Share

Bab 2. MENEPI

Bimo terpaksa menghentikan laju mobilnya. Dan menepi di bahu jalan. Bimo lalu mencoba menghentikan aksi Luna yang terlihat semakin membabi buta ingin menyakiti dirinya sendiri itu.

"Mbak, coba tenang! Mbak, nggak boleh menyakiti diri sendiri, seburuk apapun masalah yang Mbak hadapi. Mbak, percayalah ada Tuhan yang selalu menjaga kita. Termasuk menjaga hati kita." Bimo membiarkan tubuhnya terkena pukulan dari Luna, saat ia berusaha menghentikan Luna yang kian mengamuk.

"Bimo, di mana sebenarnya Tuhan kita? Kenapa dia tidak membantuku saat ini? Apa Dia tidak tahu kalau sebentar lagi aku akan menikah?" Luna semakin berteriak-teriak kalap.

"Tuhan kita tak terlihat, Mbak. Justru, saat ini Dia sedang membantu Mbak, menunjukkan siapa sebenarnya Marcel,

 calon suami Mbak yang sebenarnya." Bimo terpaksa mengunci tubuh Luna dengan mendekapnya erat-erat di dadanya yang bidang. Sesaat Luna merasakan ketenangan, meski tangisannya belum juga berhenti.

Tangan kekar Bimo membelai rambut panjang milik Luna. Sambil berbisik di telinga Luna, "hanya sabar yang akan membuat Mbak menjadi lebih baik." 

Tangisan Luna yang tadi terdengar masih kencang, kini perlahan menghilang. Bimo telah mampu membuatnya tenang. Dekapan Bimo ia rasa begitu tulus, bahkan Luna tak pernah merasakan dekapan senyaman ini sebelumnya.

"Mbak, jadi kita ke Bali?" Bimo mulai melepas dekapannya dan memandang wajah cantik Luna yang terlihat masih diselimuti kesedihan.

"Jadi, Bimo. Aku ingin menepi sejenak dari kehidupanku yang sebenarnya."

"Tapi apa Mbak tidak takut, kalau Tuan dan Nyonya Bramasta akan mencari Mbak?" Bimo mengkhawatirkan kedua orang tua Luna akan mencari gadis ini, apalagi Luna sedang berencana ingin menikah dengan Marcel.

"Biarkan saja, Bimo. Aku akan beritahu soal ini, dan soal pembatalan pernikahan kami nanti lewat ponsel. Hari ini aku benar-benar ingin sendirian saja, Bimo!" Mata indah milik gadis berusia 24 tahun ini mulai membesar, menatap wajah Bimo yang berada dekat sekali dengan wajahnya.

"Jadi, apa nanti sewaktu kita sampai di Bali saya juga harus menjauh dengan, Mbak?" Suara Bimo terdengar serius. Rahang-rahangnya yang kokoh menciptakan kesan dingin pada wajah Bimo saat itu.

"Tidak, Bimo. Hanya kamu yang boleh berada di dekatku. Selama ini kamu yang paling mengerti aku." Luna meraih tangan Bimo yang tadi sempat menggenggam jemarinya. Ia ingin menyakinkan bahwa ia benar-benar membutuhkan Bimo, lelaki yang usianya lebih muda tiga tahun dari usianya itu.

Bimo hanya mengangguk, dan sempat mendekap kembali tubuh Luna. Sebelum akhirnya ia melajukan kembali mobil mewah yang mereka tumpangi itu, menuju Pulau Dewata, berharap bisa menjadi tempat untuk mengubur kedukaan tuan cantiknya itu.

Hati Luna sedikit tenang. Luna berkali-kali mencuri pandang pada Bimo yang terlihat fokus memandangi jalanan.

Sebuah panggilan dari ponselnya, membuatnya harus mengalihkan pandangannya dari Bimo.

"Huh, mau apa lagi kau?" Dengan kasar ia campakkan kembali ponsel itu ke dalam tasnya.

***

Luna masih tampak bermalas-malasan di spring bed kamar hotel itu. Sebenarnya ia sudah bangun dari tadi, tapi ia masih enggan untuk melakukan sesuatu.

Kakinya yang jenjang ia tekuk, seperti orang yang sedang menahan dingin.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Kaki jenjangnya dengan malas lantas ia turunkan, kemudian ia pun bergegas untuk membuka pintu kamar hotel itu.

"Selamat pagi, Mbak!" Sosok Bimo muncul dari balik pintu. Dengan suara renyahnya ia sapa Luna. 

Bimo seperti biasa tampak rapi. Meski hanya seorang sopir pribadi, tapi pemuda itu terlihat sangat modis tampilannya. Bimo masih tampak memakai kemeja kotak-kotak Biru Dongker dan jeans biru mudanya. Pakaian yang semalam ia kenakan. 

"Selamat pagi juga, Bimo! Udah rapi aja kamu." 

"Ya, Mbak. Tapi tadi malam Mbak pesan, agar saya membangunkan Mbak, dan menemani Mbak untuk membeli baju." Bimo masih saja berdiri di depan pintu kamar hotel itu. 

"Oh, ya, aku lupa. Ayolah, masuk dulu!" Tubuh tinggi semampai Luna berbalik dan meninggalkan Bimo.

Bimo mengikutinya dari belakang. 

Tak sampai seperempat jam, Luna terlihat keluar dari kamar mandi hotel. Wajahnya terlihat lebih segar dari kemarin. 

Bimo terlihat menunduk, tak berani menatap ke arah Luna yang saat itu hanya mengenakan handuk. Bahunya yang mulus terlihat sangat jelas sekali. Rambutnya yang hitam panjang bergelombang menyisakan tetesan air, membuat sosok Luna terlihat semakin mempesona.

Bimo sempat mencuri pandang sesaat, dan tatapan mata keduanya sempat beradu. 

Tiba-tiba ada hasrat mereka yang membisikkan untuk melakukan sesuatu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status