Devan masih termenung menatap tanda lahir Berlin dan mencoba mengingat-ingat kapan serta di mana ia sempat melihat tanda yang nampak familiar itu.
Dengan posisi sudah menindih tubuh Berlin di atas ranjang, Devan justru tak kunjung melanjutkan malam panasnya bersama gadis cantik yang sudah siap ia terkam.
“Kenapa dia diam saja? Apa aku memang tidak menarik baginya?” batin Berlin bingung.
"Tuan!" panggil Berlin dengan nada manja pada Devan.
"Sampai kapan Tuan akan terus menatapku?" tanya Berlin kemudian.
Lamunan Devan langsung buyar begitu ia mendengar suara Berlin. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum ia memulai kembali aksinya untuk menerkam gadis manis yang sudah terjebak dalam kungkungannya.
"Nana, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Berlin pada adik kecilnya melalui telepon."Ibu sudah membaik, Kak. Kata dokter, Ibu sudah boleh pulang besok pagi," terang Nana."Kapan Kakak akan kemari?" tanya Nana penuh harap.Berlin nampak bingung harus memberikan jawaban apa pada adik kecilnya. Tubuhnya saat ini masih pegal dan sakit karena ulah Devan semalam. Belum lagi malam nanti pria itu akan kembali padanya untuk meminta "jatah"."Kakak akan berkunjung besok. Nanti Kakak akan mengirimkan uang untuk biaya rumah sakit Ibu. Katakan pada Kak Mei untuk mengurusnya, ya? Besok Kakak akan menjenguk Ibu. Hari ini Kakak masih ada banyak kelas di kampus," ujar Berlin mengarang cerita."Baiklah, aku akan menyampaikannya pada Kak Mei.""Titip pesan juga pada Ibu, besok Ibu bisa pulang ke panti dengan tenang. Katakan pada Ibu untuk banyak-banyak istirahat. Kakak sudah mengurus semuanya," pesan Berlin."Tentu. Akan kusampaikan pada Ibu," pungkas Nana, kemudian memati
"Bos, Nona Sheena sudah menunggu di luar ruangan sejak tadi. Apa tidak sebaiknya—""Biarkan saja dia menunggu! Sudah diusir dengan cara halus, kenapa dia masih saja tidak tahu diri?" sentak Devan tak peduli.Pria itu kembali fokus pada berkas-berkas kerja yang ada di mejanya tanpa menghiraukan keberadaan wanita cantik yang masih setia menunggu sapaan darinya."Bos, untuk beasiswa Nona Berlin—" Lagi-lagi perkataan Vernon terpotong begitu saja oleh Devan."Sudah kubilang untuk mencabutnya! Biarkan saja gadis itu mencari cara sendiri untuk mendapatkan beasiswanya lagi!"Vernon tak lagi berani bercicit dihadapan sang majikan. Asisten malang itu hanya diam sembari memainkan jemarinya yang kasar."Katakan pada Sheena kalau aku ada rapat sampai malam. Suruh dia pulang!" titah Devan pada Vernon.Begitu Vernon berlalu meninggalkan ruangannya, Devan melirik ponselnya sejenak dan mengotak-atik benda itu dengan antusias.Pria itu memasang kamera pengintai di
Tring, tring!Berlin terbangun dari acara tidur siangnya karena bunyi ponsel yang berdering kencang. Selama seharian penuh, gadis itu hanya menghabiskan waktu dengan berbincang bersama banyak orang melalui telepon, tanpa bisa meninggalkan hotel tempatnya beristirahat kini.Rasa lelah dan penat yang masih hinggap di tubuhnya, membuat Berlin malas menggerakkan tubuh bahkan untuk hal-hal rutin seperti mandi dan mengisi perutnya yang keroncongan."Kenapa sejak tadi ponselku berbunyi terus?!" gerutu Berlin mulai sebal."Halo?" jawab gadis itu dengan ketus tanpa melihat nama yang tertera di layar ponselnya."Begitukah caramu menyapa orang yang memberimu uang?" sentak Devan kembali dibuat naik pitam."Sial! Siapa ini yang menelepon?" jerit Berlin dalam hati.Gadis itu memeriksa layar ponselnya sejenak untuk melihat siapa nama pemanggil yang menghubunginya."Apa yang sudah kau lakukan pada dompetmu, Berlin!" batin Berlin pen
Bab 12. Sisi lain"Kenapa aku tidak merasakan apapun?" batin Berlin masih menunggu pukulan dari Devan dengan memejamkan mata."Dia jadi memukulku atau tidak sih?" batin Berlin mulai kehilangan kesabaran.Gadis itu memberanikan diri membuka mata dan melihat Devan yang melempar tatapan tajam padanya tanpa bersuara."Kenapa kau menutup mata? Kau pikir aku akan memukulmu?" sinis Devan.Berlin menundukkan kepala dalam-dalam tanpa berani menimpali perkataan Devan.Pria itu menarik pergelangan tangan Berlin kembali masuk ke dalam, kemudian menutup pintu kamar hotel rapat-rapat."B-bolehkah aku pergi sebentar? Hanya sebentar saja—""Apa kau tidak mengerti bahasa manusia? Apa perkataanku kurang jelas?" sentak Devan.Pria itu mendorong tubuh Berlin hingga terhempas ke ranjang dan melucuti pakaian gadis itu satu persatu secara paksa.Sementara, Berlin sendiri hanya pasrah dan tak berani memberontak pada pria y
