"Sepertinya kalian dekat," celetukan itu membuat pergerakan Darius yang hendak memasang sabuk pengaman sempat terinterupsi beberapa detik. Mencerna maksud dari kata-kata yang dilontarkan Regina padanya.Mengela napas, Darius tak segera memberi jawaban. Pria itu memilih melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda untuk memasang sabuk pengaman. Walau tau wanita di sampingnya tengah menekuk wajah masam."Tentu saja kami dekat," balas Darius kemudian. Tapi mungkin dia memilih kata-kata yang kurang tepat. Karena jawaban yang disuguhkan menambah kadar kekesalan kekasihnya. "Laura sekretarisku, ingat?" Tambahnya sebelum Regina memuntahkan kemarahan."Apa hubungannya?""Tentu saja ada, Na. Kami bekerjasama di kantor. Beberapa kali dia ikut makan siang bersamaku saat menemui klien. Atau jika sedang malas keluar untuk mencari makan. Aku biasanya meminta tolong pada Laura memesankan makanan. Dan memberitaunya beberapa hal yang aku kurang suka. Juga makanan yang menajdi pantangan untuk aku maka
Sepi meraja. Merayap dan memerangkap dua sosok di dalam mobil yang kini melaju dengan kecepatan sedang. Melalui ekor mata. Laura mencuri pandang kearah Darius. Aroma pria itu menguar kuat, bahkan mengalahkan pengharum mobil. Bukan. Yang menyerbu indra penciuman Laura bukan sesuatu yang membuatnya mual. Justru sebaliknya. Aroma pria itu membuat jantungnya berdegup genit. Kok bisa, orang yang baru selesai olahraga justru menguarkan aroma seksi begini? Sebenarnya sudah terendus setiap Laura berdekatan dengan Darius. Tapi sewaktu di luar masih agak samar. Dan ketika terperangkap berdua dengan pria itu di dalam mobil. Aromanya kian menjadi-jadi. Pantas saja Regina hobi menggelayuti pria itu. Astaga! Fokus! Kenapa pikirannya jadi melantur kemana-mana? Apa aroma tubuh Darius memiliki efek samping mengacaukan pikiran seseorang? Atau hal tersebut hanya berlaku untuk Laura? Aneh. Biasanya dia memiliki imun dan kebal terhadap pria tampan. Buktinya tak pernah kepincut para pria kliennya
Bahkan dalam mimpi sekali pun, Laura tak pernah membayangkan, apa yang saat ini tengah dilakukannya bersama Darius. Benar-benar bisa terjadi.Pria yang selalu memasang wajah serius. Bahkan garang saat menemukan hal yang menurutnya tak sesuai standar versi dirinya ketika mengurusi pekerjaan, akan bertransformasi bak monster yang begitu ditakuti.Tak terkecuali dengan Laura yang enggan berurusan dengan pria itu di luar persoalan pekerjaan.Sayangnya, takdir menuntun Laura untuk lebih banyak melibatkan diri pada pria yang kini diam-diam dia foto. Ck! Bagaimana bisa seorang pria yang tengah mendorong troli belanja bisa tampak begitu keren? Darius lebih mirip seperti seorang model yang tengah melakukan pemotretan dengan background rak-rak barang yang ada di super market.Pria itu mendorong troli belanja di sampingnya. Mengikuti kemana pun langkah Laura menyusuri setiap rak barang yang tengah ditujunya."Bapak nggak capek?""Capek?" dengan kening mengernyit bingung, Darius menatap gadis y
"Loh, Pak Darius? Mau nonton juga?" memasang wajah terkejut, Laura menyapa bosnya. Tentunya pria itu tak sendiri. Ada wanita berambut sebahu yang menggelayut manja dilengan Darius. Tawa bahagia yang sejak tadi mengudara seketika luruh. Mendapati sosok Laura yang menyapa kekasihnya."Iya Lau, kamu mau nonton juga?"Terkekeh sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, Laura memberi anggukan, "iya dong, Pa. Ke bioskop ya mau nonton. Masa nyuci baju?""Sayang, kita makan dulu yuk, filmnya masih satu jam lagi kan? Aku laper," menggoyang-goyangkan lengan Darius yang berada dipelukannya, Regina berusaha mencuri atensi kekasihnya.Ada rasa tak rela melihat perhatian pria itu terbagi untuk wanita lain."Sayang ...." Regina kembali merengek mendapati Darius tak segera menggubrisnya."Yasudah, ayo," jawab Darius, kemudian beralih menatap Laura yang sejak tadi memerhatikan interaksi mereka, "hm, Lau, saya duluan, ya. Selamat menonton.""Ah, oh, iya Pak, terima kasih. Bapak juga selamat
