“Bu, dia-”
“Saya teman Mas Dipta. Saya dengar anaknya meninggal jadi saya datang kesini.” Begitu lancar kata-kata itu keluar dari bibir Jingga. Bisa-bisanya berucap begitu disaat hatinya luluh lantak. Jingga bukan wanita yang tak berhati, tidak mungkin menambah luka di keluarga Dipta dengan memberitahu jika dirinya adalah kekasih lelaki itu.Dipta terdiam kaku, lidahnya bahkan teras kelu. Ingin sekali menarik Jingga dan membawanya pergi lalu menjelaskan semuanya. Hal-hal yang membuat Jingga salah paham karena hanya menyimpulkan dari sudut pandangnya tanpa tahu fakta sebenarnya.“Terima kasih karena kamu meluangkan waktu sampai datang ke pemakaman cucu saya, padahal ini hari pernikahanmu, iya 'kan?”Jingga mengangguk lemah menjawab perkataan ibunya Dipta. Ia bahkan baru kali ini bertemu dengan ibunya Dipta yang katanya tinggal di luar negeri hingga tak bisa datang di acara pernikahan yang gagal itu.“Saya … turut berduka cita.” Suara Jingga bergetar dengan air mata yang bergulir membasahi pipinya. Dengan kasar ia menghapusnya.Mungkin mereka yang tidak tahu akan menganggap Jingga juga merasa kehilangan dan sedih tapi Dipta yang mengerti sangat tahu Jingga menangis karenanya, bukan karena kepergian Syaqila yang sama sekali tidak dikenal oleh Jingga.Jingga lebih dulu melangkah menjauh, ingin secepatnya pergi dan berharap tidak melihat lagi lelaki yang sudah menghancurkan hidup dan harapannya.Dipta rencana ikut pulang namun Jingga memenuhi benaknya membuat Dipta tidak tenang.“Berhenti di sini,” ucap Dipta pada sang sopir.“Dipta, mau kemana?” tanya ibunya.“Aku pulang sendiri nanti, kalian pulang aja duluan.”“Iya tapi kamu mau kemana, Mas? Aku butuh kamu.” Rahel menahan tangan Dipta saat lelaki itu akan keluar.“Aku nggak lama.”Sebenarnya berat untuk Dipta jika harus memilih bersama keluarganya atau mengejar Jingga tapi bagi Dipta saat ini ia hanya ingin menjelaskan semuanya pada Jingga. Merasa bersalah karena mengacaukan hari pernikahan mereka tapi siapa yang tahu jika akan ada musibah yang juga membuat Dipta hancur, ia kehilangan putri kecilnya. Padahal pagi itu Dipta sudah bersiap untuk pergi ke rumah Jingga.Tidak sempat dicegah, Dipta sudah menghilang begitu saja. Ia mencari keberadaan Jingga karena ditelepon tidak bisa. Ia baru melihat lagi ponselnya dan banyak panggilan masuk dan pesan dari Jingga juga Pak Dandi.Sosok yang dicari Dipta kini menyeret langkahnya dengan berat, ia bahkan tidak tahu kemana kakinya melangkah. Tidak peduli pada orang-orang yang melihatnya dengan heran karena mengenakan baju pengantin sambil berjalan menyusuri trotoar. High heels yang tadi menghiasi kakinya entah dimana keberadaannya. Jingga melangkah tanpa alas kaki.Air matanya sudah mengering menyisakan bekasnya yang menganak sungai di pipi mulus itu.“Bego, bisa-bisanya nggak tahu calon suami sendiri ternyata suami orang.” Jingga menertawakan kebodohannya.Tidak atau adanya kejadian ini akan membuat Jingga tetap menyandang status sebagai istri kedua, baik jadi menikah dengan Dipta atau terpaksa menikah dengan Awan.Hidupnya yang orang bilang begitu sempurna kini hanya sebuah kata karena nyatanya kisah asmara yang Jingga banggakan itu ternyata malah menjadi masalah terbesar yang pernah ia jalani. Betapa malunya ia saat tahu lelaki yang dua tahun membersamainya ternyata suami orang.