Share

Sang Penggoda Bayaran
Sang Penggoda Bayaran
Penulis: Nebula

Prolog

"Putus? Bukankah kalian sudah bersama selama lima tahun?" Jemari lentik berkuteks merah itu mengelus seduktif dada bidang pria yang kini mendekapnya.

Mendongakan kepala hingga tatapan mereka bertemu, Laura mengukir senyum muram, "kau ingin mengakhiri hubungan yang sudah terjalin selama lima tahun, demi wanita yang baru kau kenal kurang dari dua minggu sepertiku?"

"Kau berbeda Sekar." Pria itu menatap penuh damba, lalu mengecup punggung tangan Laura yang membuatnya nyaris hilang akal. Apa wanita dalam pelukannya ini adalah penyihir? Dia mampu menjeratnya hanya dalam waktu singkat. Bahkan membuatnya berani menjanjikan sebuah komitmen, setelah nanti mengakhiri hubungan dengan wanita yang masih menyandang status sebagai kekasihnya selama lima tahun terakhir.

Harus diakui dia memang brengsek. Sekali pun memiliki kekasih tak membuatnya lepas dari para wanita lainnya. Tapi sebagian besar hanya dianggapnya sebagai bentuk senang-senang menghilangkan penat. Tidak lebih.

Tak ada satu pun dari para wanita itu yang membuatnya terjerat begitu kuat. Hingga kemudian, seorang wanita bernama Sekar berhasil melumpuhkannya.

Pertemuan mereka terjadi ketika mobilnya mogok dipinggir jalan, dan gadis itu menawarkan tumpangan sekaligus membantu mencarikan bengkel terdekat.

Seolah takdir memang menggiring mereka untuk bersama. Pertemuan-pertemuan selanjutnya terjadi dan membuat keduanya kian dekat. 

Sekar memberikannya sebuah kenyamanan yang tak pernah didapatkannya dari wanita mana pun. Termasuk kekasihnya sendiri.

Sayangnya, yang tak pria itu tau. Bukan sekadar tentang takdir, tapi semua pertemuan itu sebelumnya sudah terencana.

Menegakan posisi duduknya, Laura merekahkan senyuman yang membuat targetnya kian kepayahan menahan diri.

Mendekatkan wajah, pria itu memangkas sisa jarak yang terbentang diantara mereka. 

Laura bergeming diposisinya. Hanya menatap tenang saat pria itu kian mendekat kearahnya. Embusan napas hangatnya bahkan menerpa wajahnya.

Ketika ujung hidung keduanya telah saling menyentuh, dan mata pria itu menutup, menyisakan sedikit lagi baginya meraih bibir ranum yang tak pernah tersentuh selama mereka dekat, karena Laura memberi penegasan pada batas-batas tertentu yang tak bisa dilanggar, selama hubungan mereka belum bernamakan sesuatu secara jelas.

Pria itu tentu saja tak mau menamakan hubungannya sebagai pertemanan. Dia ingin serakah. Menjadikan wanita itu miliknya. Tapi terhalang kondisinya yang kini telah memiliki kekasih.

Ya, dia pria brengsek yang pantas mendapat sumpah serapah.

Suara ketukan pintu membuatnya menggeram. Tak menutupi kekesalan yang menjamah hatinya. 

Siapa si brengsek yang sudah merusak momen berharganya dengan Sekar?!

Padahal, demi bisa menikmati waktu berdua, ia sengaja memesan private room disebuah restoran ternama.

"Aku saja." cegah Laura ketika Edo—targetnya, dengan wajah tertekuk masam berniat bangkit dari duduknya. Tak mau kecolongan, Laura segera meraih lengan pria itu yang sepertinya berniat menyemburkan kekesalan pada sosok yang telah mengoyak suasana intim yang sempat memerangkap mereka.

Bangkit dari tempat duduknya, Laura berjalan anggun, mengayunkan langkah menuju pintu. Di bawah tatapan Edo yang tak pernah melepas setiap gerak-geriknya. Seolah takut jika wanita pujaannya bisa menghilang dari pandangannya.

Sejak kapan jatuh cinta bisa membuat seorang Edo melakukan hal-hal menggelikan seperti itu?

Bahkan pada kekasihnya yang terikat selama lima tahun, dia mana pernah bersikap posesif?

Ketika daun pintu terkuak, sesosok wanita bermata sembap tertangkap penglihatan Laura.

"Siapa, Sayang?!" teriak Edo tak sabaran.

Sayang?

