“Non Bening mau pergi? Biar Bapak aja yang nganter, sekalian ngider?”
Bening tersenyum ramah pada suami Ruri yang berprofesi sebagai ojek on-line. Sudah dua hari ini, Bening menumpang di rumah Ruri dan hari ini, ia berencana pergi mendatangi kantor pemasaran perumahan untuk melihat-melihat
“Makasih, tapi saya sudah bisa naik motor, kok, Pak,” kata Bening tidak ingin merepotkan. Bening juga tidak ingin berlama-lama karena terlalu sungkan dengan kebaikan Ruri. Selain karena satu hal itu, selama dua hari berada di rumah Ruri, Bening tidak dapat berpakaian dengan bebas. Ia harus memakai pakaian yang tertutup, demi menghormati sang pemilik rumah.
“Beneran kakinya sudah nggak papa dipakai naik motor?” tanya Ahmad memastikan lagi.
“Nggak papa, Pak,” ujar Bening lalu b
Jadi parno sendiri mau update bab, ohohoho. Mohon doanya biar saia nggak ngeLag lagi kek kemarin yakk... huhuhu .... Kisseedd ...
“Pencairannya sekitar tujuh sampai empat belas hari kerja.” Rohit sedikit terkejut ketika melihat Bening yang mendadak mendatangi mejanya. Ternyata, gadis itu tengah meminta penjelasan mengenai tenggat waktu pencairan semua wasiat peninggalan Sinta. Setelah diberi penjelasan, gadis itu pun bisa tersenyum paham dan tidak bertanya macam-macam kepadanya. “Kenapa? Sudah nggak sabar nunggu pencairannya?” Senyum yang terulas di wajah Bening seketika berubah datar. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Rohit kali ini sungguh membuatnya tersinggung. Bukan masalah sabar atau tidaknya, akan tetapi, Bening tidak ingin jika hak yang menjadi miliknya itu tiba-tiba berpindah karena ada konspirasi di belakangnya. Sejak ia melihat Rohit terlihat akrab dengan Ilham maupun Vira, di situlah
Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali.Dengan hot pants dan sweater oversize yang menutup sampai ke bawah bokongnya, Bening melenggang santai keluar dari terminal kedatangan sambil menarik trolly bagnya. Memesan taksi, dan langsung menuju ke hotel berbintang seorang diri, untuk berlibur melepas semua penat yang ada di hati.Setelah berpikir ulang, Bening akan menunggu semua wasiat dari Sinta keluar, barulah ia akan membeli sebuah rumah sederhana. Sementara itu, Bening memilih untuk tinggal di kosan untuk beberapa waktu, agar ia bisa bebas pergi dan melakukan segalanya daripada berada di rumah Ruri. Andai, rumah itu hanya dihuni olehnya dan Ruri saja, mungkin Bening tidak akan masalah berada di sana sampai ia mendapatkan rumah baru. Namun, karena ada suami wanita itulah, yang membuat Bening tahu diri dan tidak enak hati untuk berlama-lama ada di sana.
Aga berbalik setelah membayar barang yang dibelinya di sebuah minimarket, yang berada di sekitar hotel tempat ia menginap. Terpaku dan terkesiap, ketika menatap gadis yang tengah antre di belakangnya dengan menahan tawa.“Permisi, Pak, saya mau bayar.”“Oh, iya, silakan.” Aga menyingkir dan membiarkan mantan sekretarisnya itu membayar barang belanjaannya. Napas Aga kembali tertahan, ketika melihat pakaian yang dipakai oleh gadis itu. Mini dress putih dengan tali spaghetti yang menggantung di atas pundak, hanya bisa membuat Aga kembali mengelus dada.Namun, yang aneh bagi Aga ialah, diantara sekian banyak wanita yang mengenakan pakaian yang sangat kekurangan bahan di sana, maniknya hanya tertuju pada gadis itu seorang. Aliran darahnya pun langsung berdesir hebat, jika melihat mantan sekr
Aga menggeram. Memandang wajah pasrah Vira yang terus mendesah di bawahnya. Tubuhnya sudah berpeluh, dan berusaha untuk mencari kenikmatan yang sudah tercetak di dalam angan. Namun, pikiran Aga saat ini tengah melayang entah ke mana. Yang ada sekarang, hanyalah sebuah penyatuan hampa yang tidak bisa Aga jelaskan dengan kata-kata.Meskipun Aga terus saja memacu miliknya lebih dalam, tapi, tidak ada sebuah rasa hangat penuh cinta seperti dahulu kala. Tiba-tiba saja, semua terasa hambar.“Ga … buruan …” desah Vira ingin kembali meledak di bawah kungkungan sang suami. “Bareng.”Aga berdecak kecil, dan terus mendorong miliknya agar bisa meraih sebuah pelepasan yang sudah didambanya selama ini. Sebuah hasrat yang ingin ia lepas di tempat semestinya. Yakni sang istri, yang akhirnya bis
