Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja hingga menimbulkan bunyi konstan. Sementara tangan satunya menjadi penyangga dagu.
Laura mulai bosan. Sudah lima belas menit pantat semoknya menempati kursi disebuah private room restoran ternama. Tapi sosok yang ditunggu tak juga memperlihatkan batang hidungnya.
Hadeh, belum apa-apa sudah ngaret. Gimana mau membuat kesepakatan?
Baiklah, jika lima menit lagi masih belum datang. Laura tak akan segan angkat kaki dari tempat ini.
Bodo amat uang seratus juta gagal mengisi rekeningnya agar kian chubby. Mood Laura sudah terjun payung sekarang.
Melirik penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangan kirinya, Laura mulai lelah menunggu.
Sudahlah! Batalkan saja. Lebih baik rebahan di kontrakannya ketimbang duduk sampai pantat panas.
Bye! Seratus juta.
Laura baru saja mencangklongkan tas kebahu kanannya, lalu bangkit dari tempat duduknya. Saat pintu tiba-tiba saja terbuka. Menginterupsi pergerakannya yang hendak pergi.
Mengejap, Laura membeku di tempatnya berdiri. Kedua netranya menangkap sosok seorang wanita paruh baya yang masih tampak cantik, dengan semua hal yang dikenakannya meneriakan kata mahal.
Suara ketukan high heels menyentak lamunan singkat Laura. Membalas tatapan calon kliennya yang sudah membuat dongkol.
"Ayo duduk," titahnya pada Laura yang masih membatu.
Tak ada kata maaf. Atau setidaknya raut sesal karena sudah datang terlambat dan membuat Laura menunggu cukup lama. Wanita paruh baya itu justru duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, sebelum tatapannya memindai Laura. Seolah memberi penilain dalam diam.
Setengah linglung, Laura kembali menjatuhkan pantatnya ke tempat semula.
Uh, kursi yang didudukinya bahkan masih terasa hangat karena baru beberapa detik yang lalu ia tinggalkan.
"Saya tidak punya banyak waktu. Jadi langsung saja."
Dih! Dikira Laura seonggok makhluk yang tak memiliki kesibukan?!
Astaga ..., sekarang Laura jadi ragu sudah menyetujui tawaran Jihan. Kliennya kali ini sangat handal memantik emosi.
"Kalau kamu mau, silakan pesan apa pun di sini sepuasnya. Biar saya yang bayar. Tapi nanti saja, setelah pembicaraan kita selesai."
"Tidak perlu," Laura yang sejak tadi bungkam, akhirnya angkat bicara, "saya masih kenyang."
Lagipula selera makannya sudah ambyar gara-gara wanita paruh baya di depannya ini.
"Saya Ratu," ucap wanita paruh baya itu memperkenalkan diri. Lalu melirik Laura penuh penilaian. "Jadi kamu Sekar?" tanya Ratu memastikan. Sebelum kemudian mengela napas gusar. "Saya sudah mendengar sepak terjang kamu. Katanya cukup bisa diandalkan, tapi berhubung itu semua baru omongan orang lain, saya butuh pembuktian sendiri."
Ratu tak masalah harus merogoh kocek cukup dalam. Demi menyewa wanita muda di depannya ini, selagi berhasil menyelesaikan misi yang diberikan olehnya.
Berdeham pelan, Laura melempar senyuman terbaiknya, "tentu saja. Anda bisa membuktikannya sendiri."
Baiklah, Laura tak akan membatalkan, walau harus menelan dongkol atas sikap kliennya yang sangat bossy.
Dia hanya perlu memupuk sabar lebih banyak. Dan mengingat uang seratus juta sebagai mantra.
Diragukan atas kemampuannya justru membuat Laura terpancing ingin membuktikan kinerjanya memang memuaskan. Bukan sekadar omong kosong.
Ikut menyilangkan kaki, lalu bersedekap tangan, Laura tersenyum kecil. "Jadi, kapan saya harus mulai mengetes kesetiaan suami anda?"
Dilihat dari klien-nya yang sudah berusia lanjut, berarti pria yang akan ia goda kali ini adalah paruh baya?
