MasukDebora baru saja menutup kalimatnya ketika suara langkah tegap terdengar dari arah koridor. Langkah yang terlalu familiar... berat, mantap, dan selalu membuat orang-orang di mansion refleks menegakkan punggung. Debora langsung menoleh. Alex sudah berdiri di sana, masih dengan setelan rapi, wajahnya teduh namun dingin seperti biasa. Tatapannya sempat jatuh pada bunga-bunga lili itu… hanya beberapa detik. Tapi cukup membuat Debora sadar bahwa ia sudah bicara terlalu jauh. Wajah Debora berubah canggung. “Permisi, Nona Amel. Saya ke dapur dulu,” ucapnya cepat, menunduk hormat pada Alex sebelum bergegas pergi, nyaris tanpa menunggu jawaban. Amel masih memegang satu batang lili putih di tangannya. Sekilas, ia dan Alex saling berpandangan. Ada sesuatu di mata Alex, seperti dinding tinggi yang kembali ditegakkan. Amel mencoba tersenyum, suaranya pelan, “Alex… aku mau tanya sedikit tentang bunga...” Namun Alex memotong dengan nada tenang tapi tegas, seolah sengaja mengalihkan arah pembi
Beberapa hari setelah kejadian di mansion, semuanya tampak kembali normal, seperti kolam yang tenang setelah batu dijatuhkan. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, ada riak-riak kecil yang tak pernah benar-benar hilang.Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar ruang tamu, memantul lembut di vas-vas kristal yang berjajar rapi. Amel berdiri di tengah ruangan dengan sebuket bunga segar di tangannya. Tangannya cekatan, tapi langkahnya pelan... seolah setiap gerakan harus dilakukan dengan penuh hati-hati, karena ini bukan sekadar mengganti bunga.Bunga-bunga itu harus diganti tiga hari sekali. Itu sudah menjadi kebiasaan lama di rumah ini. Alex menginginkannya begitu... tak boleh terlambat dan tak boleh sembarangan.Amel menghela napas pelan. Di setiap sudut ruang tamu, di atas meja kecil di lorong, bahkan di dekat tangga spiral yang menuju lantai atas, selalu ada rangkaian bunga lili putih. Wangi khasnya lembut, bersih, dan kontras sekali dengan bayangan kelam yang selalu mengiku
Tiga hari berlalu pertemuan dengan Tuan Ronald berjalan mulus... senyum bahagia, jabatan tangan dan janji kerja sama, namun di baliknya, pikiran Felix terus berputar pada satu hal... Alex dan wanita yang bersama anaknya. Pagi ini, langit mendung. Awan kelabu menggantung berat seolah ikut mengawasi langkahnya. Felix berdiri di depan cermin besar di ruang kerjanya. Setelan hitamnya rapi tanpa cela, dasi terikat sempurna. Namun sesuatu di balik tatapannya berbeda... lebih tegas dan berbahayq. “Mobil sudah siap, Tuan,” lapor anak buahnya dari ambang pintu. Felix mengangguk sekali. “Kita berangkat sekarang.” Perjalanan menuju mansion terasa panjang. Jalanan kota melintas di balik kaca bangunan, pepohonan, dan orang-orang yang tak tahu badai apa yang sedang bergerak diam-diam. Felix tidak berkata sepatah pun. Di kursi depan, sopir bisa melihat dari kaca spion bagaimana tatapan majikannya tetap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Tangan Felix menggenggam tongkat kayu berukir di pangku
Malam sudah berlalu ketika dua mobil hitam memasuki area gudang besar yang dijaga ketat di pinggir kota. Bukan lagi bangunan reyot tanpa arah, ini markas inti Martin. Pagar besi setinggi tiga meter mengelilinginya, kamera pengawas memantau setiap sudut, dan orang-orang bersenjata mondar-mandir seperti bayangan.Mobil berhenti, pintu terbuka. Martin turun lebih dulu. Jaket hitamnya basah oleh hujan, namun langkahnya tetap tenang. Di belakangnya, Beni ikut turun. Wajahnya gelap, bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena sesuatu yang berat di dadanya.“Masuk,” ucap Martin singkat.Di dalam, markas itu tidak main-main. Ruang kendali penuh layar monitor menampilkan sudut-sudut kota, jalur pelabuhan, dan yang paling menonjol, tampilan citra satelit area mansion Alex. Semua orang berdiri memberi hormat saat Martin lewat.Ia duduk di kursi utama, memijat pelipis sebentar, lalu menatap layar besar di depannya.“Alex memang tidak pernah main-main,” gumamnya. “Dia selalu menyiapkan pengaman
Malam terasa mencekam. Hujan menutup jalan pulang dengan tirai tipis, dan kota seolah mengecil di balik kaca mobil yang buram.Amel duduk diam di kursi penumpang, jaket hitam yang terlalu besar memeluk bahunya. Kali ini bukan hanya luka dan kejadian di bangunan tua tadi yang membebani pikirannya, tapi wajah kecil yang menunggunya. Lily, putri kecilnya.Ia menatap ponsel yang mati. Baterai habis. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. “Semoga Lily aman di mansion,” batinnya berulang-ulang.Alex melirik sekilas. “Lily aman, dia dijaga. Joni yang ngatur semua pengamanan.”Seolah mendengar namanya disebut, tak lama kemudian mobil lain berhenti di belakang mereka. Joni turun, jaketnya basah, rambutnya tertempel air hujan, tapi matanya masih awas, seperti biasa.“Bos,” katanya pendek. Lalu ia menoleh ke Amel. Suaranya melunak. “Mel, tenang aja Lily aman. Gue udah taro orang-orang terbaik di sana. Mereka selalu standby.”Bahunya sedikit turun lega. Tapi hati seorang ibu tak pernah benar-benar ten
Gelap menelan segalanya. Dor! Dor! Dor!Suara tembakan itu memantul di dinding-dinding besi, menggema, lalu mati begitu cepat seolah tak pernah ada. Hanya bau mesiu tipis yang tertinggal, bercampur lembap dan karat.“Alex!” suara Amel pecah, kali ini tak lagi ditahannya. Tak ada jawaban. Hanya derit pelan mekanisme yang kembali bergerak.Lampu darurat menyala redup... merah. Ruangan tempat Amel duduk kini terbuka sebagian, lantai berhenti bergerak, menyisakan celah menganga beberapa meter di depannya. Jarak yang cukup dekat untuk melihat, tapi terlalu jauh untuk disentuh.Di seberang celah itu, sosok muncul dari bayangan.Alex.Bahunya berdarah. Peluru menggores, tak mematikan, tapi cukup untuk melambatkannya. Tatapannya tetap tajam, terkunci pada Amel seolah dunia di sekeliling mereka tak ada.“Jangan bergerak,” katanya cepat, suaranya rendah namun tegas.Amel mengangguk kecil, air mata menggenang tanpa jatuh. Di atas mereka, suara tepuk tangan terdengar, pelan dan berirama.Martin







