Share

2. Terkepung Resah

Melemparkan diri ke atas tempat tidur. Laura terlentang, sembari menatap langit-langit kamarnya.

Mengembuskan napas gusar. Gadis itu meraih foto seorang pria yang akan menjadi targetnya.

Dari sekian banyak makhluk penghuni bumi. Kenapa harus pria itu?! Kenapa harus Darius Bhalendra, bos galaknya? KENAPA?!

Dan yang lebih gila. Laura sudah membuat kesepakatan dengan Ratu—wanita paruh baya yang baru diketahuinya merupakan ibu dari bosnya.

"Cari mati gue. Astaga Laura! Otak lo pasti ketinggalan pas tadi ketemuan sama emaknya si bos." menjambaki rambutnya sendiri, Laura terus mengocehkan kegusarannya.

Tumpukan uang di dalam koper membuat pikiran Laura tumpul. Tapi setelah menginjakan kaki di kontrakannya, nyali Laura seketika menciut. Kesadarannya yang sempat lenyap terhipnotis uang seratus juta, akhirnya kembali. Apalagi setiap melihat foto Darius yang di dapatkannya dari Ratu tadi.

"Ke dukun aja kali ya, biar bos galak gue langsung klepek-klepek." anggap saja Laura memilih jalur express dalam menaklukan Darius.

Jika biasanya menggunakan wajah cantiknya untuk menjerat para targetnya. Kali ini kepulan asap menyan yang Laura andalkan.

Suara ponsel yang meraung mengisi kamar Laura, membuat gadis itu menghentikan racaun sembari berguling kesana-kemari di atas kasur. Padahal dia belum membersihkan diri setelah dari luar. Melakukan pertemuan dengan klien kelas kakap yang rupanya ibu dari Darius. Tapi pikirannya yang tengah semrawut membuat Laura butuh meluruskan punggungnya sejenak.

Nama yang menghiasi layar ponselnya membuat Laura merubah posisi berbaringnya menjadi duduk bersila di atas kasur.

Ketika Laura mengangkat panggilan, suara sang ibu menyusup masuk ke pendengarannya.

Ada resah yang diam-diam menjamah hati Laura. Mendapati ibunya yang tiba-tiba menghubungi.

Apa ada sesuatu yang terjadi?

Usai mengucap salam dan dibalas oleh Laura. Senyap tiba-tiba saja merayap. Membuat Laura sampai harus menjauhkan sejenak gawainya dari telinga hanya untuk memeriksa, apa sambungan teleponnya dengan sang ibu belum terputus?

Dan memang masih tersambung. Lalu kenapa wanita paruh baya di seberang sana tiba-tiba membisu?

"Halo? Bu?" karena tak juga mendapat respon. Laura yang akhirnya memecah kebisuan diantara mereka.

Apa ibunya lupa, jika mereka sedang terhubung dengan sambungan telepon, bukan saling melakukan telepati? Jadi mana Laura tau maksud ibunya yang tiba-tiba menghubungi jika hanya diam dan tak mengatakan apa-apa, usai mengucap salam.

Suara dehaman menjadi respon sang ibu, lalu berbicara dengan nada ragu. "Nak, Ibu butuh uang." aku Ratih tanpa basa-basi.

"Uang?" beo Laura yang diiyakan Ratih dengan gumaman. "Belum ada setengah bulan aku kirim uang ke Ibu. Apa ada keperluan mendadak biaya sekolah adik-adik?"

Laura berusaha mengendalikan suaranya agar tak terdengar ketus. Meski dia dikepung kekesalan. Uang yang selalu dikirimkannya tak sedikit. Tapi belum ada satu bulan sudah habis?

"B—bukan, Nak." suara Ratih kian mencicit. Wanita paruh baya itu gamang harus mengutarakan alasannya pada Laura.

"Lalu?" dengan kening mengernyit dalam, Laura mulai mengendus kejanggalan. "Uang itu buat suami Ibu?" tanyanya dengan rahang mengetat, dan mencengkram ponsel ditangannya lebih erat.

Kali ini apalagi yang pria tak tau diri itu lakukan?!

"Nak, jangan bilang begitu. Walau bagaimana pun, dia juga Ayahmu."

Ayah? Laura hanya mengakui sosok yang telah terkubur di dalam tanah sebagai ayahnya.

Bukan pria asing yang menikahi ibunya sewaktu Laura masih duduk dibangku SMP, dan menjadi seonggok beban keluarga mereka. Alih-alih menjalankan tugasnya sebagai tulang punggung keluarga. Tapi tugas itu justru diemban sang ibu yang terlalu mudah dirayu suaminya yang manipulatif.

