Bab 5
Kami mengakhiri rapat. Para karyawan kembali ke tempat masing-masing. Aku, Mas Dafa dan Ayah masih di ruangan rapat.
"Dafa, saya rasa saat ini kembali ke jabatan awal bisa membuatmu semakin berkembang nanti. Semoga omset usaha percetakan kita naik karena orang-orang di bagian produksi yang memiliki keterampilan dan kecekatan dalam bekerja," ucap Ayah tanpa menghakimi.
Ayah memposisikan dirinya netral. Ia menurunkan jabatan Mas Dafa tanpa mengumbar aib laki-laki itu. Walau menurutku ini sudah membuat mental Mas Dafa down.
Aku tau bagaimana karakter Ayah, ia bisa melawan lawan tanpa harus membuatnya jelek di depan banyak orang. Saat ini pun, ia tak berusaha memojokkan Mas Dafa.
"Terima kasih, Yah. Aku akan berusaha menjalankan amanah pekerjaan baruku dengan baik. Mohon bimbingan dari Bu Sarah," katanya. Ia berkata sembari membulatkan matanya.
"Okey. Akupun jika butuh masukan darimu, mohon untuk dibantu ya, Pak Dafa!" jawabku dengan serius.
"Okey, silahkan kalian berperan dalam pekerjaan masing-masing. Oya, Dafa, saya mau minta proposal perencanaan untuk pembukaan kantor kita cabang Bogor. Biar Sarah bisa pelajari, saya pun mau melihatnya sudah sejauh mana?" tanya Ayah.
"Baik, Pak. Akan segera saya berikan berkasnya," jawab Mas Dafa.
"Okey." Ayah menepuk lengan Mas Dafa.
Aku? Hanya bisa meringis dalam hati.
***
Saat aku sampai rumah, Mas Dafa sudah lebih dulu sampai karena aku harus mengambil Reza dari rumah Ibu. Mas Dafa sudah duduk manis di ruang tamu.
Sepertinya ia merasakan aku tau sesuatu tentangnya. Namun aku takkan membahas itu, aku pura-pura cuek di depannya. Sampai ia merasakan kehilangan semua orang-orang yang mencintainya.
Betapa mudahnya ia mengkhianati pernikahan ini. Padahal sejak awal ia berjanji akan selalu setia. Setia apanya? Apa setia yang merupakan kepanjangan dari selingkuh tanpa akhir? Ah, aku benar-benar tak habis pikir dengannya.
"Dek," tegurnya saat aku di kamar. Saat ini aku sedang duduk di kursi depan meja riasku.
Aku tersenyum padanya. Ia tak membalas senyuman ini. Ia mendekatkan dirinya denganku.
"Ada apa, Mas?"
"Kamu tidak mau bertanya apa-apa?" tanyanya.
Aku menautkan kedua alis ini, lalu bola mataku berputar. Aku berpikir apa yang dimau oleh Mas Dafa? Kurasa ia ingin aku mengungkap semua kecurangannya.
"Tidak. Memangnya aku harus bertanya apa, Mas?"
"Kamu tidak bertanya soal baju tidur di ruang kerjaku?" tanyanya lagi.
"Oh ... Itu. Memangnya kamu punya penjelasan apa soal itu?" tanyaku.
"Dek, baju tidur itu baru loh. Boxer dan kaosku baru. Kalau sepatu, itu memang punyaku. Untuk sepatu wanita itu baru juga. Kamu lihat kan tadi dalam kardus? Semua kupersiapkan untuk kita. Aku rencananya akan mengajakmu menginap di sana." ucap Mas Dafa.
"Oh ... begitu?" tanyaku tenang.
"Iya, memang begitu adanya. Tanya saja pada karyawan di sana. Ruangan itu pun baru saja jadi. Lalu, kamu juga bisa bertanya pada OB yang kamu minta buang barang-barang tadi. Tadinya aku mau menjelaskan semuanya tadi, namun Ayah keburu datang. Kita semua jadi fokus pada Ayah," katanya.
Tak bisa kupercaya alasan Mas Dafa. Namun, tadi aku memang mencium bau cat dan memang semua nampak baru. Apa benar yang dikatakannya?
"Baiklah, akan kucek besok pada office boy dan menanyai semua karyawan tanpa kecuali," tantangku.
"Iya, itu harus! Jangan asal tuduh karena bukti yang tidak kuat!" katanya.
