng sudah tersaji di depan Indra beserta segelas air putih."Sedekat–" "Makan dulu, Pak In," sela Yulis. Lagi-lagi wanita itu mengatakannya tanpa melihat suaminya. Setelah itu suasana kembali hening, hanya denting sendok dan piring yang terdengar memenuhi ruangan. "Alhamdulillah," ucap Yulis den

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status