Axel dan Angel masih betah berdiri di lantai dua tanpa menyambut tamu lainnya. Angel memanggil pelayan yang berjalan melewatinya untuk mengambilkan dua gelas anggur merah. "Kamu selalu tahu apa yang menjadi kesukaanku," ungkap Axel menampakkan senyuman mautnya.
"Kita kan sudah kenal lama, Xel. Semuanya tentangmu aku tahu bahkan ukuran semua yang kamu pakai," ujar Angel. Pria itu menyeringai dengan tatapan nakalnya.
"Eh iya, kamu masih disini?" tanya Axel.
"Emang kenapa? Kamu udah gak sabar ketemu ama dia?"
"Bukan begitu. Saat ini, statusnya adalah pacarku. Walau aku sudah melihatnya dari sini, entah kenapa aku tidak bisa menemuinya langsung. Menurutmu kenapa?"
"Karena kamu gak menganggap dia sebagai orang spesial dihatimu." Kepala Angel bersandar pada bahu lebar Axel. "Xel!" panggil Angel seraya mendongakkan kepalanya.
"Hmm? Apa?"
"Kamu serius ingin memanfaatkannya?"
"Kalau iya kenapa?"
"Kamu gak takut suatu hari nanti kena karma?"
"Karma? Hahaha..." Axel tertawa cukup keras. Saking kerasnya itu, Angel menyentil hidungnya.
"Kamu jangan pernah bermain-main dengan karma. Seperti aku dan suamiku sekarang. Walau dia berkelimpahan harta, tak kekurangan tujuh keturunan pun dan hubunganku dengannya juga tak bisa dikatakan memburuk, namun hingga saat ini kami belum dikaruniai anak. Padahal, pernikahan kami telah berjalan tiga tahun. Menurutmu kenapa?"
"Mungkin, dia kurang liar di┄" Angel memukul kepala Axel agak keras. "Aw! Sakit! Apa yang kamu lakukan?" Axel mengusap bagian kepalanya yang terasa sakit.
"Kamu nih, bisa tidak diajak serius? Kalau cerita, selalu bahas begituan." Angel memutar kedua matanya jengah dengan tingkah Axel.
"Yah, aku kira kamu mau bahas yang itu," ucap Axel sembari terkejut melihat tatapan melotot dari Angel. "Ya, ya, aku serius. Nih aku dengerin." Axel mendekatkan telinganya pada Angel.
"Hidupmu selalu main-main. Kamu tidak pernah memikirkan bagaimana persoalan hidupmu. Awas saja, suatu saat nanti kamu datang kepadaku sambil menangis."
"Aku menangis? Never!" kata Axel sambil tertawa kecil.
"Lihat saja nanti, aku ingin lihat sosok Axel yang terkenal playboy mendapatkan karma hingga menangis darah," ujar Angel dengan nada kesalnya.
Sebenarnya, ia tak mau menyumpahi sahabatnya sendiri, tetapi dia suka kesal karena Axel tak pernah serius dalam menjalin hubungan dengan perempuan manapun.
"Sampai saat ini saja, aku belum mencintainya, kenapa harus menangis karenanya?"
"Axel, hidup selalu berjalan. Tidak selamanya diam. Seperti roda berputar, nasib kita juga tak dapat diprediksi. Mungkin, sekarang kamu gak masalah bermain-main dengan banyaknya wanita diluar sana, tetapi semua ada porsinya dan kamu juga tidak akan selamanya bisa berada di zona aman."
"Angel, kamu terlihat seperti guruku dulu waktu SD. Apalagi kalau kamu menatapku dengan tajam begini," ujar Axel sambil memperagakan guru SD nya.
"Sudahlah! Aku mau menemui suamiku dulu. Lama-lama ngomong sama kamu seperti ngomong sama tembok." Angel tampak kesal. Ia menjauhkan diri darinya. Tetapi pelayan itu belum datang untuk mengantarkan anggur merah."
"Bodo amat!" seru Axel tak peduli. "Oh ya Ngel, aku ingin mau minta tolong denganmu."
"Apa?"