Dan sekarang, tugas menjadi tulang punggung keluarga dilemparkan pada Laura.

"Ibu, maaf Laura menanyakan hal ini. Tapi aku berhak tau."

"S—soal apa?" tanya Ratih gugup, seolah akan diinterogasi.

"Uang yang aku kirim untuk kebutuhan adik-adik, tidak dipakai untuk hal lain kan?"

Laura selalu memberi uang untuk membantu biaya kebutuhan keluarganya di kampung, dan ada juga uang yang dikhususkan untuk biaya sekolah dua adiknya. Laura berpesan pada sang ibu agar tak menggunakan uang untuk sekolah para adiknya. Jika wanita paruh baya itu butuh, lebih baik mengatakannya pada Laura. Tanpa menyentuh uang khusus pendidikan kedua adiknya.

"Bu?" panggil Laura karena Ratih hanya membisu di seberang sana. Sikap ibunya itu hanya memantik kecurigaannya.

"S—sesekali aja, Nak." aku Ratih akhirnya dengan suara mencicit takut. Tapi tetap saja berhasil membuat Laura meledakan kemarahannya.

"Uang yang aku kirim untuk kebutuhan keluarga kita nggak sedikit. Kenapa Ibu masih merampas uang yang aku khususkan sebagai biaya pendidikan adik-adik?" Laura tak bermaksud berbicara kasar. Tapi ketenangannya koyak mendengar pengakuan Ratih.

Sungguh! Dia sangat menyayangi wanita paruh baya itu. Tapi ketika sang ibu terlalu lunak dan mengikuti kemauan pria benalu itu, maka Laura tak bisa lagi menahan diri.

"Kalau memang tidak mau mengirim uang lagi yasudah." dengan suara parau, Ratih membalas ucapan Laura. "Lagipula, Ibu hanya mengambil sedikit. Dan kedua adikmu tak mengalami kendala apa pun dengan sekolahnya."

Mengais sisa kesabaran yang tercecer, Laura berusaha mengendapkan kemarahannya.

"Maaf, bukan begitu maksudku Bu. Aku akan kirimkan uang." mengucap salam, dan setelah mendapat balasan dari ibunya. Laura segera mematikan sambungan. 

Melempar sembarang ponselnya, Laura kembali rebah di atas kasur. Mengela napas panjang, berusaha meredakan sesak yang menghantam perasaanya.

Lebih baik menyudahi dengan cepat, sebelum terlibat pertengkaran lebih hebat dengan ibunya.

Sebagai anak sulung, Laura mengemban tanggung jawab menjadi tulang punggung keluarganya di kampung.

Ayahnya sudah meninggal. Dan Ibunya menikah lagi dengan pria antah berantah yang selalu membuat kepala Laura mendidih. 

Gaji yang Laura dapat dari tempatnya bekerja memang cukup besar. Tapi jika dibagi tiga kebutuhan, seperti kebutuhan hidupanya di perantauan, kebutuhan keluarganya di kampung, dan biaya pendidikan dua adiknya. Maka gaji hasil kucuran keringatnya di perusahaan tetap terasa kurang.

Hal itu juga yang melandasi Laura mengikuti jejak Jihan menjadi penggoda bayaran.

"Kita kan bukan pelakor, Lau. Justru kerjaan kita ini membantu para wanita di luar sana menguji kesetiaan para pasangannya." ucap Jihan atas profesi sampingan yang mereka geluti saat ini.

Entah ide gila dari mana, Jihan menawarkan jasa untuk menggoda para pria. Tapi anehnya, cukup banyak yang tertarik menyewa Jihan. Hingga gadis itu mulai kewalahan karena banyaknya permintaan.

"Lau, lo lagi butuh duit kan?" tanya Jihan sewaktu Laura sempat mengeluhkan kegusarannya karena uang hasil gajinya tak bisa mencukupi kebutuhannya beserta keluarganya di kampung.

"Gue ada tawaran buat lo? Kerjanya pas ada klien yang minta jasa kita aja."

"Lo punya kerjaan sampingan?" 

"Hm, begitulah."

"Apaan? Gue mau dong, Ji." Laura rasa tak ada salahnya mencari uang tambahan. Dan tak hanya terpaku pada gajinya saat ini. 

Jihan meringis, lalu memberitaukan pekerjaan sampingannya, "jadi penggoda bayaran."

"Hah! Lo gila?!" 

Tapi sekarang, Laura ikut terjun ke dalam kegilaan yang Jihan ciptakan. Menjadi penggoda bayaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status