Mag-log in“Kanaya, aku cuma mampir sebentar. Mau kasihkan... "Kanaya sudah menarik pergelangan tangan Jati sebelum ia sempat meneruskan kata-katanya lagi. Tarikan itu tidak kasar, justru terlalu akrab. Pintu rumah tertutup. Suara engselnya seperti kunci yang mengunci ruang bernapas Jati.“Kamu kurusan,” ujar Kanaya cepat. Tangannya menyentuh lengan Jati, naik, lalu berhenti dekat dadanya.Tanpa aba-aba, Kanaya yang tingginya 170 cm itu, tak jauh dari tinggi Jati, segera menarik tengkuknya dan mencium bibir Jati. “Aku kangen. Sudah lama kita tak melakukan kemesraan kita. Tinggallah sebentar, bukankah hari Senin ini tanggal merah. Kamu libur 'kan?" bisiknya manja. Jati menegang. Otot bahunya kaku. Ia mendirong Kanaya pelan, lalu mundur setengah langkah, cukup untuk menciptakan jarak yang terasa canggung.“Jangan begitu, Kanaya, ” katanya. “Kamu tahun'kan aku sudah menikah.”Kanaya tertawa pendek. “Pernikahan macam apa? Bukankah dia cuma penggantiku? Kamu selalu pakai nada itu kalau gugup.”Di
“Kenapa nada kamu berubah begitu?” tanya Gandes pelan, matanya menatap Jati yang masih duduk di tepi ranjang.Jati menghela napas. Tangannya bergerak ke belakang kepala, kebiasaan lama saat pikirannya kusut. “Aku cuma… bingung.”“Bingung soal Mama?”“Soal kamu. ” Jati menoleh. “Setelah semua yang terjadi, kamu masih mau dekat dengan mama kamu? Aku bahkan tak percaya dia tak. Menyimpan sesuatu.”Gandes bangkit, meraih bantal, memeluknya sebentar sebelum bicara. “Mas, jangan bicara begitu. Kalau bukan karena Mama, aku mungkin nggak akan sampai sejauh ini.” Suaranya tenang, tapi ada getar tipis. “Dia yang berjuang buat hidupku. Dia yang begadang waktu aku membutuhkan uang untuk tetap sekolah. Dia yang nutup telinga dari omongan orang, cuma supaya aku bisa sekolah.”Jati terdiam. Pandangannya jatuh ke jari Gandes yang saling mengait.“Apapun yang Mama lakukan,” lanjut Gandes, “aku percaya niatnya selalu buat kebaikanku.”"Termasuk mendekatkanmu pada Ryan?""Itu karena dia masih mencintai
"Jangan lama,” jawab perempuan itu.Ryan melangkah menyusuri sisi vila Mica. Jalur sempit itu mengarah ke pagar rendah. Dari sana, pandangan terbuka ke vila di bukit seberang. Ia berhenti.Di teras vila itu, Gandes duduk bersandar, tertawa lepas. Jati duduk di sampingnya, satu tangan memegang piring, tangan lain mengusap lengan Gandes dengan gerakan kecil yang penuh kebiasaan. Mereka bicara, tertawa, lalu Jati mendekat, mengecup bibir Gandes singkat, seolah dunia hanya milik mereka berdua.Ryan merasa dada terbelah.Setiap tawa Gandes seperti pisau. Setiap sentuhan Jati seperti menambah luka. Ia ingin berpaling, namun kakinya tidak mau bergerak.Begitu besar cintanya hingga ia lupa cara bernapas.Gandes mencondongkan kepala ke bahu Jati. Lelaki itu tertawa, menyentuh pipi Gandes dengan punggung jari, lalu mengusapnya pelan. Adegan itu sederhana, namun terasa kejam.Air mata Ryan jatuh tanpa suara."Aku mau pergi, Ndes," batinnya. "Aku ingin menyimpan wajahmu terakhir kalinya karena