"Ayolah, sayang jangan galak seperti itu. Nanti, keseksianmu hilang," ucap Axel seraya memukul pantat Angel. Wanita itu memelototinya. Kemudian, dia tersenyum.
"Sudah, kan aku senyumnya. Ayo cepat katakan, apa maumu?"
"Kamu, kan, hendak pergi untuk menemui suamimu. Bisa tidak, kamu cari tahu tentang masalah suamimu dengan Bianca?"
"Kenapa? Mulai kepo ya? Suka, ya sama Bianca?"
"Bukan itu."
"Lalu apa, kalau bukan kamu yang kepo?"
"Begini..." Axel membisikkan sesuatu pada telinga Angel.
"Kamu gila?"
"Sudahlah, turuti saja kata-kataku, ya? Please, Sayang!" Telapak tangan kanannya bergesekan dengan telapak tangan kirinya, sebagai tanda meminta tolong pada wanita itu.
"Oke. Sekali ini, ya?"
"Makasih, sayang." Axel mengecup bibir Angel dengan santai. "Dasar, Axel! Kapan kamu belajar dewasa? Suatu saat nanti, kamu akan menuai apa yang kamu tanam sendiri," batin Angel.
Wanita itu tak punya pilihan, selain bertemu dengan Bianca. Sebenarnya, ia juga penasaran dengan sosok itu. Memang, bentuk tubuh Bianca terlihat menggoda. Namun, jika Bianca tak mengerti siapa Axel sesungguhnya, dia khawatir gadis itu hanyalah mainan empuk Axel. Memikirkan itu terjadi, rasa kasihan timbul dihatinya. Walau bagaimanapun, Axel tetap sahabatnya, ia tak bisa mengingkari hal itu.
"Sarah, sebaiknya kita pulang saja. Percuma disini," kata Bianca. Falco tetap berbincang pada tamu lainnya dan tidak tertarik dengan kehadirannya.
"Lalu bagaimana dengan hadiah yang sudah kita pilih untuk dia?" tanya Sarah setengah berbisik.
"Biarkan saja! Aku sudah sangat kacau sekarang," ucap Bianca yang tak dapat menahan kekesalannya.
"Tunggu!" seru Angel yang menahan Bianca dan Sarah. Kedua orang itu saling bertatapan, tak mengerti siapa Angel. Namun, entah kenapa sosok Angel tak asing bagi Bianca. "Aku adalah istrinya Falco." Angel memperkenalkan dirinya.
"Anda istrinya?" Bianca tersentak kaget. Namun, dia tersenyum seketika.
"Iya, saya istrinya. Saya perhatikan daritadi, kamu ingin berbicara pada suami saya. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan kalian berdua. Tetapi, aku akan mencoba meluluhkan suamiku agar mau berbicara denganmu."
"Kalau begitu, saya berterima kasih pada nyonya Falco. Maaf merepotkan anda," ucap Bianca bersikap sopan terhadap Angel, begitu juga dengan Sarah.
"Jangan terlalu sungkan denganku! Kita sesama perempuan, sudah sewajarnya saling membantu," tuturnya lembut. Angel berjalan ke arah Falco. Pria itu cukup kaget akan kehadirannya. "Sayang, temanku ingin berbicara denganmu," ucap Angel setengah berbisik. Falco berpamitan dengan tamu yang mengajaknya berbicara. Kemudian, dia membiarkan tangan istrinya menggenggam tangannya.
"Temanku yang mana, Sayang?" Ternyata, dibalik kegarangan wajahnya, Falco dapat berbicara lembut dengan istrinya.
"Yang itu," tunjuk Angel. Falco menatap Bianca dengan wajah yang masam.
"Dia temanmu?"
"Iya, Sayang. Sebenarnya, sudah beberapa bulan ini aku mengenalnya. Dan aku juga yang mengundangnya kemari. Kenapa? Apa kamu keberatan, karena aku mengundang temanku kemari?"
"Bukan begitu, tetapi..."
"Sayang!" Tangan Angel menyentuh tangan suaminya dengan manja. Pria itu tidak tahan dengan sikap istrinya yang seperti itu.