"Oke, Mas. Kamu benar. Aku takkan asal tuduh. Semua harus berdasar bukti yang kuat," kataku.
Sebenarnya aku memang tak punya cukup bukti mengenai ruangan yang menyerupai kamar yang ada di ruangan Mas Dafa. Tapi aku punya beberapa bukti kalau Mas Dafa memang punya wanita lain.
***
Saat di kantor, aku mencari keterangan pada beberapa orang. Mereka mengatakan kalau ruangan itu memang baru selesai dibuat.
Aku pun bertanya pada office boy yang kuminta membuang pakaian dan sepatu.
"Semua baru, Bu. Kecuali sepatu Bapak," katanya.
"Mana buktinya? Apa sudah kamu buang?" tanyaku.
"Masih kusimpan di lokerku, karena aku bingung membuangnya," jawabnya.
Ia dan aku segera membuktikan jawaban itu. Setelah kulihat detail, memang baru, dan ini barang yang kulihat kemarin. Masih ada label yang menempel di sana.
Apa benar itu buat aku?
Bersambung
"Nggak, ah. Aku mau makan aja. Udah laper!" Kupegang perut ini yang sudah keroncongan. Mas Ari memegangi perutku juga."Ini isinya anak kita, Sayang," katanya.Aku tersipu. Anak? Rasanya aku lupa kalau menikah pasti ingin punya anak."Insya Allah, Mas. Nanti ada saatnya kita punya anak lagi," jawabku.Kami mengobrol sembari jalan ke arena bermain anak. Saat Reza melihatku, ia mengeluh laper. Padahal sudah ada bekal yang dibawanya tadi."Ra, bekalnya Reza dimakan kan?" "Iya, Bu. Ini udah habis, Bu," katanya."Alhamdulillah.""Iya, Ma. Udah abis, laper lagi," katanya.Kami mencari restoran yang cocok untuk lidah semuanya. Reza ingin makanan siap saji, kami pun ikuti keinginannya. Tak apalah sesekali.Reza memesan nasi, ayam, cola, kentang goreng dan burger. Kami hanya memesan nasi, ayam dan cola saja."Kamu bener akan menghabiskannya?" tanya Mas Ari ragu."Iya, pasti habis, dong."Lalu kami hanya memperhatikan ia makan setelah kami semua selesai. Tapi ia masih menyisakan burger dan ken
Mas Ari memberikan kejutan berupa reservasi sebuah vila di kawasan puncak. Katanya karena kami belum sempat bulan madu, jadi menginap di tempat dekat saja dulu.Mas Ari masih belum boleh melakukan perjalanan jauh. Kalau Jakarta-Bogor hanya sedikit jaraknya, jadi masih boleh."Terima kasih, Mas. Kejutan yang tak terduga bagiku. Rasanya aku benar-benar bahagia. Kamu sudah kembali seperti dulu. Mas Ari yang selalu berusaha membahagiakanku." Aku bersegera turun dari ranjang karena sudah waktunya pulang, kasihan Reza sudah ditinggal lama."Sama-sama, Dek. Sebagai permohonan maaf dan sejak menikah kita belum bulan madu, kamu pasti menantikan itu. Iya kan?" tanyanya.Aku tersenyum karena memang itu yang kurasakan kemarin. Hatiku benar-benar hancur saat tau Mas Ari kecelakaan, kehilangan ingatannya. Semua kujalankan dengan ikhlas."Iya, Mas. Kita pulang sekarang, yuk! Kasihan Reza pasti nungguin kita.""Siap, Dek. Ayo kamu bersiap saja dulu."Aku mencuci muka dan salat ashar dulu sebelum pula
"Nanti aku jelaskan, sekarang kita masuk saja. Kita ketemu sama adik-adik mahasiswa," katanya."Baiklah, Mas." Aku manut saja. Kami menemui penghuni kost.Mereka terkejut dengan kedatangan kami. Mas Ari mengingat orang-orang di kostan ini. Aku rasa dugaanku benar, Mas Ari sudah mengingat semuanya.Setelah berbincang cukup lama, kami meninggalkan kostan. Mas Ari membawaku ke restoran tempat ia menyatakan akan menikahiku pertama kali.Ketika mengingat peristiwa itu, ada berbagai rasa tercampur. Kami duduk di meja yang dulu kami tempati."Mas, ini kan tempat yang kita duduki saat itu?""Benarkah?" tanya Mas Ari."Mas ajak aku ke sini, pasti Mas sudah ingat semuanya. Makanya Mas Ari membawaku ke kost-kostan dan ke tempat ini.""Silahkan pesan makanannya dulu," katanya."Jawab dulu," jawabku."Nggak mau. Pesan dulu! Apa mau pilih pesanan saat itu?" tanyanya."Apa?""Eh, iya. Kamu mau pesan makanan seperti saat itu?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan senyum mengembang di bibir ini."Kena