Tatapan wanita itu seketika menghunus tajam kearah Laura. Membuat gadis itu mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan telinga. Bak buronan yang akhirnya menyatakan diri menyerah usai terkepung.

Hei, bukan dia tersangkanya.

Laura jelas tak berminat menjadi tempat penampungan kemarahan seorang wanita yang terkhianati.

"Bukan salah saya loh dipanggil Sayang. Pacar kamu memang mudah sayang sama perempuan lain." ringis Laura yang tak mau terkena amukan kliennya.

"Sayang, siap—Sinta?"

Laura berjalan menyingkir dari sejoli yang sebentar lagi akan terlibat peperangan.

Uh, ini momen menyenangkan lainnya yang tak boleh terlewatkan. Kapan lagi melihat pria hidung belang kena amuk.

"IYA! INI AKU! KENAPA?!" mendorong pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya, tangis Sinta kembali pecah, "TEGA KAMU SAMA AKU YA, MAS! AKU KURANG APA?! HUBUNGAN KITA SUDAH LIMA TAHUN! TERUS KAMU MAU PUTUS KARENA DIA!" Sinta menunjuk Laura yang bersandar sembari bersedekap tangan di dekat pintu.

Nah, kan. Kena lagi gue. Laura hanya bisa mendesah pasrah. Kadang kliennya lupa jika dia itu sekutu, bukan pelakor.

Edo yang terdesak menjambak rambutnya dengan frustrasi, "dengar! Aku akui sudah bersikap brengsek."

"KAMU MEMANG BRENGSEK!" raung Sinta sembari melayangkan pukulan secara serampangan ditubuh kekasihnya. Sesuatu yang mungkin tak terasa menyakitkan karena tenaganya tak seberapa.

Sinta mengamuk. Memukuli Edo yang kepayahan menghindar.

"BUKAN SALAHKU KALAU AKU CINTA SAMA SEKAR!" teriak Edo akhirnya. Tak tahan terus disudutkan.

Laura yang sejak tadi berdiri sebagai penonton, seketika mendengkus.

Cinta?

Yang benar saja.

Pada wanita yang sudah bersamanya selama lima tahun saja, Edo dengan mudahnya berpaling. Apalagi hubungan mereka yang baru seumur jagung?

"Maaf nih ya, Mas. Saya nggak berminat. Soalnya, yang saya cinta cuma uang." Mengedikan bahu tas acuh, tatapan Laura kini beralih pada Sinta yang sudah bersimbah air mata, "tugas saya selesai."

Melambai singkat. Laura berbalik, mengayunkan langkah menuju pintu keluar. Meninggalkan sejoli itu dan enggan terlibat drama yang hanya akan menyusahkannya.

Sembari bersenandung, Laura berjalan santai. Meski menyadari beberapa pasang mata yang menjatuhkan atensi padanya. Terutama para pria.

Maaf saja. Tapi dia sedang tak berminat. Nyaris dua minggu lebih bertugas, akhirnya selesai.

Uh, dia merindukan kasurnya untuk segera meluruskan punggung.

Tapi sepertinya, keinginan itu terpaksa tertunda. Ketika ponselnya tiba-tiba berdering memekakan pendengaran.

"Halo?"

"Lau!"

"Apaan?"

"Ada klien baru."

"Gue mau istirahat dulu beberapa hari. Cancel ajalah." gerutunya sebal, tak mau harus kembali berjibaku mengurus para pria yang tak setia pada pasangannya.

"Ye ..., si curut. Ini kelas kakap woy! Rugi bandar kalau ngelepas gitu aja."

Menaikan satu alis mata, Laura mulai terpancing ucapan sahabatnya, "jangan ngibul ya lo."

"Beneran, astaga! Kalau bohong, di sumpahin kaya tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh belokan, tujuh persimpangan pun gue nggak nolak."

Laura mendengkus, "itu mah emang lonya yang ngarep."

Terdengar gelak tawa di seberang sambungan. Tapi segera dienyahkan dan kembali fokus pada pembicaraan mereka.

"Gue bakal atur pertemuannya kalau lo setuju. Gimana?"

Laura terdiam. Menimbang sejenak.

"Katanya sih, berani bayar lo seratus juta."

Hah? S—seratus juta?!

Rasa ragu yang awalnya masih menggerogoti hati, kini enyah seketika.

"Oke, deal!"

"Dasar matre!"

"Jangan lupa ngaca ya lo!" dengkus Laura yang kembali memecah tawa sahabatnya.

Mengakhiri pembicaraan mereka. Senyum Laura merekah. Biarlah tak jadi libur, asal rekeningnya bisa tetap terisi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status