"Aku tidak marah. Aku baru tahu kalau kalian berdua saling mengenal," ucap Falco. Bianca merasa, tatapan Falco berubah seketika. Pria itu terlihat ramah. Ini menjadi kesempatan baginya, untuk memperbaiki hubungannya dengan pria miliarder itu.
"Maaf, tuan Falco sebelumnya. Saya tahu, mungkin anda masih marah sama saya soal kejadian waktu itu. Saya secara resmi ingin meminta maaf pada anda." Bianca menundukkan kepala. Gadis itu tak ingin mengatakan sesuatu yang bertele-tele karena akan menyebabkan pertengkaran lainnya. Itu saja, dia telah membuang egonya sesaat. Falco menarik nafas. Ia berusaha lembut demi istrinya.
"Gak masalah. Hanya saja, saya sedikit kecewa. Tetapi, karena niat baik anda datang ke acara ulang tahun saya, maka saya dengan tulus hati menerima kebaikan anda."
"Terima kasih atas kebaikan anda, tuan Falco. Oh ya, saya telah mempersiapkan hadiah kecil untuk anda. Tolong diterima." Bianca memberikan Sarah isyarat untuk segera memberikan kado itu. Wanita itu bergerak cepat mengetahui isyarat itu.
"Ini hanyalah hadiah kecil dari saya. Tidak ada apa-apanya dibandingkan kekayaan anda."
"Terima kasih atas hadiahnya." Falco menerima hadiah itu.
"Wow! Sayang, aku tahu brand itu." Angel mengambil hadiah dari tangan suaminya. Wanita itu membukanya. "Ternyata benar dugaanku! Ini adalah jam tangan limited edition. Kalau tidak salah hanya ada belasan jam seperti ini di seluruh dunia. Bianca tersenyum, tak mengira Angel mengetahuinya.
"Benar, apa yang dikatakan istri anda. Saya tidak memandang dari segi harga, saya hanya merasa jam tangan itu sangat cocok untuk menyempurnakan penampilan anda. Bukan berarti saya menghina penampilan anda, tetapi dengan penampilan jam tangan itu yang terlihat sederhana dan memiliki daya tarik tinggi, sangat cocok untuk dipakai oleh anda. Karisma anda yang megah akan membuat banyak orang iri," ujar Bianca.
"Wah, temanku memang yang terbaik. Kamu selalu pengertian. Aku bangga memiliki teman sepertimu," ucap Angel.
"Benar. Terima kasih sekali lagi. Dan untuk apa yang terakhir terjadi, saya sudah melupakannya," ujar Falco seraya tersenyum.
"Saya harap kerjasama diantara dua perusahaan dapat terjalin dengan baik," ucap Bianca. Gadis itu dan Falco saling berjabat tangan.
Mereka bertatapan dengan senyuman sebagai pemanis mereka. Axel melihat dari arah kejauhan. "Sudah saatnya, aku bergerak," batinnya seraya menyeringai. Entah apa yang ia rencanakan. Namun, itu bukan sesuatu yang baik.
