Mayan ya Mae :))
“Kau masih disini?” Gina terkejut mendapati suaminya masih ada di depan kamar Mae dirawat.“Aku ingin pulang bersamamu. Aku sudah menghubungi Ethel tadi.” Parker meraih tangan istrinya, dan mereka bergandengan keluar dari area rumah sakit.“Ethel kemungkinan tidak peduli kita dimana.” Gina tersenyum. Anaknya yang berusia remaja itu sedang ada dalam periode tidak acuh. Ia saat ini lebih peduli pada ponsel dari pada makhluk hidup.“Bagaimana keadaannya?” tanya Parker, menunjuk ke belakang, bertanya tentang Mae.“Tidur setelah lelah menangis. Poppy akan menemaninya. Besok pagi aku akan menggantikannya—sekaligus mengantarnya pulang.” Gina menghela napas panjang sambil memijat keningnya. Ikut pusing karena menangis. Air mata Mae mudah sekali mengundang iba.“Karena itu aku menunggumu. Kau pasti akan menangis.” Parker tersenyum. Ia tahu istrinya mudah iba.“Yang ini—aku rasa sangat ekstra. Kata Poppy dia yatim piatu, dan adiknya sakit. Tidak ada yang akan mengurusnya.” Gina sudah berhenti m
“Daddy, apa aku bisa melihat Ash hari ini?” Dean yang baru saja menghirup kopinya, harus menahan keluhan dalam hati. Amy menagih janjinya seketika begitu membuka mata. Bahkan turun ke ruang makan masih memakai piyama.Dean melirik Rowena yang juga sedang menikmati teh. Tidak tampak mendengar pertanyaan Amy, fokus pada ponselnya. “Nanti, Amy. Aku belum mendapat kabar lagi,” kata Dean sambil mengulurkan tangan, dan mengangkat Amy agar duduk di pangkuannya. “Kenapa belum? Aku mau sekarang!” Sepertinya pengertian yang tadi malam ada karena kantuk, karena sekarang Amy sudah siap merengek. “Tidak bisa. Kau kesana sekarang pun Ash tidak akan tahu. Ia belum sadar.” Dean sudah membaca laporan yang masuk ke ponselnya tadi pagi. Ash lebih stabil, tapi belum sadarkan diri.“Suruh bangun!” Dean ingin tertawa, tapi salah rasanya. “Seandainya semudah itu, Amy. Daddy akan meminta Ash bangun sejak kemarin.” “Aku ingin melihatnya sekarang pokoknya!”“Amy, turuti ayahmu. Nanti.” Pendek, jelas, t
Ash membuka mata kurang lebih satu jam yang lalu—atau mungkin berjam-jam. Ash tidak bisa mengira-ngira. Kesadarannya kembali perlahan, dan Ash memilih diam selama prosesnya. Ia bahkan memejamkan mata saat ada perawat yang datang memeriksa keadaannya. Tidak ingin ada keributan saat dokter datang dan lainnya. Ash memilih fokus fokus mencerna keadaannya sendiri tanpa bergerak sama sekali. Selain karena rasa sakit di lehernya, Ash juga tengah menerjemahkan dimana, kapan, apa yang terjadi pada dirinya. Ash bersyukur ingatannya tidak ada yang cacat. Ia ingat menyelamatkan sandera dan juga Ian. Peluru itu pasti untuk sandera yang sedang bersama Ian. Entah untuk siapa, tapi Ash tidak rela ada yang terluka dari keduanya. Ingatan itu juga mengherankan Ash. Seharusnya saat ini Ian bersamanya, paling tidak berlutut menyembah di kakinya sebagai ucapan terima kasih, bukan malah meninggalkannya sendiri. Ash perlahan mengangkat tangannya saat rasa lemasnya jauh berkurang. Membuka dan menutup jari
“Kalian semua libur besok dan buatlah janji dengan dokter mata!” Dean mendesis, menatap barisan RaSP yang menunduk. Tidak ada yang berani menatap matanya.“Kalian merasa hebat? Setelah semua itu kalian masih merasa perlu ada disini untuk bekerja?!” Seandainya saja tidak ada di rumah sakit—di tempat umum, Dean sudah membentak sejak tadi. Masalahnya bukan hanya para bodyguard itu yang mendengar, tapi ada juga dokter dan perawat di sana. Sama, dalam keadaan menunduk bersalah. Mereka juga seharusnya tahu di mana Ash.“Daddy, mana Ash?” Amy menggoyangkan tangan Dean untuk bertanya. Amy juga menjadi alasan Dean untuk tidak amat marah.“Sudah tidak ada di sini.” Dean mengatakannya sambil menatap barisan bersalah itu—untuk menambah beban rasa bersalah karena telah membuat Amy kecewa. Membuat anak berwajah manis seperti malaikat kecewa, seharusnya membuat hati mereka lebih terguncang.“Kami akan segera melakukan pencarian, Sir.” Komandan dari penjaga itu maju, untuk memperbaiki kesalahannya ta
