Share

SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU
SUAMIKU DIAM-DIAM MENIKAHI PUTRIKU
Penulis: Puspita

Satu

"Gugurkan saja kandunganmu!"

Yulis menghentikan langkah ketika melintas di depan kamar putrinya. Dahi wanita tiga puluh tujuh tahun itu berkerut. Heran. "Menggugurkan kandungan? Siapa yang hamil?" batinnya penuh tanya. Wanita pemilik alis bak semut berbaris itu pun mendekat untuk memperjelas pendengarannya.

"Gila kamu, Mas! Pokoknya aku gak akan menggugurkan kandungan ini. Aku gak mau tahu ya. Secepatnya kamu harus menceraikan wanita tua itu lalu mengusirnya dari rumah ini!" Suara Mira–putrinya, membuat Yulis membeku. Antara percaya dan tidak, bahkan untuk sepersekian detik wanita pemilik bibir tipis itu lupa untuk bernapas.

"Sabarlah, Sayang. Sebentar lagi, nanti setelah semua harta beralih atas namaku. Aku pasti akan menceraikan dan mengusirnya dari sini," balas seorang lelaki yang diyakini Yulis adalah suara Bagas—suaminya. Tubuh perempuan bermata bulat itu lemas, tulang-tulangnya serasa dicabut paksa oleh keterkejutan.

"Tapi, kapan, Mas! Kapan? Sampai perutku membesar?! Atau kamu memang sengaja menundanya, menunggu wanita itu tahu, lalu dia akan memaksaku untuk melahirkan anak ini, kemudian dia yang akan merawatnya?!" jawab Mira semakin membuatnya tak bertenaga. Berkali-kali Yulis menggeleng, menolak kebenaran yang baru saja diketahuinya.

Wanita yang disebut tua itu mengetuk pintu, ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar sang putri. Ketukan pertama tak tak ada respon, Yulis kembali mengetuk sambil memanggil putrinya.

Perlahan pintu terbuka, Mira tersenyum pada wanita bertubuh ramping itu. "Ibu?" sapanya pura-pura terkejut. "Belum berangkat?" imbuhnya sambil memegang daun pintu.

"Kamu bicara dengan siapa?" tanya Yulis tanpa basa-basi. Tatapannya menelisik ke dalam ruangan bernuansa biru tersebut. Kedua alisnya bertaut ketika melihat ranjang dalam kamar itu berantakan.

"Bicara? Oh, tadi aku lagi latihan drama, Bu. Ibu mendengarnya?" balas Mira. Gadis dua puluh tahun itu terlihat biasa saja. Sama sekali tak ada gurat kegugupan di raut wajahnya.

Yulis menggangguk. "Drama? Lalu siapa lawan bicaramu tadi?" tanya Yulis sambil mengedarkan pandangannya ke dalam kamar sang putri dari sela pintu yang tak terbuka sempurna.

Mira menunjukkan ponselnya. "Ini. Ibu mau dengar?" Gadis itu balik bertanya.

Yulis tersenyum sambil menggeleng. "Tadi itu jelas suara ayahmu, jangan membohongiku, Mir." Yulis tak percaya begitu saja dengan apa yang diucapkan Mira. Dia yakin jika telinganya masih normal.

"Ya ampun, Ibu. Gak percaya amat. makanya dengerin ini."

Setelah Mira memutar rekaman suara, Yulis baru percaya. "Oh, ya udah lanjutkan," ucapnya, setelah itu dia beranjak meninggalkan Mira rasa penasaran. Yulis yakin dengan pendengarannya, tapi terpatahkan dengan alasan gadis itu yang cukup masuk akal, walaupun terasa janggal.

Wanita penyuka kopi itu melangkah keluar rumah, meninggalkan Mira yang setelah kepergiaannya tersenyum penuh kelegaan.

Hanya butuh lima menit berjalan kaki untuk sampai ke toko serbaguna yang dikelolanya. Saat Yulis tiba, ketiga pegawainya sudah menunggu. Mereka langsung bangkit dari tempatnya masing-masing. Salah satunya membuka toko setelah menerima kunci dari Yulis, setelah itu mereka dengan cekatan melakukan tugas masing-masing.

Sementara Yulis langsung menuju mejanya. Mulai sibuk mencatat dan mengecek pesanan pelanggan. "Ris, ini nota dari Bu Siti. Tolong kamu siapkan, nanti jam sepuluh mau diambil," titahnya sambil menyerahkan kertas pada pemuda tersebut. Setelah itu dia kembali mencatat beberapa daftar belanja dari pelanggan yang dikirim ke W******p.

Yulis berungkali melihat benda bundar yang melingkar di tangannya. Perempuan itu berdecak karena sudah hampir setengah jam dia berada di toko, suami dan putrinya tak kunjung datang.