Bianca membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar. Dia menghela nafas seketika. Dilihatnya, cermin yang menampakkan sosok dirinya. Ia tersenyum. Walau dalam suasana hati yang cukup buruk tadi, tetapi ia masih begitu cantik. Setelah lima belas menit kemudian, dia keluar dari sana.Saat keluar dari toilet, dia ditarik oleh Axel. Pria itu langsung menciumnya lembut. Bianca ingin menampar siapa pria yang berani menciumnya. Namun, hal itu tak ia lakukan saat Axel melepaskan ciumannya. Pria itu tersenyum."Kamu disini?" Bianca masih tidak percaya jika Axel berada didekatnya. Ia mengira pikirannya dipenuhi Axel, sehingga menyebabkannya berkhayal. Gadis itu menampar pipinya sendiri."Kenapa ditampar, dear?" Axel mengusap pipi Bianca lembut. Setelah itu, ia mencium pipinya."A┄Aku kira ini cuma mimpi. Kamu tiba-tiba datang begitu saja tanpa mengabariku dan langsung menciumku. Gadis mana yang tidak langsung kaget?""Kamu masih ingat tidak, waktu itu ketika
Malam penuh bintang menjadikan waktu terindah bagi Axel. Pria itu tak berhenti menatap Bianca. Gadis yang malang, tak bisakah Axel bersikap lebih lembut padanya tanpa bertindak begitu keji? Axel tak peduli. Bianca sangat bermanfaat untuknya dimasa mendatang.Hanya dengan cara ini, pria itu memiliki Bianca. Tanpa berpikir panjang, Axel menurunkan resleting pada dress bagian belakang Bianca. Gerakannya cukup cepat, namun tak merusak resleting itu sendiri. Ponsel Bianca yang telah disilent dari awal saat pria itu membawanya, tak dapat mengganggu aktivitasnya.Setelah resleting terbuka, ia segera melepaskan pakaian itu yang terus mengganggunya. Tampak pakaian dalam Bianca yang menggiurkan. Axel tegang sesaat. Dia tak bisa berpikir jernih. Bianca tak menolak saat pria itu menyentuhnya. Malam yang berwarna dengan segala desahan yang menggelora. Bianca yang tak menolaknya, membuat Axel bergerak semakin liar.Malam penuh dosa itu tak ada rasa penyesalan bagi Axel. Pikir
Waktu terlewati dengan sempurna, tak terasa satu bulan telah berlalu. Waktu yang cukup cepat ini, membuat seorang wanita merasa gugup. Ia memejamkan kedua mata sambil menikmati angin yang terus berdatangan ke arahnya.Dia berdiri di sebuah balkon kantornya. Termenung mungkin pilihan terbaiknya saat ini. Sarah datang tiba-tiba tanpa sengaja mengagetkannya. "Ibu terlihat melamun. Bukankah seharusnya anda senang karena sebentar lagi akan menikah?" tanya Sarah."Sarah, menurutmu bagaimana perasaanmu ketika menikah?""Gugup dan ragu. Tetapi, ketika memikirkannya kembali saya tidak ragu lagi.""Secepat itukah keraguanmu hilang?""Iya. Tidak begitu baik, jika hati dikelilingi keraguan dalam waktu yang lama. Oh ya, saya punya tips agar dapat mengurangi rasa gugup serta keraguan anda.""Gimana caranya?""Ibu harus memejamkan kedua mata sambil mengingat setiap momentum anda bersamanya. Saya yakin setelah itu, anda pasti merasa lebih rileks."
Langit menampakkan kesenduan yang beraroma mistis. Hawa dingin seakan membeku seketika. Aura gelap mengelilingi Bianca dalam sekejap. Sepasang mata berwarna merah terlihat mengganas. Senyuman yang licik tak dapat terkendali. Aura iblis mengelilingi Bianca. Kini, Bianca terlihat berbeda.Sosok Vivian yang berada didalam tubuhnya akan mengubah seluruh kehidupan Bianca. "Hahaha... Akhirnya setelah sekian lama aku menginginkan tubuh manusia, tak kusangka aku berhasil mendapatkannya," ujar Vivian dengan sorotan mata yang tajam. Dia tampak bersemangat dengan tubuh barunya.Semua memori pada kehidupan Bianca menyatu pada diri Vivian. Wanita itu sudah mengetahui semua hal yang terjadi pada Bianca dengan memori itu. Selain itu, dia memiliki energi yang mematikan. Akankah Vivian membawa sebuah malapetaka? Kenyataannya, dia menatap tajam Axel dan ibu tiri Bianca. Senyuman jahat mendarat pada bibir manisnya. "Kalian ini, sangat menjijikkan," batin Vivian seraya mendekati mereka.
