Pov AliaAku mengatur napas. Pertanyaan wanita itu tak ubahnya sindiran karena aku menikah dengan kakak angkatku sendiri. Mengepalkan tangan di samping, kutahan emosi yang tiba-tiba memenuhi rongga dada. "Seperti tak ada orang lain saja. Memang stok lelaki di dunia ini sudah habis?" sindirnya. Dadaku kian bergemuruh. Rasanya mulut wanita itu harus diberi pelajaran agar tahu mana yang baik dan tidak. "Sayang, kamu di sini?" Aku bernapas lega Bang Rizal datang tepat waktu. Setidaknya aku bisa menghindari wanita itu. Tak kenal, tapi kelakuannya membuat emosiku naik. Apa seperti ini gambaran netizen? "Kami permisi, Mbak tukang ghibah!" ucapku lalu menggandeng tangan Bang Rizal pergi dari hadapannya. Sempat kulihat wajah wanita itu memerah menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Baru juga dikatain tukang ghibah sudah kepanasan saja. "Kenapa senyum?" tanyaku saat melihat Bang Rizal tersenyum seraya menggelengkan kepala. "Dasar anak kecil."Anak kecil? Ini istri kamu, lho, bukan a
Pov Alia“Kenapa kamu bersama Marcel,Al?” tanya Bang Rizal ketika aku sampai di hadapannya. Perlahan kuhembuskan napas yang terasa sesak. Pertanyaan Bang Rizal adalah sebuah kecurigaan yang ia tujukan padaku.“Mereka tadi bermesraan di dalam toilet,Zal. Lihat aja baju mereka sampai basah seperti itu,” ucap Kartika lalu tersenyum sinis ke arahku.Aku diam,biarlah Bang Rizal percaya kepada siapa,aku atau dia? Dari sini dapat kulihat seberapa dekat ia dengan wanita tak punya urat malu itu. Kalau dia mengenalku,pasti ia percaya aku tak akan melakukan hal hina seperti yang Kartika tuduhkan.“Apa benar seperti itu,Al?” Menggelengkan kepalaku pelan, menatap Bang Rizal penuh kekecewaan kemudian kulangkahkan kaki meninggalkan sepasang sahabat itu. Pertanyaan suamiku menunjukkan jika ia tak mempercayai aku. Lalu untuk apa kujelaskan?“Alia,tunggu! Abang belum selesai bicara!” Aku terus melangkah,tak kuhiraukan suara Bang Rizal yang terus memanggil namaku. Rasa kesal kian memenuhi rongga dada
Pov Alia"Apa maksud kamu, Bisma? Apa hubungan kamu dan Syasya?""Ck! Jangan pura-pura tidak tahu, Alia. Bukankah mantan adik iparmu sudah cerita semuanya?" Bisma melangkah mendekat, refleks aku mundur. "Aku tidak mengerti, kita baru saja kenal. Apa lagi Syasya. Jangan mengada-ada kamu, Bisma!"Aku kembali mundur satu langkah. Sial, kaki ini menyentuh dinding. Toilet berada di ujung ruangan. Sekeliling tempat ini sepi, Allah... Bantu aku lepas dari lelaki gila ini. "Katakan di mana wanita itu? Jangan coba-coba menyembunyikannya dariku!" Bisma mencengkeram lengan kiri hingga aku meringis kesakitan. "Aw... Sakit, aku akan katakan pada Bang Rizal. Kupastikan dia membatalkan kontrak kerja sama dengan kamu. Lelaki tidak tahu malu!" "Kamu!" Tangan lelaki itu melayang ke udara. "Tolong! Tolong!" Lebih baik berteriak meminta pertolongan, aku tidak akan sanggup menghadapi lelaki ini. Entah dari mana Bang Rizal menemukan teman seperti Bisma dan Kartika. Teman yang menusuk dari belakang.