Laura meringis dalam hati. Apa ia sanggup menggoda pria yang mungkin seusia ayahnya?
"Suami saya sudah meninggal."
Hah? Apa katanya tadi?
Meninggal?
Laura mengejap-ngejap, menatap bingung sekaligus heran pada Ratu. Seolah wanita paruh baya itu baru saja mengatakan jika ayam tetangganya melahirkan anak kadal.
Tunggu!
Ada hal yang perlu diluruskan di sini. Karena sungguh! Laura tak bisa mencerna apa yang sebenarnya Ratu inginkan dari dirinya?
Buat apa menyewa jasa Laura jika suami wanita paruh baya itu sudah meninggal?
Masa iya godain kuburan?
"Anak saya." Seolah mengerti kebingungan yang mengepung pikiran Laura, Ratu memberi penjelasan. "Dia yang harus kamu urus."
Ah, jadi anaknya.
Tapi, untuk apa dites kesetiannya? Apa Ratu ingin Laura menggoda untuk mengetes, seberapa sayang pria itu pada ibunya?
Nyaris membuka mulut untuk melontarkan tanya, Laura tak sempat mengatakan apa pun, ketika bibirnya kembali dikatupkan, saat Ratu menjentikan jari.
Seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian formal dan kacamata hitam yang tadi datang bersama Ratu, kini mengayunkan langkah. Memangkas sisa jarak yang terbentang dari dekat pintu, kearah meja yang kedua wanita beda usia itu tempati.
"Ini Nyonya," ucapnya. Sembari meletakan koper ke atas meja, dan diangguki Ratu serta gumaman singkat.
Apa lidah wanita paruh baya itu tak bisa mengucap kata terima kasih?
Ah, Laura lupa, ucapan maaf karena datang terlambat dan membuatnya menunggu terlalu lama pun tak ada.
Hal tersebut kembali memantik rasa dongkolnya. Tapi hanya sesaat. Karena sewaktu Ratu membuka koper yang dibawakan pengawalnya, lalu isinya diperlihatkan kehadapan Laura, gadis itu terngaga seketika.
"Seratus juta," ucap Ratu. Dengan senyuman pongah usai mendapati reaksi Laura. "Seperti yang saya janjikan."
Berdeham-deham, Laura berusaha menyadarkan diri dan fokus pada kesepakatan yang akan dibicarakannya dengan Ratu.
Tapi rasanya cukup sulit saat tumpukan uang dipamerkan di depan matanya.
"Singkirkan perempuan itu dari hidup anakku."
Menaikan satu alis mata, Laura tergelitik penasaran.
Perempuan?
Ah, apa ini drama percintaan yang tak mendapat restu dari seorang Ratu?
Jadi wanita paruh baya itu membutuhkan jasa Laura untuk menyingkirkan wanita malang—yang entah siapa pun itu, agar mengakhiri hubungan dengan putranya?
Tumpukan uang dalam koper yang kini tersuguh di depan mata membuat Laura bersiul.
Uh, halo sayang-sayangku.
Tangannya dengan jari berkuteks merah merayap kearah koper, menjamah lembaran uang yang tak sabar dibawa pulang olehnya.
Laura tersentak, menahan diri agar tak merengut masam saat koper tersebut dijauhkan dari jangakuannya.
Padahal dia belum puas menjamah calon penghuni rekeningnya.
"Apa kau yakin bisa membuat mereka berpisah? Keduanya sudah bersama sejak kecil. Dan menjalin hubungan sedari SMA hingga sekarang."
Tawa renyah Laura mengudara. Menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, ia condongkan tubuh kearah calon partner bisnisnya itu, "tenang saja, tak ada yang bisa menolak pesona seorang Laura." Yakinnya sembari mengedipkan satu mata.
Hei, itu bukan bualan. Faktanya, para pria yang ia goda memang takluk dan bertekuk lutut padanya. Hingga melupakan status mereka yang sudah terikat dengan wanita lain.
Untungnya Laura profesional, jadi tak pernah kepincut dengan pasangan kliennya yang hendak ia uji coba kesetiaanya.
