Rumah makan Pakde Harjo, adalah sebuah rumah makan terbesar di Kotaraja Shaba kala itu. Di waktu yang masih sepenggalah matahari di pagi hari itu. Rumah makan Pakde Harjo telah ramai, dikunjungi para pelanggan yang ingin mengusir rasa lapar di perutnya. Beberapa pelayan rumah makan nampak sibuk hilir mudik, menerima dan mengantar pesanan makanan para pengunjung. Dan di sudut ruangan rumah makan itu. Nampak seorang gadis jelita yang bermata dingin, duduk melamun menunggu makanan yang dipesannya datang. Ya, dialah Tantri, yang memilih tetap berada di Kotaraja Shaba. Usai kegagalannya bersama sang Guru mendapatkan Batu Mustika Hijau semalam. Sementara gurunya Ki Ranuwulung sendiri dia telah berangkat kembali ke lereng Marapat pagi-pagi tadi. 'Ahh..! Elang, nyaman sekali berada dalam dekapanmu semalam', bisik lirih bathin Tantri. Pengalamannya berada dalam dekapan Elang semalam. Saat dia diselamatkan dari belitan Naga Hijau, selalu terbayang-bayang di benaknya. Bahkan ucapan dan
"Tantri..!" seru Ki Ranuwulung kalap dan putus asa. Hantamannya tadi bahkan tak memberikan pengaruh yang berarti, bagi sang Naga Hijau. Bahkan malah makin menambah kemurkaan sang Naga saja. Disaat semua orang hanya bisa menatap tanpa daya. Sang Naga Hijau nampak hendak semburkan lagi apinya. Berniat untuk menghanguskan dua wanita yang ketakutan, panik, dan pasrah dalam belitannya itu. "Kyaarrghsk..!!" terdengar pekikkan dahsyat dari sosok Ki Naga Merah, yang melesat cepat ke arah sang Naga Hijau. Di atas punggung Ki Naga Merah nampak Elang dan Prasti, yang duduk tenang di sana. Mendengar suara pekikkan berwibawa yang tak asing baginya, seketika Naga Hijau palingkan kepalanya ke arah sosok Ki Naga Merah, yang datang menghampirinya. Dan keanehan pun terjadi..! Naga Hijau seketika tundukkan kepalanya, di hadapan Ki Naga Merah. Belitan ekornya terhadap Nyi Kedasih dan Tantri pun melemah dan terlepas. Slaph..! Taph..! Taph..! Elang segera melesat cepat merangkul dua tubuh wanita it
Sementara di sekitar sosok Naga Hijau, yang masih meliuk cepat berputar itu. Nampak semua orang berlomba-lomba, untuk mendekati area kepala sang Naga Hijau itu. Tentu saja mereka hendak mengambil pucuk mahkota sang Naga, yang berkilau hijau terang menyilaukan mata itu. Namun tentu saja hal itu tak mudah. Karena target mereka terus bergerak, dan tak henti berputar. Taaghk..! "Ashh..!" hampir saja tangan Ki Sardujagat tergigit, oleh taring Naga yang panjang dan mengerikkan itu. Saat dia dengan cepat hendak meraih pucuk mahkota Naga itu. Namun dengan cepat pula sang Naga Hijau gelengkan kepalanya, dan hendak mencaplok tangan Ki Sardujagat yang terulur itu. Entah apa jadinya, bila tangannya itu sampai tergigit, oleh gigi-gigi besar dan taring runcing sang Naga Hijau, yang pastinya juga sangat beracun itu. "Ini gila.. ! Bedebah..! Baik, akan kuhancurkan saja tubuhnya dulu..!" seru Ki Sardujagat, seraya melayang mundur siapkan pukulan 'Tapak Jagad Bergema' miliknya. Sebagian powerny
"Huhh. ! Dasar wanita jalang..! Datang-datang langsung pamer kemampuan..! Cihh..!" seru Nyi Sekarwati marah dan cemburu. Nyi Sekarwati sungguh merasa tersaingi, dengan kedatangan wanita cantik lain, yang nampak lebih jelita dibanding dirinya. Ditambah lagi dia sempat melihat mata suaminya, yang dengan jelalatan menatap Nyi Kedasih tadi. "Siapa aku, tak ada urusannya denganmu..! Ini adalah tongkat warisan Guruku!" Nyi Kedasih berseru tak senang, atas pertanyaan Ki Sardujagat. Karena sepuh itu bertanya, dengan mata jelalatan menelusuri lekuk tubuhnya tadi. "Dan kau wanita pesolek..! Berkacalah sebelum berkata, atau kuhanguskan mulutmu itu..!" seru Nyi Kedasih marah bukan main, seraya menunjuk wajah Nyi Sekarwati dengan tongkat hitamnya. Seketika menderu serangkum gelombang hawa menyengat, mengarah ke Nyi Sekarwati, yang berada disebelah Ki Sardujagat.Werrshh..! "Huph..!" Blaarsh..! Reflek Ki Sardujagad beraeru, sambil kembangkan tapak tangannya. Menghadang angin pukulan Nyi Keda
Surapati bertemu dengan pendekar itu di kedai minuman, di wilayah Galuga. Tempat Elang terakhir kalinya berada, sepengetahuan Surapati. Dengan keluwesan dan keroyalannya mentraktir sang pendekar itu. Akhirnya Surapati mendapat kabar, bahwa Elang saat ini sedang menuju ke wilayah Shaba. Segera saja Surapati banting arah ke wilayah Shaba saat itu juga. 'Hmm. Elang! Ke langit manapun kau pergi, takkan kubiarkan kau lolos dari pengawasanku..!', bathin Surapati geram. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Maka tepat pada saat malam menjelang, Surapati telah memasuki kotaraja Shaba. Namun Surapati sama sekali tak tahu, soal kabar akan munculnya Naga Hijau di Telaga Wangipandan. Karenanya dia langsung memutuskan bermalam di rumah 'kembang', yang berada di sudut kotaraja Shaba. Rumah 'Kembang' adalah istilah rumah pelacuran di jaman dulu. Sedangkan adalagi istilah 'Rumah Dadu' dan sabung ayam, untuk istilah tempat perjudian di jaman itu. Sebetulnya pihak kerajaan pada masa itu,