Pov Alia"Iya, kamu pasti hamil, Al? Kapan terakhir datang bulan?" tanya Marcel sudah seperti dokter. Aku terdiam memikirkan pertanyaannya. Kapan aku terakhir haid? Ah, aku saja lupa, bagaimana bisa menjawab? Semenjak selalu kecewa ketika telat datang bulan, semenjak itu pula aku tak pernah mengingat kapan terakhir datang bulan. Aku takut terlalu berharap lalu akhirnya kecewa. Lelah, putus asa dan mulai menyerah, itu yang sempat kurasa. Hingga akhirnya aku memilih pasrah, mengikuti alur yang Tuhan tuliskan. "Aku lupa, aku bahkan tak pernah mau mengingat itu. Takut kecewa."Aku segera merogoh ponsel yang ada di dalam tas. Sepertinya aku harus kembali ke hotel. Takut Bisma kembali berulah dan merepotkan aku lagi. Dengan cepat jemariku menari di atas layar, memesan sebuah taksi melalui aplikasi online. "Aku antar sampai halaman hotel, Al. Wajah kamu pucat. Aku takut kamu muntah atau pingsan di jalan." Marcel menantapku lekat. "Aku sudah pesan taksi online.""Yakin?""Yakinlah, lebih
“Memangnya ada tampang penipu di wajah aku,Bang?” ucapku kesal.Sebagai mantan kakak dan suami harusnya dia tahu jika ucapanku itu benar. Mana mungkin aku berbohong bahkan memfitnah orang. Entah apa yang ada di kepala Bang Rizal hingga ia begitu percaya dengan parasit berkedok sahabat.“Bukan begitu,Alia. Setahuku Bisma tidak dekat dengan wanita mana pun,apa lagi Syasya. Kalau pun dekat dengan Syasya harusnya aku tahu,dong.”Aku menghembuskan napas kasar, ternyata susah meyakinkan orang tanpa bukti meski itu suamiku sendiri. Sepertinya aku harus mencari bukti agar memperkuat ucapanku. Ah, masalah Mas Alvan selesai tapi kini tumbuh masalah baru yang jauh lebih rumit. Dulu Bang Rizal membantuku tapi kali ini aku harus berusaha sendiri.“Abang yakin Bisma atau pun Kartika bisa dipercaya? Keluarga saja bisa menusuk dari belakang,apa lagi orang lain yang tidak memiliki ikatan apa pun. Harusnya masalahku dengan Mas Alvan bisa dijadikan pelajaran jika tak selamanya orang bisa dipercaya terma
"Jangan bercanda, Ma.""Mama yakin kamu hamil, Al. Sudah telat haidnya, kan?"Aku diam mencoba mengingat kapan terakhir aku datang bulan. Namun tetap saja aku sama sekali tidak ingat. "Alia lupa, Ma."Mama dan Bang Rizal menghembuskan napas kesal. Mau bagaimana lagi kalau aku benar-benar lupa. "Alia ke kamar dulu, Ma,capek."Aku melangkah meninggalkan Mama dan Bang Rizal yang menatapku. Aku tak menghiraukan, badanku terasa lelah. Ingin segera istirahat. Sebenarnya aku mengharap apa yang dikatakan Mama itu benar. Namun aku takut terlalu berharap lalu akhirnya kecewa. Bertahun-tahun aku menunggu hingga akhirnya memilih pasrah. Alasan ini pula yang membuat Mas Alvan meninggalkan aku. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Merogoh ponsel yang ada di saku gamisku. Iseng kulihat aplikasi dengan logo F berwarna biru. Seketika aku beristigfar kala membaca berita yang muncul di berandaku. Dadaku bergemuruh, rasa marah hampir meledak saat membaca setiap kata yang tertulis di sana. Bagaiman
Perlahan muncul satu garis merah, aku memejamkan mata seraya menahan napas menanti garis merah selanjutnya. Dengan jantung berdebar kubuka mata,bulir bening nan hangat tiba-tiba jatuh membasahi pipi. Ya Allah....Ternyata rasa sakitnya masih sama. Harapan untuk merasakan adanya kehidupan di dalam kandungan sirna sudah. Aku memang sering merasakan hal ini, tapi entah kenapa kali ini rasanya jauh lebih sakit dan kecewa. "Sayang, bagaimana hasilnya?" Sebuah ketukan pintu menyadarkan aku dari tangisan dan kekecewaan ini. Perlahan aku atur napas seraya menenangkan hati. Tidak lupa kuhapus jejak air mata yang masih tertinggal di pipi. Mama dan Bang Rizal tak perlu tahu betapa hancur hati dan perasaanku. Cukup kutelan sendiri kekecewaan. Kreeek.... Sedikit ragu kutarik pintu hingga mereka bisa melihat dengan jelas keberadaanku. "Bagaimana hasilnya, Al? Positif, kan?" tanya Mama begitu antusias. Sungguh aku tidak sanggup melihat mendung dan hujan di wajahnya. "Sayang, kenapa diam?"T
Pov Rizal"Istri saya kenapa, Dok?" tanyaku lagi. "Selamat, istri Pak Rizal tengah mengandung."Aku terdiam, lalu menatap Alia yang kebingungan sama sepertiku. Bukankah tadi pagi kami melakukan tes dan hasilnya negatif. Namun kenapa dokter bilang Alia hamil? Tuhan... Ini mimpi atau halusinasi saja? "Kenapa Pak Rizal dan Bu Alia bengong? Kalian tidak senang?" tanya Dokter itu heran. "Dokter tidak sedang bercanda, kan?" tanya Alia. "Seorang dokter tidak boleh bercanda menyangkut kesehatan dan kondisi pasiennya.""Tapi tadi pagi kami melakukan cek urine tapi hasilnya negatif. Hanya satu garis berwarna merah yang nampak."Dokter muda itu tersenyum lalu menatap kaki bergantian. Perkataanku ini serius lho, kenapa wanita justru tersenyum? Hem. "Ada banyak faktor yang menyebabkan test pack tidak akurat, salah satunya alat uji kehamilan itu sudah kadaluwarsa. Bu Alia sudah melihat tanggal expired pada test pack?"Alia menggeleng. Bagaimana dia bisa tahu jika mengecek kehamilan saja masi