“Jingga … Jingga ….”Wanita itu terus melangkah, tidak mendengar seseorang memanggil, ia terlarut dalam lamunan sampai tidak memperhatikan jalan bahkan kakinya terluka saja tidak dirasa.Saat tangannya dicekal barulah langkah Jingga terhenti, refleks ia menoleh mendapati Dipta yang berdiri di hadapannya masih dengan nafas yang memburu.“Lepas!” Jingga menyentak tangannya agar lepas dari Dipta tapi tenaga wanita itu terlalu kecil.“Sayang, tolong dengarkan dulu penjelasan aku.” Dipta memohon.“Penjelasan? Memang apa yang aku lihat tadi itu salah? Apa yang aku denger itu nggak bener? Bangs*t, bajing*n!” pekik Jingga hingga membuat orang-orang memperhatikannya. Ia terus mengumpat menumpahkan kekecewaannya.“Bukan gitu tap-”“Berarti bener 'kan? Jadi aku nggak perlu penjelasan apapun dari kamu, Mas.”“Aku minta maaf, aku nggak niat buat bohongin kamu.”Jingga tertawa sinis, “nggak niat bohongin tapi kamu nipu aku secara mentah-mentah! Apa aku itu tolol banget di mata kamu, Mas? Dua tahun aku ditipu oleh lelaki beristri.” Ia semakin histeris tak kuat menahan sesak yang memenuhi rongga dada.“Tenang dulu, Jingga. Kita bicara baik-baik.” Dipta mencoba menenangkan Jingga dengan cara menarik wanita itu ke dalam pelukannya.Jingga menjerit memukul punggung Dipta yang malah semakin erat memeluknya, “jangan sentuh aku. Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sekarang. Dan aku minta jangan pernah lagi kamu muncul di hadapan aku.”Dipta terperangah, “a-apa maksud kamu? Nggak usah bercanda, Jingga. Aku tahu kamu marah sama aku tapi jangan kayak gini, aku nggak bisa hidup tanpa kamu.”“Bullshit! Apapun yang keluar dari mulut kamu, aku nggak percaya.”Pelukan mereka mengendur membuat Jingga memiliki kesempatan untuk melayangkan tinjuan mengenai perut Dipta, tidak lupa menyundul hidung lelaki itu dengan kepalanya. Lelaki itu meringis membuat tangannya terlepas dari tubuh Jingga yang sekarang berlari menjauh.“Jingga!” Dipta berteriak, berlari mendekat pada Jingga yang kini tersungkur di aspal.Bersambung ….“Mas, mau mandi duluan?” tanya Welly dengan malu-malu.“Kenapa nggak sama-sama aja?” Awan memainkan alisnya membuat semburat merah di pipi istrinya langsung muncul.Meski terkenal badboy, Awan tidak pernah berpikir untuk merusak wanita yang dicintainya.“Aku udah mandi sebelum Mas pulang tadi.”“Ya udah.” Awan melangkah masuk ke kamar mandi.Beruntung karena tadi Welly tidak banyak tanya soal kepentingan mendadak yang Awan maksud.Pernikahan yang Awan lakukan semata-mata untuk menyelamatkan nama baik keluarga Jingga. Bahkan Pak Dandi berkali-kali memohon pada Awan hingga akhirnya Awan bersedia meski berat.Pernikahan kedua itu Awan rahasiakan dari keluarga, akan bahaya jika sampai terbongkar. Meski jika orang tuanya tahu juga mereka tidak akan peduli karena hubungan Awan dan kedua orang tuanya bisa dibilang jauh dari kata baik, mereka bahkan datang saat Awan menikah hanya sekedar formalitas saja, selama ini ia mendapatkan kasih sayang dari orang tua sahabatnya sendiri, Jingga. Jadi wa
