Share

Bab 7

Author: Wisdan
Cindi butuh waktu lama untuk bisa bersuara.

“Kenapa bisa begini?”

Pandangannya menggelap berulang kali, dia hanya bisa menangkap potongan-potongan kalimat yang terdengar putus-putus.

“Sebuah misi berbahaya, dia terluka parah. Kakakmu bilang, jangan temui dia dulu.”

Cindi menggigit bibir erat-erat, setiap kata seakan berdarah. “Kenapa?”

Di seberang, suara itu terdiam cukup lama, baru kemudian menjawab pelan,

“Kakakmu pasti punya pertimbangannya sendiri. Cindi, tenanglah. Sebelum kamu dipindahtugaskan, markas akan mengatur semua hal antara kamu dan kakakmu. Malam ini akan ada orang yang menjemputmu, mohon bersiap.”

Cindi menutup matanya. Setelah beberapa saat, dia menjawab dengan suara serak,

“Baik.”

Rasa sakit itu seperti menggiling syarafnya. Dia seolah kembali pingsan dan mulai teringat akan kenangan lama.

Setelah bersama Zaki, kakaknya tidak mendukung hubungan mereka. Namun, Zaki pernah berlutut di hadapan kakak Cindi dan bersumpah, “Aku akan mencintai Cindi dengan nyawaku sendiri dan akan memberikan seluruh kebahagiaanku untuknya.”

Sang kakak pernah berkata bahwa sebagai polisi kriminal yang sudah bertahun-tahun di lapangan, dia punya naluri tajam terhadap seseorang. Zaki membuatnya merasa tidak nyaman. Tapi pada saat itu, Cindi mengira itu hanya karena kakaknya punya trauma terhadap profesi negosiator, akibat kejadian yang melibatkan ibu mereka.

Cindi mencoba memperbaiki hubungan antara kakaknya dan Zaki, tapi belum berhasil, dan kakaknya tiba-tiba memutuskan hubungan dengannya.

Cindi terbangun dalam kebingungan, air mata telah membasahi seluruh wajahnya.

Setelah sadar, pikirannya langsung tertuju pada pertanyaan kenapa Zaki berusaha memutuskan hubungannya dengan kakaknya? Apa karena kakaknya menemukan sesuatu tentang Sukma?

Cindi tak sempat berpikir lebih jauh, yang dia inginkan hanyalah bertemu kakaknya sebelum dipindahkan, atau bahkan membawa sang kakak pergi bersamanya.

Cindi tak ingin membuang waktu. Dengan tergesa, dia pulang ke rumah, berniat mengambil barang dan pergi. Tapi di luar dugaannya, Zaki justru ada di sana.

Padahal mereka baru saja bertengkar hebat, tapi kini raut wajah Zaki tetap terlihat tenang, bahkan sempurna.

"Cindi, kamu sudah pulang. Mari kita bicara baik-baik."

Cindi menghindar, suaranya terdengar dingin, “Nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita.”

"Kenapa kamu nggak bisa mendengarkan penjelasanku? Dulu kamu nggak seperti ini!"

Cindi tertawa acuh tak acuh. Kepalanya masih dibalut perban, sorot matanya mati rasa dan tenang.

"Mendengarkan apa? Dengarkan penjelasanmu bahwa meskipun kalian nggak ada hubungan apa-apa, tapi dia mengandung anakmu?"

Mata Zaki langsung membesar, dia melangkah maju sambil berkata, "Itu nggak seperti yang kamu pikirkan! Itu hanya sebuah kecelakaan ...."

"Kecelakaan atau bukan, itu sudah nggak penting." Suara Cindi dipenuhi kelelahan. Dia berkata pelan, “Zaki, mari kita berpisah. Lagi pula ....”

"Aku nggak setuju!" Zaki tiba-tiba berteriak marah. "Kamulah yang memaksaku!"

Sebelum Cindi sempat bereaksi, Zaki mengeluarkan botol kecil dari sakunya, lalu menyemprotkan cairan ke wajah Cindi.

Aroma menyengat langsung menusuk hidung. Cindi segera menahan napas, tapi sudah terlambat. Tubuhnya melemas, jatuh ke pelukan Zaki.

“Aku nggak akan menerima perpisahan ini! Cindi, tanpa kamu, aku akan mati!”

Zaki menggeram pelan, lalu menggendong Cindi dan pergi dengan cepat.

Dalam keadaan setengah sadar, Cindi samar-samar mendengar suara di luar. Tapi kelopak matanya sangat berat. Tak peduli sekuat apa dia mencoba, Cindi tidak bisa membuka matanya.

Dia mendengar Zaki membawanya ke dalam mobil. Setelah waktu cukup lama berlalu, mobil berhenti, dan terdengar Zaki berbicara dengan seseorang.

“Aku nggak menyangka Cindi begitu kejam, bahkan ingin menggugurkan anak yang dikandung Sukma. Aku harus memisahkan mereka.”

