Bab 6
Dafa
Pernikahanku dengan Sarah cukup bahagia. Ia merupakan wanita yang cantik dan baik, anak kami baru satu berumur empat tahun. Pernikahan kami nyaris sempurna.
Namun, aku tak suka dengan dirinya yang semakin kurus saat ini. Entah mengapa sejak melahirkan Reza, ia malah semakin kurus. Padahal aku suka wanita berisi.
Aku selalu memintanya untuk banyak makan, tapi ia bilang sudah kenyang. Padahal anak kami cukup berisi, ia sangat telaten mengurusnya. Tapi, mengurus dirinya ia tak becus. Ia tak pernah mau berdandan untukku.
Saat aku pulang, ia sangat hobi pakai daster. Padahal aku tak menyukainya.
Di rumah pun sudah ada asisten rumah tangga untuk mengerjakan kerjaan rumah, tapi ia tak ada keinginan untuk memperbaiki dandanan saat dirumah. Ia akan berdandan, jika akan pergi saja. Itu sama saja bohong, karena jika diluar rumah, dandanannya dinikmati banyak orang, bukan hanya untukku.
Sementara di kantor, para karyawan wanita itu terlihat bening dan berkilau. Apalagi ada satu orang yang amat sangat perhatian padaku, yaitu Ranti--karyawan bagian keuangan.
Kedekatan kami bermula dari komunikasi melalui chat di aplikasi hijau. Kami semakin dekat, sehingga jika di kantor bertemu, jantungku kembali berdesir seperti saat pertama menikah dengan Sarah.
Di kantor kami tak menampakkan kedekatan kami. Tapi kami dekat di luar, beberapa kali kami jalan bareng untuk sekedar makan bersama.
"Mas, aku tak mau di PHP seperti ini. Kita saling mencintai, maukah kamu menjadikanku sebagai istrimu?" tanya Ranti suatu ketika setelah kuajak makan malam bersama.
Malam itu, aku bilang pada Sarah untuk bertemu kawan di luar. Karena ia polos, ia percaya saja apa yang aku katakan.
Saat itu aku diam sejenak. Aku tak mau bertindak gegabah dengan menikahinya. Akupun tak mau berdosa karena beberapa kali mengajaknya makan di luar.
"Baiklah, beri aku waktu. Nanti aku akan menikahimu segera setelah aku siap," jawabku.
"Baiklah. Kita jangan ada komunikasi lagi kalau begitu, Pak. Aku menunggu bapak datang melamarku ke rumah," tantangnya.
"Memangnya orang tuamu setuju jika kamu hanya dinikahi siri olehku?" tanyaku penasaran.
"Insya Allah mereka setuju," jawab wanita muda dihadapanku yang berumur sekitar dua puluh satu tahun itu.
Akhirnya kami walau sekantor, tak pernah berkomunikasi lagi selama sebulanan karena aku sibuk juga dengan pekerjaanku.
Setelah itu, aku memantapkan hati untuk melamar gadis yang bernama Ranti ini. Gadis cantik, menarik dan sederhana ini telah mencuri hatiku.
Lalu Ranti memberiku alamatnya. Aku bersiap untuk melamarnya sendiri. Ya, aku sendiri ke rumah Ranti.
Saat datang, aku terkesima dengan rumahnya yang tidak layak huni. Ia tinggal bersama ibu dan adiknya. Rumah itu banyak bocornya serta tak memungkinkan untuk ditempati lagi. Aku jadi merasa iba dengan keadaan mereka.
"Bu, saya akan melamar anak ibu sebagai istri saya. Apakah ibu mengizinkan Ranti menjadi istri saya, Bu?" tanyaku pada ibu paruh baya ini.
Ia diam. Lalu meneteskan air matanya.
"Ibu sudah dengar tentang kamu dari Ranti. Ranti bilang ia memiliki bos yang baik dan bosnya sudah memiliki istri. Namun, anda memang berencana menikahinya karena kalian memang saling tertarik satu sama lain. Ibu sebenarnya tidak menyukai kalau pada akhirnya nanti anak ibu dibilang seorang pelakor. Bisakah Nak Dafa membawa bukti kalau istri Nak Dafa setuju dengan pernikahan ini?" tanya ibunya Ranti.