Tangis Jingga pecah melihat kakinya yang berlumuran darah karena serpihan beling yang menancap, itu yang membuatnya langsung terjatuh.“Ibu ….” Jingga berteriak memanggil ibunya seperti anak kecil sambil menangis tersedu-sedu.Dipta berjongkok di depan Jingga melihat kondisi kaki wanita itu dan berniat melihat lebih jelas serpihan belingnya namun Jingga dengan cepat menepis.“Jangan pegang-pegang!” sentaknya galak.Lelaki itu dengan cepat mengusap cairan merah yang keluar dari hidungnya akibat sundulan kepala Jingga tadi.Jingga berniat untuk kembali berdiri.“Sayang, aku bakalan biarin kamu pergi tapi seenggaknya obati dulu luka kamu.”Tidak memperdulikan Jingga yang protes dalam gendongannya, Dipta membawa wanita itu menuju apartemennya yang memang kebetulan berada di dekat sana. Hanya tinggal menyebrang, apartemen yang rencananya akan Dipta tempati setelah menikah dengan Jingga.“Tolong. Pak tolong saya, Pak. Saya mau diculik,” teriak Jingga dengan kakinya yang bergerak-gerak berha
Dipta terpaku mendengar penuturan Awan.“Becanda lo nggak lucu, Wan!”Awan terbahak, “ngapain juga bohong, kalau nggak percaya tanyain ke Bapak mertua gue sana. Sampai lo deketin istri gue lagi, gue pastiin lo lebih parah dari ini!”Awan menarik Jingga keluar dari apartemen itu, Awan bahkan sampai tidak memperhatikan Jingga yang jalannya terseok.Dipta masih berada di dalam tidak sanggup untuk berdiri karena tubuhnya terasa sangat remuk apalagi sakit di bagian ulu hatinya setelah mendapat hantaman tangan Awan.“Wan, pelan-pelan. Kaki gue sakit.” Jingga meringis merasakan kakinya berkedut nyeri.Beberapa langkah menuju lift, Awan menghentikan langkahnya. Terlalu emosi hingga tidak menyadari keadaan Jingga.“Gendong.”Meski tidak berhenti menggerutu, Awan tetap menuruti kemauan Jingga. Berjongkok di hadapan wanita manja itu yang kini sudah berada di punggung Awan.“Kebanyakan dosa kayaknya lo itu, badannya kurus kering macam ranting tapi beratnya nggak beda jauh sama gajah.”“Kayak pern
“Makan dulu ya, dari pagi kamu belum makan apapun. Ibu nggak mau nanti maag kamu kambuh lagi.” Bu Sukma mencoba membujuk Jingga yang masih dalam posisinya dengan berbaring memeluk boneka raksasa yang dihadiahkan Dipta di tahun pertama mereka bersama.Saking kalutnya pikiran wanita itu sampai tidak menyadari barang pemberian Dipta. Mungkin jika sadar ia akan langsung membakar boneka itu.“Aku nggak lapar, Bu.”“Ibu taruh di sini ya. Harus kamu makan sebelum tidur.” Bu Sukma memutuskan untuk membiarkan putrinya itu sendiri.Jingga memang sudah tidak menangis lagi, mungkin air matanya sudah mengering. Lelah yang dirasanya sama sekali tidak digubris, pikiran Jingga melayang.“Kamu jahat, Mas.” Tiga kata itu lolos dari mulut Jingga bersamaan dengan bayangan momen kebersamaan mereka selama ini.Saat ini Jingga tidak ingin melakukan apapun hanya meresapi rasa sakit yang menghujam jantungnya begitu dalam.Jika tahu dari awal memang Jingga tidak akan menerima Dipta dan itu kenapa Dipta menyemb
“Salah aku apa, Mas? Kenapa kamu kayak gini.” Rahel sudah berkaca-kaca karena sikap suaminya tidak pernah berubah.“Kamu nanya salah kamu apa?” Pertanyaan Dipta itu seolah menyindir.“Mas, aku ‘kan udah minta maaf loh. Itu udah berlalu, nggak usah dibahas lagi.”Dipta tersenyum kecut. “Aku udah maafin kamu tapi bukan berarti kita masih bisa sama-sama.”Tidak ingin akhirnya menjadi keributan Dipta langsung keluar dari kamar itu. Ini sudah malam dan tidak pantas mereka ribut di hari berkabung seperti ini.“Aku nggak mau pisah, pokoknya nggak akan aku biarin Mas Dipta pergi!” Rahel menggeleng, tangan wanita itu terangkat menjambak rambutnya frustasi. “Argh! Si*lan!” jeritnya.Teriakan Rahel membuat Samudra tersentak dan menangis karena kaget.“Ma-ma.”Rahel juga ikut kaget, “iya, sayang. Maafin Mama.” Ia naik ke atas ranjang dan menenangkan Samudra.Rahel tidak pernah curiga bahkan tidak berpikir jika Dipta selingkuh karena di matanya lelaki itu adalah sosok setia. Bagi Rahel, Dipta adal