Malam ini bertaburan bintang penuh warna, seakan pertanda baik bagi Axel. Dekorasi yang indah dengan bunga mawar disekitarnya, menampakkan keromantisan yang menggebu. Tatanan yang rapi serta aroma bunga mawar mengusik hidung menambah gairah yang membara. Pria itu memasuki kamar pengantin dengan segala kelicikan yang terukir dibenaknya. Ia melihat Vivian yang berdiri dengan tenang, ia tak sabar ingin meraih wanita itu ke dalam dekapannya. Dilihatnya, Vivian berdiri di depannya sambil tersenyum. Ia berjalan mendekati wanita itu. Ia menatap penuh gairah tanpa rasa malu. Tatapan Vivian memperdaya Axel dalam waktu singkat. Jati dirinya sebagai roh iblis, tak sulit untuk menaklukkan pria manapun, termasuk Axel. Mungkin, Bianca tak pandai merayu pria. Tetapi, Vivian selalu memiliki aura tersendiri yang memungkinkan Axel terjebak dalam permainannya. Axel mendekati Vivian tak sabar. Ia menatap dengan setiap keinginannya yang liar. Senyuman Vivian menggoda Axel s
Sebuah kamar suite hotel yang terbilang mewah, memiliki kolam, ukuran kamar yang besar, serta fasilitas yang lengkap. Salah satu kamar suite yang terbilang mewah terletak di lantai 4. Disana terdapat jendela yang besar, dapat menikmati panorama indah di sekitarnya. Sosok wanita tengah berdiri seraya menggeliat. Ia berjalan ke arah jendela sambil menikmati pemandangan yang ada di luar. Wanita itu tersenyum memandang keindahan disana. Wanita itu sendirian tanpa didampingi siapapun. "Memang, dunia manusia sangatlah bagus. Aku tidak rugi berada di tubuh ini," batin Vivian tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya. Wanita itu menikmati suasana hotel itu. Sebagai roh iblis, ia ingin lebih lama berada didunia manusia. Tak lama, wanita itu berjalan untuk pergi ke arah kolam. Dengan bikini yang ia pakai, ia terjun ke kolam itu tanpa rasa takut. Kesejukan air yang berada disekitarnya membius wanita itu seketika. Walau Vivian adalah roh iblis, ia ingin menghabisk
Vivian tak peduli jika Axel tak ingin bercerai darinya. Dia masih memiliki ribuan cara agar membuat pria itu menyetujuinya. Namun, ia bukan typical wanita yang suka menggunakan cara kasar dalam setiap penyelesaian masalah. Walau, terkadang cara kasar ia lakukan dengan terpaksa. Tetapi, itu tak berlaku bagi Axel. Entah kenapa, wanita itu masih ingin mempermainkan Axel. Dia selalu punya cara untuk menjerat pria itu. Namun, ketika Axel menatap matanya, ia berpikir lain. Axel lebih licik dibandingkan apa yang ia pikirkan selama ini. Alasan Axel tak ingin bercerai bukan karena harta atau rasa cinta yang belum ia rasakan, melainkan karena harga diri. Dari Dulu tak ada satupun yang berani menolaknya. Justru, ia sering membuang setiap wanita yang tak diinginkannya. Mungkinkah, ini semacam karma? Dulu, dia sering mempermainkan perasaan wanita, mencicipi setiap tubuh mereka tanpa peduli yang lain, bahkan memanfaatkan mereka demi kepentingan pribadinya semata. D
Sesosok wanita tengah asyik membaca novel yang baru dibelinya beberapa bulan lalu. Sudah dua kali ia membaca buku itu. Seakan ia tak pernah bosan membaca novel yang sama. Air mata terus membanjiri wajahnya yang cantik. Ia terlalu terbawa suasana saat membaca novel itu. "Membaca novel itu lagi?" tanya Falco pada istrinya. Ia mengecup kening Angel lembut. "Hooh. Kamu gak kerja, Sayang?" tanya Angel tanpa mengalihkan perhatian dari novel itu. "Kepalaku lagi sakit dan badan rasanya pegel semua," ungkap Falco seraya bergelayut manja pada bahu istrinya. "Itu mungkin kamu kebanyakan kerja lembur." "Entahlah. Aku sudah menyuruh orang untuk handle pekerjaanku sementara." Ia terbaring disebelah Angel sambil memeluknya. "Mau dipijat atau ku kerokin saja, Sayang?" "Terserah kamu. Kepalaku terasa mau pecah," ucap Falco. Tangannya yang memeluk Angel bergantian menyentuh kepalanya. "Udah minum obat belum?" "Belum." "Da