“Mae, Aku mohon pelan sedikit.” Poppy mengeluh karena kecepatan berjalan Mae meningkat tajam. Dari yang sebelumnya Poppy harus sedikit menyeret tubuhnya, kini Mae hampir berlari semenjak mereka turun dari mobil. Tapi Mae tidak mendengar permohonan apapun saat ini. Ia hanya fokus pada tanda panah yang bertuliskan nama bangsal yang tadi tertulis pada pesan Ash. “Kau dulu kalau begitu.” Poppy menyerah dan akhirnya membiarkan Mae meninggalkannya. Staminanya yang hanya terbiasa merajut tidak sebagus itu. Ia tidak mungkin mengejar saat Mae benar-benar berlari saat mereka sudah sampai pada deretan bangsal tempat Ash dirawat. Poppy tidak akan berusaha menyusul. “ASH!” Mae mendorong pintu sampai terbuka, dan berlari masuk. Ian yang berdiri di samping ranjang, dan melonjak terkejut, tidak ubahnya debu bagi Mae. “Jangan dulu… Ash tid—Ya, sudah. Silakan.” Ian mengangguk saja dan menyingkir saat Mae menghambur memeluk Ash—yang memang sedang tertidur. Cukup nyenyak sebenarnya, karena pengaruh
Pintu kamar mandi itu tertutup bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka. Ash langsung kembali berbaring sambil menahan keluhan dengan menggigit lidah. Lukanya terasa berdenyut menyakitkan. Tidak seharusnya ia menerima tingkat stress semacam itu saat lukanya masih cukup segar. “ASH!” Amy berteriak dan berlari masuk. Ia langsung melompat naik ke atas ranjang dan memeluk Ash juga. Lehernya kembali mendapat tekanan, seperti saat Mae datang tadi. Dan seperti Mae tadi, Ash hanya mengelus kepala Amy yang berkepang itu. Tidak mengeluhkan rasa sakitnya, karena pelukan itu adalah kasih sayang. “Katanya kau terluka, Ash. Dimana… Oh, itu.” Ash kini yakin Amy dan Mae kemungkinan berbagi sel otak yang sama, karena mirip sekali reaksinya. Begitu melihat perban di leher Ash, ia menjauh dengan wajah menyesal. “Turun, Amy.” Dean yang menyusul masuk, tentu menegur Amy. Ia lalu menatap Ash, dan dibalas dengan berani. Ash tidak merasa salah. Ayahnya tahu ia tidak mau memakai fasilitas dari Rowen
“Bisakah kita tidak membahas masa lalu? Aku ingin memperbaiki—” “Tidak bisa! Tidak semua hal bisa kau perbaiki! Ada hal yang rusak parah sampai tidak bisa kau perbaiki!” Suara Ash semakin habis. Bisikannya sudah nyaris tidak bersuara, tapi Ash akan terus menjawab kalau ayahnya masih terus merasa tidak bersalah. “Hal apa—” “Sepuluh tahun lalu! Aku meminta bantuan padamu dengan sungguh-sungguh—Aku memohon—tapi apa balasannya?! Kau malah—” Ash tidak mampu lagi. Ia memejamkan mata dan perlahan membaringkan tubuh. Lehernya terasa seperti kering dan terbakar sekarang. “Kau itu bicara apa?” Dean tampak mengernyit berpikir. “Sepuluh tahun lalu? Apa anak yang bernama Mary itu? Kenapa—” “BERANI KAU MENYEBUT NAMANYA SETELAH APA YANG KAU LAKUKAN?!” Ash berteriak meski mengerahkan tenaga dari otot yang seharusnya tidak boleh bergerak. Ayahnya tidak boleh menyebut nama Mary, karena Mae bisa jadi mendengar. Ash tidak akan mampu menjelaskan kalau Mae sampai curiga. Ash terbatuk hebat setelah i
Mae hampir saja berteriak saat merasakan pintu membentur keningnya. Ia ada persis di belakang pintu. Tentu saja dengan reflek panik, Mae mendorong balik saat merasakan pintu itu terbuka. Setelah itu, ia dengan gugup menguncinya. Karena memang tergesa, Mae tidak menguncinya tadi. Ia tadi samar mendengar percakapan lalu sunyi. Mae sedikit tidak waspada setelah itu—merasa keadaan tenang, tapi rupanya tenang sebelum badai. Mae kini menatap dengan horor bagaimana handle bulat pintu kamar mandi itu berputar kasar—dipaksa untuk terbuka. “Kau menyembunyikan apa?” Mae mendengar pertanyaan tegas, dan mendengar jawaban dari suara Ash yang menderita. “Tidak ada.” “Kau pikir aku bodoh? Kau berulang kali melirik ke sini!” Mae mendesah. Ia bisa membayangkan usaha Ash untuk tidak panik, tapi gagal. “Lepaskan! Tidak—” Mae mendengar suara berdebum yang lebih keras—dan tidak tahan lagi. Ia meraih selot dan memutarnya sampai terbuka. Mae tidak mau membuat luka Ash semakin buruk karena terus menye