LOGIN“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Jati dengan suara lebih rendah dari biasanya. Bukan keras, bukan lembut. Seperti orang yang sedang menahan sesuatu agar tidak luntruh.“Kenapa tiba-tiba bicara seolah aku akan membencimu?”Gandes memejamkan mata. Detik berjalan, namun dadanya seperti berhenti. Jari-jarinya mencengkeram seprai. Ketika akhirnya bicara, suaranya nyaris tak keluar.“Bagaimana kalau anak ini… bukan anakmu?”Kalimat itu jatuh begitu saja. Tak dihias. Tak disiapkan. Namun dampaknya terasa nyata bagi Jati.Jati membeku. Rahangnya mengeras. Napasnya tertahan separuh. Matanya menatap Gandes lama, terlalu lama, seolah mencari kepastian bahwa ia salah dengar.Gandes memalingkan wajah. Bahunya bergetar, tapi ia berusaha diam.“Aku menghitung,” katanya cepat, seakan takut kehilangan keberanian. “Aku coba ingat. Aku coba yakinkan diri sendiri. Tapi angka itu tidak mau patuh.”Jati mendekat. Tangannya terulur, lalu berhenti sebentar, ragu, sebelum akhirnya menggenggam tangan Gandes.
“Aku tidak enak,” jawab Gandes jujur. “Kalian terlalu repot. Mungkin nanti malam Mbak Ratih saja menemani.”Maheswari memandang Jatmiko. Ada ragu, namun juga pengertian. Mereka bertukar pandang singkat.“Kamu yakin?” tanya Jatmiko.“Iya,” jawab Gandes."Kalau gitu aku telpon Pak Rasyid duluh, biar jemput Ratih.""Nggak usah, Kanjeng Ibu. Kasihan Pak Rasyid bolak balik. Biar sekalian saja pulang.""Tapi kamu sendirian, Dhuk.""Nggak sampai setengah jam saja, kok."Maheswari menghela napas. Tangannya mengusap pipi Gandes lembut. “Kalau begitu, kami pulang. Tapi kalau ada apa-apa, telepon.”“Injih, Kanjeng Ibu.”Mereka pamit. Pintu tertutup perlahan. Langkah kaki menjauh. Ruangan kembali sepi. Sunyi kali ini berbeda. Tak ada suara sendok. Tak ada langkah. Hanya detak jam yang terdengar jelas, terlalu jelas.Gandes memejamkan mata. Namun pikirannya justru berlari ke arah yang tak ia inginkan."Dua minggu." Ia menghitung pelan. Dadanya terasa sesak. "Kenapa tidak setelah datang bulan saja
Maheswari menatap anaknya yang masih diam. "Mau aku ulang lagi dengan berteriak?"Jati segera berbalik sambil menunduk. Suara Maheswari jatuh seperti palu terakhir. Tidak tinggi, tidak berteriak, namun cukup membuat Jati tak punya ruang membela diri. Nada itu bukan kemarahan semata, melainkan keputusan. Tegas. Tak bisa ditawar.Jati berhenti beberapa detik. Menoleh. Matanya bergerak pelan, menyapu wajah ibunya, ayahnya, lalu berhenti di punggung Gandes yang membelakangi ranjang. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Bibir Gandes masih tampak lecet dari samping. Luka kecil, namun terasa seperti noda yang tak bisa disembunyikan.Jati menelan ludah. Rahangnya mengeras. Ia kembali melangkah keluar tanpa suara. Pintu tertutup perlahan, namun bunyinya tetap terdengar berat.Sunyi tertinggal.Belum lama pintu itu tertutup, Gandes menutup mulutnya. Wajahnya memucat. Tubuhnya bergetar halus, seolah keseimbangan yang ia paksa sejak tadi akhirnya runtuh."
“Gandes?” Jati tersentak. Tangannya masih menopang tubuh itu, namun beban tiba-tiba terasa asing. Kepala Gandes terkulai ke samping, jilbab menutup separuh wajah. Tidak ada perlawanan. Tidak ada napas terengah.“Mas… jangan.” Suara itu masih terngiang kembali, terlalu lirih. Hampir tenggelam oleh napas Jati sendiri yang memburu menciumnya dengan kasar, sampai tubuh itu melemas sepenuhnya seperti yang kini di tangan Jati.“Gandes!” Jati menepuk pipinya. “Jangan bercanda. Buka mata.”Sunyi.Jantung Jati berdentum panik. Tangannya mulai gemetar. Ia menggeser tubuh Gandes, menempelkan telinga ke dada gadis itu, mencari denyut yang meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja. Ada. Lemah. Tidak stabil.“Ya Allah… apa yang sudah aku lakukan,” gumamnya.Rasa panas di dadanya berubah menjadi dingin yang mematikan. Semua kalimat yang tadi meluncur dengan nada menuntut kini terasa kejam. Ia mengingat wajah Gandes yang pucat, suara yang bilang tak enak badan, tatapan mata yang minta dipaha
"Gandes?!" Jati tersentak.Kanaya melepas pelukan seolah baru sadar tubuhnya masih memeluk Jati erat.“Astaga…” Kanaya mengusap wajah, telapak tangannya bergetar. "Gandes… kamu sudah datang. Dari tadi aku tanya, kenapa kamu tak ikut turun.""Aku kayak nggak enak badan, Ma.""Muka kamu emang kelihatan pucat." Kanaya menelisik Gandes. "Maafkan Mama, ya, tadi, ” katanya cepat, suara bergetar. “Mama peluk Jati karena kaget. Mama… terharu.”Gandes kaku. Bahunya naik turun, lalu perlahan melunak. “Terharu?”Kanaya mengangguk, mengusap punggung Gandes. “Kalian kelihatan saling mencintai sekarang. Bahkan kata Jati kalian baru dari villa. Juga, cara kamu memanggil dia barusan… itu bukan suara pura-pura.”Gandes tetap menatap. Tatapannya tak segera beralih. Ia menelan ludah, napasnya tersangkut. Namun, senyum segera mengembang."Maaf jika tadi mengagetkan. Aku cuma mikir, ada apa kok lama? Katanya tadi sebentar,” tanya Gandes masih tersenyum."Emang apa kamu sendiri tak kangen Mama?" Kanaya ya
“Kanaya, aku cuma mampir sebentar. Mau kasihkan... "Kanaya sudah menarik pergelangan tangan Jati sebelum ia sempat meneruskan kata-katanya lagi. Tarikan itu tidak kasar, justru terlalu akrab. Pintu rumah tertutup. Suara engselnya seperti kunci yang mengunci ruang bernapas Jati.“Kamu kurusan,” ujar Kanaya cepat. Tangannya menyentuh lengan Jati, naik, lalu berhenti dekat dadanya.Tanpa aba-aba, Kanaya yang tingginya 170 cm itu, tak jauh dari tinggi Jati, segera menarik tengkuknya dan mencium bibir Jati. “Aku kangen. Sudah lama kita tak melakukan kemesraan kita. Tinggallah sebentar, bukankah hari Senin ini tanggal merah. Kamu libur 'kan?" bisiknya manja. Jati menegang. Otot bahunya kaku. Ia mendirong Kanaya pelan, lalu mundur setengah langkah, cukup untuk menciptakan jarak yang terasa canggung.“Jangan begitu, Kanaya, ” katanya. “Kamu tahun'kan aku sudah menikah.”Kanaya tertawa pendek. “Pernikahan macam apa? Bukankah dia cuma penggantiku? Kamu selalu pakai nada itu kalau gugup.”Di