"Loh, Pak Darius?"Suara itu bak pemantik ledakan dikepala Regina. Setelah susah payah memperbaiki moodnya. Kini kembali luluh lantak karena keberadaan Laura.Astaga ..., dari sekian banyak film yang terputar di gedung bioskop ini, kenapa harus menonton film yang sama dengannya serta Darius?Bagaimana caranya menjauhkan wanita itu?!Dan lagi, tunggu!A—apa yang wanita itu lakukan?! Kenapa menempati kursi di sisi kanan Darius? Sementara Regina sudah lebih dulu menduduki kursi bagian kiri pria itu.Jadi sekarang, posisi Darius berada di tengah-tengah."Kamu menonton ini juga?""Iya Pak, penasaran dari kemarin tapi masih maju-mundur soalnya belum dapat waktu yang tepat. Akhirnya kesampaian juga. Eh, nggak nyangka Bapak nonton film yang sama. Tau gitu kan, tadi barengan masuk ke sininya."Enak saja! Dia kira Regina sudi?Tentu tidak!Dengan wajah tertekuk kesal, Regina mempererat pelukannya dilengan Darius. Lagipula untuk apa kekasihnya itu melakukan sesi ramah tamah pada Laura?Tidak bia
"Bagaimana perkembangannya?" Ratu melempar tanya. Bahkan di saat pantatnya baru saja mendarat di atas kursi. Tapi seperti biasa, wanita paruh baya itu enggan berbasa-basi."Cukup baik, Bu.""Cukup?" beo Ratu dengan kening mengernyit tak suka. "Itu jelas bukan jawaban yang saya harapkan.""Bu, saya baru memulai pendekatan dengan Pak Darius.""Tapi kalian sudah mengenal lama.""Itu tidak ada korelasinya Bu. Saya bekerja secara profesional sebagai sekretaris Pak Darius. Di luar itu, kami jarang membahas hal yang tak berkaitan dengan pekerjaan."Ratu mengela napas, berusaha menebalkan kesabaran dari rasa kesal yang menggelayuti hatinya."Lalu bagaimana perkembangannya di lapangan? Apa Darius dan perempuan itu masih lengket?"Meringis, Laura tak segera memberi jawaban. Meraih minuman yang tersuguh di depannya. Ia teguk beberapa kali, meletakan gelasnya ke atas meja lagi. Baru kemudian melontarkan jawaban."Cukup sulit memisahkan mereka karena Pak Darius cukup bucin sama pacarnya, Bu.""Ben
"Hadeh, gue kira lo hilang dari peradaban," oceh Jihan ketika membukakan pintu apartemennya untuk Laura.Tak segera menjawab. Laura mendorong bahu sahabatnya agar segera menyingkir dan membuatnya bisa memasuki apartemen wanita itu.Mengempaskan tubuh lelahnya di atas sofa, Laura mengembuskan napas lega. Menyamankan diri ketika akhirnya bisa meluruhkan rasa lelah."Capek banget ya nyari duit."Berkacak pinggang di depan sahabatnya yang tengah berleha-leha, Jihan mendengkus, "tumben ngeluh.""Gue juga manusia biasa, yang kadang mengeluh soal hidup. Tapi seringnya disuarakan dalam hati. Nggak koar-koar kayak lo.""Gue nggak ngeluh, cuma curhat sama diri sendiri."Mengibaskan tangan tak acuh, Laura enggan menanggapi ocehan Jihan, "lo ada tamu suguhin minum kek. Panas banget di luar, kasih yang bikin seger, Ji.""Apaan? Sini gue ceburin ke bak mandi biar seger.""Buruan Ji, dehidarasi nih kayaknya gue.""Lo kalau dehidrasi bukan butuh air minum. Tapi segepok uang biasanya.""Itu sih kalau
"Masuk!" Darius berseru keras, agar sosok yang baru saja mengetuk pintu bisa mendengar instruksinya.Ketika pintu ruang kerjanya terkuak. Sosok Laura muncul dengan senyuman secerah matahari di jam dua belas siang."Pagi Pak," sapa gadis itu, usai menutup pintu dan mengayunkan langkah. Memasuki ruang kerja Darius."Pagi," Darius membalas singkat, dengan kening yang mengernyit mendapati kedatangan sekretarisnya sembari membawa nampan alih-alih berkas yang biasa diberikan padanya.Berdeham-deham meluruhkan rasa gugupnya. Laura meletakan nampan berisi segelas susu coklat dan sepiring sandwich.Ikut menjatuhkan pandangan pada apa yang disuguhkan Laura. Kernyitan dikening Darius kian dalam, "ini apa?""Susu coklat dan sandwich."Apa pria itu masih mengantuk? Masa iya minuman dan makanan di depannya dia tak tau namanya?Mengela napas panjang Darius menutup laptop yang sudah dipelototinya lima belas menit yang lalu. Sesampainya di kantor dia memang segera mendekam di ruangannya untuk menyeles