Lagipula Laura tak berminat dengan pria-pria yang mudah berpindah hati.
Menelan ragu, wanita paruh baya itu menyodorkan sebuah foto. Target yang harus Laura taklukan agar uang seratus juta jatuh kepelukannya.
"Ini anak saya, dan pastikan kamu bisa membuatnya lepas dari wanita itu."
"Tentu Nyonya," balas Laura percaya diri. Sembari mengambil foto yang Ratu sodorkan ke atas meja.
Senyum Laura yang sedari tadi merekah seketika layu, ketika kedua netranya menemukan bahwa target tersebut merupakan orang yang paling ia hindari di muka bumi!
"Giliran lo," mengedipkan satu mata, Cindy memberi semangat pada Laura yang tersenyum kaku.Berdiri canggung di depan Darius, Laura berusaha menebas paksa rasa gugupnya.Ingat. Saat ini, pria di depannya bukan atasan di tempat kerjanya. Tapi target yang harus bisa Laura taklukan."Jadi, saya boleh berdansa dengan anda?"Mengulurkan tangan, Darius membalas pertanyaan Laura dengan isyarat jika dia menerimanya."Saya tidak tau kamu teman Cindy?" sembari menggerakan tubuh secara perlahan. Darius mulai membuka obrolan."Bukankah itu sebuah kebetulan yang tak terduga Pak? Oh, atau bisa saya panggil nama saja? Cindy atau pun ibu Pak Darius pasti heran jika saya memanggil anda dengan embel-embel, Pak."Darius mendengkus. Menatap sosok sekretarisnya yang malam ini tampak menawan dengan riasan yang berbeda dari biasanya. Ketika bekerja di kantor atau pun dalam kesehariannya. Tak terlalu tebal, tapi cukup pas dan mampu membuat pangling."Bukankah saya pernah meminta hal itu sama kamu?""Meminta
"Cewek lo mana? Nggak ikut?""Dia sibuk.""Sibuk apa takut ketemu gue sama Tante Ratu?"Mengela napas, Darius menatap sepupunya. Berusaha menebalkan kesabaran yang selalu menipis saat bersinggungan dengan Cindy."Gue nggak mau ribut."Mendengkus sinis, Cindy melirik Darius yang memilih menyibukan diri dengan ponsel. Meminimalisir konfrontasi dengannya."Pelet tuh cewek kenceng banget kayaknya. Bikin lo ketempelan dia bertahun-tahun."Mengela napas gusar, Darius mengantongi ponselnya. Bangkit dari duduknya yang satu meja dengan Cindy. "Kabur lagi? Lo bikin gue tersinggung tau nggak? Berasa virus yang harus dihindari.""Gue cuma berusaha menghargai pesta sepupu kita. Kalau sampai ada ribut-ribut, kasihan Mayang. Pestanya kacau.""Lo dari tadi ngoceh soal ribut. Emang siapa sih yang ngajak ribut? Nggak ada perasaan. Gue datengin meja lo buat ngobrol. Anggap aja menjalin silaturahmi, memperbaiki hubungan kita yang kaku dan dingin kayak balok es."Darius sudah akan kembali bicara. Membala
"Kamu Laura?"Suara yang tiba-tiba tertangkap pendengarannya membuat Laura yang seperti anak hilang di tengah keramaian, menolehkan kepala dan memberi anggukan dengan wajah bingung."Ya," menatap wanita asing di depannya, Laura mengerutkan kening, "anda—""Gue Cindy," mengulurkan tangan, ia memperkenalkan diri lebih dulu sebelum Laura menyelesaikan ucapannya.Ah, Cindy sepupunya Darius?Segera membalas uluran tangan gadis itu, Laura mengukir senyuman, "saya Laura.""Jangan terlalu formal," Cindy bersedekap usai jabatan tangan dengan Laura usai. "Jadi lo perempuan bayaran itu?"Laura terbelalak mendengar pertanyaan blak-blkan dari Cindy. Dengan gugup, ia mengedarkan pandangan ke sekitar, khawatir ada yang mencuri dengar."Jangan bahas itu di sini," Laura mengikis jarak dengan Cindy, "dan gue bukan perempuan bayaran," tambahnya sembari mendesis kesal."Tapi Tante Ratu bilang—""Apa kita bisa mencari tempat lain untuk membicarakan hal ini?"Astaga ..., kenapa Ratu harus membagi perjanjia