Ya, siapa wanita yang tak 'tergiur', untuk tetap tampil awet muda..? Dan Nyi Sekarwati inilah salah satunya. Walau syarat untuk itu, dia harus memberikan tumbal 3 orang pemuda perjaka setiap bulannya. Sungguh suatu syarat yang sesat dan kejam.! "Hahahaa..! Cantiknya istriku, setelah mendapatkan tumbalnya," terdengar tawa terbahak senang, dari seorang lelaki diluar rumah kosong itu. "Masuk saja Kangmas Sardujagat suamiku. Baiknya kita tinggal di rumah ini hingga esok malam," sahut Nyi Sekarwati, yang mengenali suara suami sekaligus gurunya itu. "Kau benar Sekar. Dari sini ke Telaga Wangipandan, hanya sepenanakkan nasi saja jauhnya. Kita bisa berangkat besok sore menjelang malam dari sini," ujar Ki Sardujagat, yang tahu-tahu telah berada di dalam rumah itu. Di angkatnya sosok mayat pemuda, yang kini nampak kurus kering itu. Lalu mayat itu dilemparkannya keluar, melalui pintu rumah yang terbuka itu. Weesh..! Brugh! Mayat pemuda itu pun melayang dan jatuh terhempas, di atas semak-
"Beberapa kali Eyang bentrok dengan Sardujagat. Dia selalu datang ke kediaman mendiang Guru Bhaskoro. Dia mengatasnamakan gurunya, untuk meminta Batu Mustika Hijau itu dari tangan mendiang Eyang Bhaskoro. Namun beruntung Eyang Guru selalu bisa mengatasinya. Dan sayangnya, hingga mendiang Eyang Bhaskoro menghembuskan nafas terakhirnya. Eyang Guru tak menunjukkan keberadaan Batu Mustika Hijau itu pada Eyang. Mungkin Batu Mustika Hijau itu sudah hilang, atau diberikan pada orang lain. Entahlah," ujar Eyang Wilapasara. "Apakah mungkin ada suatu rahasia yang mereka ketahui. Tentang Batu Mustika Hijau itu, yang tak kita ketahui Eyang? Melihat sepertinya keras sekali usaha mereka, untuk mendapatkan batu mustika itu," ujar Elang akhirnya, mencoba mengambil kesimpulan. "Hmm. Bisa jadi Elang," ucap eyang Guruchakra menimpali. "Wah, ada Eyang Guruchakra," ucap Prasti, yang baru saja keluar dari dapur. Dia segera mencium tangan Eyang Guruchakra. "Eyang Guru, Eyang Guruchakra, Mas Yoga. Ki
"Ahh..! D-darimana Eyang tahu Elang berasal..?!" tanya Elang agak gugup. Karena Elang merasa tak melihat bayangan atau lintasan apapun, tentang Eyang Wilapasara. Bahkan nampaknya sepuh itu tak pernah berhubungan, dengan pihak di luar lembah Marabunta itu. "Hmm. Elang, kau tak perlu kaget mengenai itu. Eyang adalah sahabat Maharesi Salopa. Soal kabar nama dan waktu kedatanganmu ke alam ini. Semuanya Eyang ketahui dari Maharesi Salopa langsung," ujar eyang Wilapasara tenang. "Baiklah, silahkan Eyang Guru dan Mas Yoga berbincang dulu ya. Prasti akan memasak hasil buruan Eyang dulu," ucap Prasti, seraya beranjak menuju dapur. Dia memang ingin memasak suatu yang istimewa, buat Elang dan Eyang Gurunya itu. "Ahh, rupanya Eyang bersahabat dekat dengan Maharesi Salopa. Pantas saja Eyang demikian yakin dengan hal itu," ucap Elang. Hampir tak kuat rasanya Elang balas menatap pandangan Eyang Wilapasara, yang bagai menembus ke relung hatinya. Elang yakin, seperti halnya Eyang Guruchakra p
Usai bersantap di rumah makan itu. Elang dan Prasti segera beranjak, untuk menuju ke Telaga Wangipandan. Dan benar saja, tak lama kemudian Elang dan Prasti tiba di sebuah lereng perbukitan Lasinda. Letaknya memang tak begitu jauh dari rumah makan tadi. Elang dibuat takjub, dengan keindahan alam yang tersaji di hadapannya. Air jernih telaga yang segar, sejuk, serta wangi semerbak aroma pandan. Kini terhampar nyata di sana. Nampak saat itu juga ada beberapa orang, yang tengah mandi di telaga itu, dengan menggunakan kain atau pakaian. Bebatuan besar juga banyak terdapat di telaga itu. Telaganya sendiri cukup luas, namun airnya tak begitu dalam. Hanya sekitar dada orang dewasa. Dan dibagian tengah telaga itu, terdapat sebuah pusaran kecil. Itu adalah suatu hal yang aneh di mata Elang. Bagaimana mungkin ada sebuah pusaran, di tengah telaga seperti itu..? Lalu pusaran air itu menembus ke mana..? Pikir Elang. "Mas Yoga, ini adalah bagian luar dari Telaga Wangipandan ini. Di bagian ini