Bahu Vira merosot lemas seketika, saat Aga menjatuhkan talak kepadanya. Aga bahkan tidak berpikir dua kali, atau memberi pilihan pada Vira seperti saat itu. Suaminya itu, langsung memutuskan untuk berucap kata talak, tanpa keraguan yang tersirat di maniknya.“Aga!” Vira buru-buru menyusul Aga yang sudah keluar dari kamar mandi. Kakinya melangkah tanpa ragu untuk menghampiri Aga yang baru saja menanggalkan bathrobenya. Tubuh polos itu, mengenakan pakaian yang baru saja Aga ambil dari koper yang dibawa oleh Vira. “Tarik lagi omonganmu barusan! Kamu bilang demi Awan, tapi kamu tetap jatuhin talak sama aku!”“Aku, sudah berusaha semaksimal mungkin, Viraa.” Aga menggeram sambil menarik resleting celana jeans yang baru dipakainya. Ia mengambil sebuah kaos, lalu memakainya dengan cepat. “But, we’re done. Rasa itu sudah n
Satu suapan terakhir lobster omelet baru saja masuk ke dalam mulut Bening, ketika sudut matanya melihat sosok Vira memasuki restoran yang berada di lantai lobi. Wanita itu berjalan seorang diri menuju buffet, dan tengah memilih beberapa makanan yang akan disantapnya untuk sarapan.Manik Bening kembali tertuju pada pintu restoran. Ia menunggu sosok lain yang seharusnya ada bersama Vira, tapi, sepertinya wanita itu hanya sarapan seorang diri. Ternyata, Aga benar-benar menghabiskan bulan madu dengan istrinya, bukan dengan wanita lain seperti yang sempat terlintas di otak Bening.Namun, mengapa pria itu tidak menemani Vira untuk sarapan di pagi hari seperti ini? Apa Aga masih tertidur karena telah menempuh malam panjang dan membuat pria itu masih enggan beranjak dari tempat tidur?Tiba-tiba saja, sekelebat pikiran kemba
“Kamu … APA?” Sedari awal Aga datang ke rumah, Arum sudah mulai merasa curiga. Sebagai seorang ibu, Arum jelas memiliki firasat tidak nyaman karena putranya itu seharusnya berada di Bali untuk berbulan madu bersama sang istri. Baru kemarin berangkat, tapi pagi ini Aga sudah datang ke rumah dan akhirnya menyampaikan kabar yang langsung membuat Arum syok. “Aga, apa kamu sadar dengan yang sudah kamu bicarakan?” tanya Ernest mencoba bersikap tenang dan ingin tahu duduk permasalahan yang ada terlebih dahulu. “Kamu benar-benar sudah nalak Vira tadi malam?” “Sudah.” Aga mengangguk yakin dan sudah tidak ada keraguan sedikit pun di hatinya. Tadinya, Aga kira pernikahan mereka masih bisa diselamatkan dengan kembali membangun hubungan emosional, terutama secara fisik dengan Vira. Namun, ada rasa yang ternyata sudah hilang d
Aga mendesah panjang setelah memarkirkan mobilnya di tempat parkir wali murid sekolah Awan. Aga merebahkan tubuh pada jok mobil yang baru saja ia mundurkan. Mengeluarkan ponsel dari jaket, lalu menyalakannya. Aga melihat beberapa misscall dari Vira, serta chat dari wanita yang saat ini telah menjadi mantan istrinya. Aga memang sengaja mensenyapkan ponsel tersebut setelah berada di Jakarta. Aga hanya tidak ingin diganggu, dengan getar ataupun dering ponsel untuk sementara waktu. Karena waktu pulang sekolah Awan masih lima belas menit lagi, Aga langsung memanfaatkan hal tersebut untuk menelepon seorang gadis yang sering membuatnya kesal. Gadis yang dihubunginya tidak kunjung mengangkat, pada panggilan pertama. Namun, Aga jelas tidak akan patah semangat, ia kembali mencoba menghubungi nomor tersebut dan … akhirnya diangkat. “Halo, Ning,” sapa Aga ketika suara renyah itu menyapa di seberang sana. “Hm? Ada ada Pak?” tanya Bening dengan int