"Kamu belum tidur?" tanya Mas Ari."Enggak, Mas. Maafkan aku." Segera ku berbalik membelakanginya karena malu kepergok saat memperhatikan wajahnya."Hey! Kamu liat-liat wajah aku kenapa? Ganteng ya?" tanyanya. Aku pura-pura tidur dan tidak menggubrisnya. "Udah tidur?" Mas Ari bertanya lagi, aku tak menjawab. Akhirnya ia menyerah dan tak mau bertanya lagi padaku.***"Mas, mau sarapan apa?" tanyaku pada Mas Ari yang sedang duduk di meja makan."Apa saja, yang penting kamu siapkan," jawabnya."Oke." Alhamdulillah Mas Ari tidak merepotkanku. Dengan seperti itu, ia lebih memudahkanku.Reza datang dan langsung duduk di pangkuan Mas Ari. Aku takut suamiku marah, karena aku tau dia nggak suka menikah dengan orang yang sudah punya anak.Namun, setelah diperhatikan lagi, Mas Ari justru memegangi badan Reza yang sedang duduk di pangkuannya."Papa lama di rumah sakit," ucap Reza."Maafkan Papa, ya! Mungkin Papa harus sembuh dulu seperti ini, biar bisa main sama kamu," jawabnya."Iya, Pa. Papa ud
Aku bingung membawanya ke rumah sakit, itu tidak memungkinkan. Namun, Mas Ari bisa pulang kapan pun, aku tak tau."Nanti ya, tunggu papa pulang saja. Anak-anak nggak bisa jenguk ke rumah sakit," jawabku.Reza cemberut. Ia ingin mengunjungi papanya segera."Jangan cemberut ya, Sayang! Insya Allah nanti kita ketemu Papa." Reza sangat dekat dengan Mas Ari, aku jadi sedih kalau ia kangen sama Papanya seperti ini.Aku menghibur Reza dengan membawanya ke minimarket dekat sekolah. Membelikan makanan kesukaannya agar ia kembali tersenyum.***Sore ini, aku sedang bersenda gurau dengan Reza sembari menemaninya makan di depan rumah. Rere juga ada bersama kami. Tak lama ada mobil Ayah datang. Saat turun, ia membukakan pintu sebelahnya. Ketika turun, aku terkejut ternyata Mas Ari turun dari sana."Papa Ari!" Reza langsung menyambut papanya. Ia berlari untuk memeluk papanya.Mas Ari memandangi Reza dengan heran. Namun ia berusaha tersenyum ramah pada anakku. Mudah-mudahan itu pertanda baik ia aka
"Sarah, yakinlah aku pasti akan sembuh." Sebuah suara mirip suara Mas Ari terdengar di telingaku. Suara itu meyakinkanku kalau suamiku pasti akan sembuh.Dari situ, aku kembali bangkit untuk menghadapi semua kemungkinan yang terjadi. Mas Ari yang masih belum mengingatku, beberapa kali membuatku patah hati. Ia merasa yang paling menderita. Padahal justru ia yang membuatku memikirkannya.Lalu aku menitipkan pesan pada Ayah yang akan menemui Mas Ari. Kuhubungi Ayah melalui sambungan telepon."Yah, titip pesan buat Mas Ari kalau aku mencintainya," sahutku melalui sambungan telepon."Baiklah, nanti Ayah sampaikan."Aku bersiap untuk menemani Reza ke sekolahnya. Anakku masih belum bangun juga pagi ini. Segera aku membangunkannya."Eza, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucapku."Ayo! Mama yan antar ya!""Iya, Mama antar ke sekolah. Kamu seneng?""Seneng, Ma."Reza kumandikan dan kami berangkat pagi-pagi sekali karena aku takut terlambat ke sekolah."Eza, seneng nggak diantar sama Mama?""Senen