Udara seolah berhenti.Reirna menoleh cepat. "Michael?"Michael tidak mengalihkan pandangan.Mica berdiri perlahan. "Aku ke dalam." Dia sudah merasabtahu apa yang akan diminta papinya. Langkahnya menjauh, kembali ke dalam. Dari sana, ia berhenti. Tidak masuk sepenuhnya. Cukup jauh untuk tak terlihat jelas, cukup dekat untuk mendengar.Ryan menelan ludah. "Tergantung apa yang Om minta."Michael tersenyum tipis. "Jawaban aman.""Aku jujur," kata Ryan."Itu bagus," jawab Michael. "Karena yang akan aku minta tidak mudah."Reirna merapat. "Kamu yakin?""Yakin," jawab Michael.Ryan menunggu. Detik berlalu. Angin menggerakkan dedaunan. Dari arah bukit, samar terdengar bunyi lonceng sepeda. Hati Ryan resah. Bayangan Handes dibonceng sepeda muncul lagi. Michael berkata pelan, "Aku ingin kamu kelak menjadi pendamping Mica."Ryan membeku. "Bukankah selama ini kami seperti adik kakak? Bagaimana mungkin tiba-tiba saja saya bisa menganggapnya lain?""Hanya itu harapan Om untuk kalian," lanjut Mic
“Ryan, memangnya ada apa?" tanya Michael khawatir.Ryan meremas jemarinya. Pelipisnya keluar keringat dingin. Hatinya perih seolah diremas. Bayangan itu mengikutinya seperti hantu di siang hari."Bicaralah, jangan hanya diam.”Suara Michael terdengar tenang, namun sorot matanya tajam. Mereka duduk di taman belakang vila. Rumput masih basah embun, kursi kayu memunggungi barisan bunga bermekaran. Di sela dedaunan, cahaya pagi jatuh patah-patah.Ryan masih menautkan jari. Kepalanya tertunduk.“Kalau kamu bertengkar sama Mica, bilang,” lanjut Michael. “Di sini ini tidak ada kewajiban berpura-pura.”Reirna menarik tangan agar duduk di sampingnya. “Kamu pucat sejak masuk. Jalan pagimu terlalu jauh?”Ryan tersenyum tipis. “Tidak, Tante.”Jawaban itu terlalu cepat.Michael menyandarkan punggung. “Kalau begitu, ceritakan yang lain.”Angin bergerak pelan. Daun jatuh satu. Ryan menghirup napas dalam, seperti mengumpulkan keberanian yang tercecer.“Saya melihat sesuatu,” katanya akhirnya.Reirna
Gandes hendak melipat sajadah. “Kamu kenapa?” tanyanya saat Jati yang menatapnya dengan mata buram.Jati masih diam. Tangannya merangkul Gandes dari samping, dahi menempel pelipis Gandes. “Terima kasih. Kamu bikin aku ingat Tuhan lagi. Subuhan bersama barusan rasanya beda.”Gandes terkekeh. “Kok mendadak puitis. Jangan-jangan habis mimpi.”“Bukan mimpi.” Jati menurunkan suara. “Kamu juga kasih kebahagiaan yang susah dicari bandingannya.”“Eh, stop,” potong Gandes cepat begitu melihat Jati hendak merangkul Gandes lagi. “Jangan peluk aku lagi. Nanti kamu ajak aku begituan lagi. Aku sudah lelah, Mas.” Gandes sampai mengatupkan kedua tangannya.Jati tertawa, bahunya bergetar. “Lelah dari apa?”“Dari kamu.” Gandes membuka mukenanya, lalu menarik rambutnya ke depan. “Lihat ini. Masih lembap. Padahal sudah pakai pengering. Rambutku keras kepala juga kayak kamu.”Jati menyandarkan dagu. “Keras kepala seperti pemiliknya.”“Mas....” protes Gandes saat tangan Jati mulai bergerak menyusup.“Tapi