Walau ia miskin, ternyata ibu ini memiliki harga diri. Ia tak mau anaknya merebut suami orang. Aku yang jadi kalang kabut saat ini. Apa yang harus diperbuat sekarang?
Akhirnya aku menyetujui untuk membawa bukti kalau istriku setuju dengan pernikahan aku dan Ranti. Ranti pun berharap aku bisa mengabulkan permintaan ibunya.
Aku tak bisa berpikir jernih. Jika aku jujur dengan Sarah, ia tak mungkin mengizinkanku menikah lagi. Namun, aku kasihan dengan keadaan Ranti dan keluarganya. Aku harus menikahi gadis itu bagaimanapun caranya karena aku sangat mencintainya juga.
Kupikirkan cara untuk membawa bukti kalau Sarah setuju dengan keputusanku. Jika kubawa surat pernyataan, mungkinkah ibunya Ranti percaya? Atau aku sewa seorang wanita untuk berpura-pura menjadi istriku?
Bersambung
"Nggak, ah. Aku mau makan aja. Udah laper!" Kupegang perut ini yang sudah keroncongan. Mas Ari memegangi perutku juga."Ini isinya anak kita, Sayang," katanya.Aku tersipu. Anak? Rasanya aku lupa kalau menikah pasti ingin punya anak."Insya Allah, Mas. Nanti ada saatnya kita punya anak lagi," jawabku.Kami mengobrol sembari jalan ke arena bermain anak. Saat Reza melihatku, ia mengeluh laper. Padahal sudah ada bekal yang dibawanya tadi."Ra, bekalnya Reza dimakan kan?" "Iya, Bu. Ini udah habis, Bu," katanya."Alhamdulillah.""Iya, Ma. Udah abis, laper lagi," katanya.Kami mencari restoran yang cocok untuk lidah semuanya. Reza ingin makanan siap saji, kami pun ikuti keinginannya. Tak apalah sesekali.Reza memesan nasi, ayam, cola, kentang goreng dan burger. Kami hanya memesan nasi, ayam dan cola saja."Kamu bener akan menghabiskannya?" tanya Mas Ari ragu."Iya, pasti habis, dong."Lalu kami hanya memperhatikan ia makan setelah kami semua selesai. Tapi ia masih menyisakan burger dan ken
Mas Ari memberikan kejutan berupa reservasi sebuah vila di kawasan puncak. Katanya karena kami belum sempat bulan madu, jadi menginap di tempat dekat saja dulu.Mas Ari masih belum boleh melakukan perjalanan jauh. Kalau Jakarta-Bogor hanya sedikit jaraknya, jadi masih boleh."Terima kasih, Mas. Kejutan yang tak terduga bagiku. Rasanya aku benar-benar bahagia. Kamu sudah kembali seperti dulu. Mas Ari yang selalu berusaha membahagiakanku." Aku bersegera turun dari ranjang karena sudah waktunya pulang, kasihan Reza sudah ditinggal lama."Sama-sama, Dek. Sebagai permohonan maaf dan sejak menikah kita belum bulan madu, kamu pasti menantikan itu. Iya kan?" tanyanya.Aku tersenyum karena memang itu yang kurasakan kemarin. Hatiku benar-benar hancur saat tau Mas Ari kecelakaan, kehilangan ingatannya. Semua kujalankan dengan ikhlas."Iya, Mas. Kita pulang sekarang, yuk! Kasihan Reza pasti nungguin kita.""Siap, Dek. Ayo kamu bersiap saja dulu."Aku mencuci muka dan salat ashar dulu sebelum pula
"Nanti aku jelaskan, sekarang kita masuk saja. Kita ketemu sama adik-adik mahasiswa," katanya."Baiklah, Mas." Aku manut saja. Kami menemui penghuni kost.Mereka terkejut dengan kedatangan kami. Mas Ari mengingat orang-orang di kostan ini. Aku rasa dugaanku benar, Mas Ari sudah mengingat semuanya.Setelah berbincang cukup lama, kami meninggalkan kostan. Mas Ari membawaku ke restoran tempat ia menyatakan akan menikahiku pertama kali.Ketika mengingat peristiwa itu, ada berbagai rasa tercampur. Kami duduk di meja yang dulu kami tempati."Mas, ini kan tempat yang kita duduki saat itu?""Benarkah?" tanya Mas Ari."Mas ajak aku ke sini, pasti Mas sudah ingat semuanya. Makanya Mas Ari membawaku ke kost-kostan dan ke tempat ini.""Silahkan pesan makanannya dulu," katanya."Jawab dulu," jawabku."Nggak mau. Pesan dulu! Apa mau pilih pesanan saat itu?" tanyanya."Apa?""Eh, iya. Kamu mau pesan makanan seperti saat itu?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan senyum mengembang di bibir ini."Kena