Awan memegangi pipinya dengan shock.“Mas, Mas Awan!”“Aku nggak mau, aku nggak mau.”Welly menepuk pundak suaminya itu. “Mas, kamu kenapa sih? Nggak mau apa?”Awan terhenyak. “Kamu nggak marah?”Wanita itu mengernyit heran. “Marah kenapa?”“Soal yang tadi aku bilang, kamu aja sampe nampar aku. Masa iya nggak marah.”“Nampar kamu? Kapan aku nampar kamu? Nggak beranilah aku nampar suami aku sendiri. Ayo lanjutin makannya, habis itu istirahat lagi kamu pasti masih capek makanya agak oleng.”Awan menyapukan pandangannya ke sisi kiri dan kanannya, ternyata ia masih ada di meja makan. Berarti tadi hanya lamunan Awan saja tidak benar-benar terjadi. Akhirnya ia bernafas lega, takut sekali tadi karena Welly mengatakan ingin pisah tapi ternyata itu bukan nyata.Ia malah jadi ragu untuk bicara karena lamunan yang dibuatnya tadi. Awan ingin segera menyelesaikan ini karena tugasnya sebenarnya hanya menggantikan Dipta untuk menjaga nama baik keluarga Jingga. Berarti tidak akan bertanggung jawab pa
“Udah sebulan lebih ternyata.” Awan memperhatikan kalender di ponselnya.Memang waktu tidak terasa sampai Awan pun lupa statusnya yang memiliki dua istri. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai suami Welly tapi melupakan Jingga yang juga istrinya.“Mas, nanti pulangnya kalo bisa cepet ya.”Alis Awan berkerut. “Kenapa? Kamu nggak enak badan? Mau dianter ke dokter?”“Nggak kok. Ini 'kan malam minggu, kita jalan-jalan aku juga mau kasih hadiah buat kamu.”“Hadiah apa?”“Nggak seru kalau aku kasih tahu sekarang, Mas!”“Ya udah, aku nggak usah kerja aja biar kamu kasih tahu sekarang.” Awan memainkan alisnya.Welly tergelak melayangkan pukulan kecil di pundak suaminya. “Nggak boleh. Kamu harus kerja, jangan nakal.”“Aku nakal cuman ke kamu doang, sayang.” Awan menjawil gemas dagu istrinya itu.Kentara sekali mereka seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Meski hidup jauh dari kata mewah namun mereka begitu bahagia menjalaninya. Awan memang memilih untuk bersama dengan Welly menjalani k
FlashbackTangan Jingga ditarik membuat tubuh wanita itu menghantam dada kekar di depannya. Jingga menelan ludah dengan susah payah kala aroma maskulin itu menggelitik hidungnya. Ia begitu merindukan aromanya yang selalu menenangkan.“Lihat-lihat kalau jalan dong, Mas!” Protesnya, ia menarik Jingga agar tidak tersenggol pejalan kaki yang lain.“M-mas ….”Satu kata itu lolos dari mulut Jingga, ia bahkan tidak protes saat tangannya ditarik menuju taman yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri tadi.“Kamu baik-baik aja 'kan?”Jingga menggeleng dengan matanya yang sudah berembun. “Semenjak kejadian itu aku nggak pernah baik-baik aja, Mas.”Tidak bisa disangkal jika Jingga sampai detik ini masih mencintai Dipta meski lelaki itu sudah menorehkan luka yang cukup dalam. Sedalam apapun luka jika cintanya lebih besar maka luka itu akan sembuh dengan sendirinya.“Maaf.” Tangan Dipta terangkat mengusap pipi pujaan hatinya yang kini sudah basah dialiri air mata.“Kamu jahat!” Jingga menghujani d