Devan mengerjapkan mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan asing tempatnya terbaring lemas.Wajah pucat dan keringat dingin mulai mengucur deras membasahi pelipis pria itu.Nafas Devan mulai tersengal dan tenggorokannya mendadak tercekat. Hatinya menjerit, namun mulutnya tak sanggup mengeluarkan suara sedikitpun. Manik mata Devan melotot ke arah remaja laki-laki yang tergeletak tak jauh darinya. Darah yang mengalir deras di lantai membuat tubuh pria itu bergetar hebat dilanda kepanikan."I-ibu ... aku takut!" gumam Devan lirih."Aku takut!" gumamnya lagi diiringi air mata yang sudah mengalir membasahi pipi."Kenapa dengan pria ini?" gumam Berlin menatap Devan yang mengingau dengan tubuh berkeringat dingin.Ternyata kepanikan dan ketakutan Devan hanyalah sebuah mimpi buruk yang menyapanya dengan kenangan kelam yang pernah dilaluinya dulu.Devan terus meracau tidak jelas dengan mata tertutup, sementa
Berlin membuka mata dan mendapati kamar megah tempatnya beristirahat sudah kosong tanpa adanya sosok Devan yang menemani.Gadis itu duduk sejenak untuk menghilangkan kantuk sembari meraba-raba ranjang tempatnya berbaring untuk mencari ponsel."Sebaiknya aku pergi ke panti sekarang," gumam Berlin kemudian bersiap untuk memenuhi permintaan dari ibu asuhnya, Bu Wanda untuk berkunjung.Berlin hanya mengirim pesan singkat pada Devan, kemudian bergegas keluar dari hotel meski dengan langkah tertatih.Dengan bermodalkan uang saku yang ditinggalkan Devan, Berlin duduk nyaman di dalam taksi tanpa harus berdesakan di dalam kendaraan umum yang sering ditumpanginya.Jalanan yang lenggang membuat Berlin dapat sampai dengan cepat di panti asuhan kecil yang sempat menjadi rumahnya selama belasan tahun.Berlin tertegun sejenak begitu ia melihat suasana ramai di panti meskipun hari masih pagi."Ada apa ini?" gumam Berlin penasaran denga
Berlin duduk tanah pemakaman tempat ibu asuhnya beristirahat dengan tenang. Rintik hujan yang turun seakan menambah kencangnya badai yang tengah melanda hati sanubarinya.Berlin tak menghiraukan lagi pakaian hitamnya yang sudah basah dan jari-jari tangannya yang mulai mengeriput karena kedinginan."Aku masih berhutang penjelasan pada Ibu. Aku belum sempat mengatakan apapun mengenai uang yang kudapatkan untuk menyelamatkan bangunan panti. Masih ada banyak hal yang ingin kukatakan pada Ibu. Kenapa Ibu justru pergi tanpa berpamitan?"Derai hujan yang makin deras mengguyur, membuat tangisan Berlin ikut mengucur bertambah deras membanjiri wajah cantiknya. Rasa sesal dan kesal mulai bersarang di relung hati gadis muda itu tanpa tahu bagaimana ia harus melampiaskannya.Sebanyak apapun air mata yang ia keluarkan, takkan bisa mengembalikan lagi sang ibu asuh yang telah pergi.Seberapa besarpun rasa sesal yang ia rasakan, takkan bisa membuat waktu
"Berliana!" Arkan menarik tangan Berlin dan menghentikan langkah gadis itu sebelum Berlin benar-benar pergi.Gadis itu sudah tak peduli lagi dengan pendidikannya yang akan hancur berantakan. Karena dirinya yang menjadi sugar baby, gadis itu terpaksa harus kehilangan beasiswa di universitas impiannya dan karena melakukan tugas sugar baby pula, Berlin kehilangan kesempatan bertemu dengan Bu Wanda untuk yang terakhir kalinya.Gadis berusia dua puluh satu tahun itu benar-benar menyesal sudah menghabiskan masa mudanya menjadi mainan ranjang para pria. Meskipun Berlin berhasil mendapatkan banyak uang dan dapat membantu mengurus panti asuhan, namun nyatanya uang yang tidak berkah itu membuat Berlin kehilangan segalanya."Pak Arkan pasti tahu kenapa beasiswa saya dicabut, kan?" tanya Berlin dengan tatapan mata nanar."Karena rumor itu, kan? Jika kau mau berhenti melakukan hal itu, aku akan membantumu kembali belajar di kampus. Kau mahasiswi yang