"Kamu belum tidur?" tanya Mas Ari."Enggak, Mas. Maafkan aku." Segera ku berbalik membelakanginya karena malu kepergok saat memperhatikan wajahnya."Hey! Kamu liat-liat wajah aku kenapa? Ganteng ya?" tanyanya. Aku pura-pura tidur dan tidak menggubrisnya. "Udah tidur?" Mas Ari bertanya lagi, aku tak menjawab. Akhirnya ia menyerah dan tak mau bertanya lagi padaku.***"Mas, mau sarapan apa?" tanyaku pada Mas Ari yang sedang duduk di meja makan."Apa saja, yang penting kamu siapkan," jawabnya."Oke." Alhamdulillah Mas Ari tidak merepotkanku. Dengan seperti itu, ia lebih memudahkanku.Reza datang dan langsung duduk di pangkuan Mas Ari. Aku takut suamiku marah, karena aku tau dia nggak suka menikah dengan orang yang sudah punya anak.Namun, setelah diperhatikan lagi, Mas Ari justru memegangi badan Reza yang sedang duduk di pangkuannya."Papa lama di rumah sakit," ucap Reza."Maafkan Papa, ya! Mungkin Papa harus sembuh dulu seperti ini, biar bisa main sama kamu," jawabnya."Iya, Pa. Papa ud
Aku bingung membawanya ke rumah sakit, itu tidak memungkinkan. Namun, Mas Ari bisa pulang kapan pun, aku tak tau."Nanti ya, tunggu papa pulang saja. Anak-anak nggak bisa jenguk ke rumah sakit," jawabku.Reza cemberut. Ia ingin mengunjungi papanya segera."Jangan cemberut ya, Sayang! Insya Allah nanti kita ketemu Papa." Reza sangat dekat dengan Mas Ari, aku jadi sedih kalau ia kangen sama Papanya seperti ini.Aku menghibur Reza dengan membawanya ke minimarket dekat sekolah. Membelikan makanan kesukaannya agar ia kembali tersenyum.***Sore ini, aku sedang bersenda gurau dengan Reza sembari menemaninya makan di depan rumah. Rere juga ada bersama kami. Tak lama ada mobil Ayah datang. Saat turun, ia membukakan pintu sebelahnya. Ketika turun, aku terkejut ternyata Mas Ari turun dari sana."Papa Ari!" Reza langsung menyambut papanya. Ia berlari untuk memeluk papanya.Mas Ari memandangi Reza dengan heran. Namun ia berusaha tersenyum ramah pada anakku. Mudah-mudahan itu pertanda baik ia aka
"Sarah, yakinlah aku pasti akan sembuh." Sebuah suara mirip suara Mas Ari terdengar di telingaku. Suara itu meyakinkanku kalau suamiku pasti akan sembuh.Dari situ, aku kembali bangkit untuk menghadapi semua kemungkinan yang terjadi. Mas Ari yang masih belum mengingatku, beberapa kali membuatku patah hati. Ia merasa yang paling menderita. Padahal justru ia yang membuatku memikirkannya.Lalu aku menitipkan pesan pada Ayah yang akan menemui Mas Ari. Kuhubungi Ayah melalui sambungan telepon."Yah, titip pesan buat Mas Ari kalau aku mencintainya," sahutku melalui sambungan telepon."Baiklah, nanti Ayah sampaikan."Aku bersiap untuk menemani Reza ke sekolahnya. Anakku masih belum bangun juga pagi ini. Segera aku membangunkannya."Eza, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucapku."Ayo! Mama yan antar ya!""Iya, Mama antar ke sekolah. Kamu seneng?""Seneng, Ma."Reza kumandikan dan kami berangkat pagi-pagi sekali karena aku takut terlambat ke sekolah."Eza, seneng nggak diantar sama Mama?""Senen