Sementara itu di kediaman Yulis, kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu menuntaskan hasrat yang tadi sempat tertunda. Setelah itu dengan langkah ringan mereka berjalan beriringan menuju toko. Bagas langsung menempati tempat duduknya yang berada di sisi Yulis. Sedangkan Mira berdiri di depan meja kasir ibunya. Gadis manis itu menatap Yulis dengan malas, tapi dia harus melakukan sandiwara agar rencananya bisa tercapai.

"Ibu, hari ini aku ingin diantar Ayah," ujar Mira. "Kayaknya aku kurang enak badan, takut kenapa-kenapa kalau nyetir sendiri," imbuhnya dengan wajah memohon. "Boleh, ya."

Yulis tersenyum, tapi sejenak kemudian wajahnya berubah serius. Wanita penyuka warna kalem itu teringat kejadian tadi. "Kalau sakit, mending izin aja, Mir," sahutnya sambil menatap putrinya.

"Gak bisa, Bu. Hari ini ada gladi bersih untuk pementasan drama yang tadi ibu dengar."

Yulis tak langsung menjawab, wanita penyuka kopi tanpa gula itu menoleh pada suaminya. "Ayah antar Mira ya," pintanya.

"Jangan lah, Dek. Nanti kamu keteteran loh. Ini kan hari Senin, pasti ramai," kilah Bagas, padahal sesungguhnya itulah yang diharapkannya. "Mira, kamu naik gocar aja ya," imbuhnya sambil menatap Mira.

Yulis memandang wajah lelakinya sejenak sebelum kembali berucap, "kasihan, Mira. Aku gak pa-pa, nanti biar Afif kesini untuk bantu-bantu," sahutnya. Yulis mencoba menatap mata Bagas untuk mencari sesuatu di sorot mata bermanik hitam tersebut. Namun, lelaki yang sudah membersamainya selama 18 tahun itu selalu menghindar.

"Ya udah lah kalau gitu," balas Bagas sambil bangkit dari duduknya. "Aku berangkat nganterin Mira dulu ya," pamitnya.

Setelah menerima uang saku, Mira segera beranjak menyusul Bagas yang sudah mendahuluinya. Kedua orang beda jenis kelamin dan generasi itu tersenyum bahagia ketika sudah berada dalam Honda jazz milik Mira, hadiah dari Yulis karena diterima di universitas terbaik di kota mereka.

Selepas kepergian suami dan putrinya, Yulis segera menghubungi Afif, meminta keponakannya itu untuk membantunya di toko. Setelah itu wanita penyuka warna lembut itu kembali sibuk dengan nota dan bulpoin.

Tak lama berselang Afif datang, karena memang jarak rumahnya tidak terlalu jauh. Lelaki muda itu sudah terbiasa membantu sepupu ibunya itu.

"Pagi, Bude," sapa Afif setelah masuk ke toko. "Pakde kemana?" imbuhnya bertanya, setelah duduk di bangku yang tadi ditempati Bagas.

"Ngantar Mira ke kampus. Anak itu kurang sehat," sahut Yulis tanpa menoleh, tangannya sibuk mencatat pesanan pelanggan.

"Kalau sakit, napa mesti masuk? Kan bisa izin," sahut Afif sambil mengamati budenya.

"Lagi ada tugas katanya," balas Yulis singkat.

Obrolan mereka berhenti ketika ada beberapa pembeli yang datang. Keduanya lalu sibuk, mencatat dan menjumlah. Hingga tak terasa hari sudah beranjak siang.

Sholawat tarhim sudah terdengar dari toa masjid. Yulis berucap syukur, setelah itu dia langsung memasukkan beberapa ikat uang yang sudah dihitungnya ke dalam tas, dan membiarkan sisanya di dalam laci.

"Aku naik dulu ya, Fif," pamitnya, setelah itu dia beranjak ke lantai atas untuk mempersiapkan diri melaksanakan kewajiban sekaligus beristirahat sejenak, karena harus bergantian dengan Afif. Para karyawan juga melakukan hal yang sama. Setelah itu mereka akan makan siang yang sudah dikirim oleh katering langganan Yulis.

Ponsel Yulis berdering, tepat setelah dia selesai beribadah. Bibir tipis itu mengulum senyum ketika melihat siapa yang menghubunginya. Namun, baru sepersekian detik perempuan itu menutup mulutnya yang ternganga saking terkejutnya. "innalilahi wa innailaihi rojiun."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ipasari
Hadeee, jelas2 denger sendiri eee malahan lebih percaya anaknya, pantas di selingkuhin.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dungu,tolol,bucin dan terlalu gampang percaya. pantas dan wajar dikhianati dan diselingkuhi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status