"Masuk!" Darius berseru keras, agar sosok yang baru saja mengetuk pintu bisa mendengar instruksinya.Ketika pintu ruang kerjanya terkuak. Sosok Laura muncul dengan senyuman secerah matahari di jam dua belas siang."Pagi Pak," sapa gadis itu, usai menutup pintu dan mengayunkan langkah. Memasuki ruang kerja Darius."Pagi," Darius membalas singkat, dengan kening yang mengernyit mendapati kedatangan sekretarisnya sembari membawa nampan alih-alih berkas yang biasa diberikan padanya.Berdeham-deham meluruhkan rasa gugupnya. Laura meletakan nampan berisi segelas susu coklat dan sepiring sandwich.Ikut menjatuhkan pandangan pada apa yang disuguhkan Laura. Kernyitan dikening Darius kian dalam, "ini apa?""Susu coklat dan sandwich."Apa pria itu masih mengantuk? Masa iya minuman dan makanan di depannya dia tak tau namanya?Mengela napas panjang Darius menutup laptop yang sudah dipelototinya lima belas menit yang lalu. Sesampainya di kantor dia memang segera mendekam di ruangannya untuk menyeles
"Hadeh, gue kira lo hilang dari peradaban," oceh Jihan ketika membukakan pintu apartemennya untuk Laura.Tak segera menjawab. Laura mendorong bahu sahabatnya agar segera menyingkir dan membuatnya bisa memasuki apartemen wanita itu.Mengempaskan tubuh lelahnya di atas sofa, Laura mengembuskan napas lega. Menyamankan diri ketika akhirnya bisa meluruhkan rasa lelah."Capek banget ya nyari duit."Berkacak pinggang di depan sahabatnya yang tengah berleha-leha, Jihan mendengkus, "tumben ngeluh.""Gue juga manusia biasa, yang kadang mengeluh soal hidup. Tapi seringnya disuarakan dalam hati. Nggak koar-koar kayak lo.""Gue nggak ngeluh, cuma curhat sama diri sendiri."Mengibaskan tangan tak acuh, Laura enggan menanggapi ocehan Jihan, "lo ada tamu suguhin minum kek. Panas banget di luar, kasih yang bikin seger, Ji.""Apaan? Sini gue ceburin ke bak mandi biar seger.""Buruan Ji, dehidarasi nih kayaknya gue.""Lo kalau dehidrasi bukan butuh air minum. Tapi segepok uang biasanya.""Itu sih kalau
"Bagaimana perkembangannya?" Ratu melempar tanya. Bahkan di saat pantatnya baru saja mendarat di atas kursi. Tapi seperti biasa, wanita paruh baya itu enggan berbasa-basi."Cukup baik, Bu.""Cukup?" beo Ratu dengan kening mengernyit tak suka. "Itu jelas bukan jawaban yang saya harapkan.""Bu, saya baru memulai pendekatan dengan Pak Darius.""Tapi kalian sudah mengenal lama.""Itu tidak ada korelasinya Bu. Saya bekerja secara profesional sebagai sekretaris Pak Darius. Di luar itu, kami jarang membahas hal yang tak berkaitan dengan pekerjaan."Ratu mengela napas, berusaha menebalkan kesabaran dari rasa kesal yang menggelayuti hatinya."Lalu bagaimana perkembangannya di lapangan? Apa Darius dan perempuan itu masih lengket?"Meringis, Laura tak segera memberi jawaban. Meraih minuman yang tersuguh di depannya. Ia teguk beberapa kali, meletakan gelasnya ke atas meja lagi. Baru kemudian melontarkan jawaban."Cukup sulit memisahkan mereka karena Pak Darius cukup bucin sama pacarnya, Bu.""Ben