“Pulau itu jauh, dia akan terombang-ambing di laut berhari-hari. Sama saja seperti dipenjara.”

“Dia ingin memasukkan Sukma ke penjara, maka dia juga harus merasakan seperti apa rasanya dipenjara.”

“Kak Zaki, terima kasih sudah membalaskan dendamku.”

Cindi mencium bau asin dari angin laut. dia diletakkan di atas kapal yang bergoyang, dan tak lama kemudian, kapal pun berangkat meninggalkan pantai. Suara ombak makin keras.

Lalu dia mendengar suara rendah Zaki, “Cindi, tunggu aku. Aku akan menjemputmu kembali.”

Cindi terbaring di sana, hatinya sama dinginnya dengan geladak kapal. Dia menggigit lidahnya, rasa sakit menyentaknya untuk membuka mata. Darah pun mengalir.

Zaki, kamu tidak akan sempat menjemputku.

“Telah mengirim permintaan ke markas, koordinat sudah dipastikan.”

Sebuah helikopter terbang diam-diam meninggalkan permukaan laut.

Di tepi pantai, Zaki berdiri lama, menatap ke arah perahu kecil yang menghilang di dalam kegelapan. Tenggorokannya terasa pahit, hatinya seperti kosong sebagian.

Di sampingnya, Sukma menggenggam tangannya.

“Kak Zaki, ayo kita pergi .…”

Belum selesai kalimat itu terucap, terdengar suara, “Boom!”

Sebuah ledakan besar menerangi laut. Ombak raksasa menyembur ke udara.

Zaki menatap tak percaya, matanya memerah, suaranya melengking penuh rasa putus asa, “Cindi!”

Perahu di laut itu telah hancur menjadi abu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 22

    Raut wajah Zaki tiba-tiba berubah bengis dan penuh amarah. Dia menatap Cindi dan berteriak keras, "Apa kamu jatuh cinta padanya? Sekarang kamu menjadi kekasihnya? Kamu mau menikah dengannya?"Setiap pertanyaan yang dia ucapkan membuat matanya makin merah.Cindi menarik napas dalam, lalu menatapnya dingin.Cindi berkata, "Apa urusannya denganmu? Sekarang pergi!"Zaki membalas dengan suara lantang, "Kenapa? Padahal dulu orang yang paling kamu cintai adalah aku!"“Dilarang berteriak di rumah sakit!” Beberapa dokter dan perawat segera menghampiri dengan wajah kesal sambil berkata, “Pak, silakan keluar sekarang!”"Katakan, Cindi!"Zaki seakan sudah kehilangan kendali. Dia dengan cepat melangkah ke depan, hendak menarik tangan Cindi. Namun, tidak lama kemudian, pergelangan tangannya dikunci kuat oleh seorang petugas kepolisian. Dengan wajah dingin, polisi itu menunjukkan identitasnya."Zaki, Anda diduga terlibat langsung dalam kecelakaan ini. Mohon kerja sama Anda untuk penyelidikan."Cindi

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 21

    Cindi melangkah keluar dari ruangan, menatap bunga mawar merah cerah di tangannya, lalu berkata pelan, "Sebenarnya, kamu nggak perlu sengaja sampai seperti itu untuk membuat memancing emosinya."Leo membuka kancing atas seragam militernya dan menjawab dengan santai,"Memangnya nggak boleh kalau aku hanya ingin memberimu bunga?""Boleh." Cindi tersenyum kecil, dia melanjutkan, "Tapi aku tetap mau bilang, sekarang aku nggak perlu lagi cinta dari siapa pun untuk membuktikan nilai diriku."Leo sempat terdiam, lalu tersenyum hangat. "Itu hal yang bagus.""Aku sudah bisa menyelamatkan diriku sendiri." Setelah mengatakannya, raut wajah Cindi terlihat damai. Awan mendung yang selama ini membayangi dirinya akhirnya sirna.Leo menatapnya dan melangkah mendekat, tapi tetap menjaga jarak yang pas."Tapi ... kamu nggak perlu menolak beberapa hal yang indah dalam hidup ini, ‘kan?"Leo menunjuk ke arah mawar di tangan Cindi dan berkata, "Seperti bunga ini, dia nggak akan jadi beban atau belenggu hany

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 20

    Cindi langsung pergi ke markas dan melaporkan Zaki dengan nama asli atas tuduhan melindungi penjahat dan melalaikan tugas serta kedisiplinan.Cindi memulihkan rekaman pengawasan di tangga dan langsung menjadikannya sebagai bukti langsung.Rekaman pengawasan dengan jelas menunjukkan Sukma mendorong Cindi hingga jatuh, sementara kesaksian Zaki saat itu menyatakan bahwa dia menyaksikan Cindi jatuh sambil mendorong Sukma.Cindi baru saja memberikan kontribusi besar dan tak seorang pun berani mengabaikan tuntutannya. Komandan langsung mengeluarkan perintah untuk segera menyelidiki masalah tersebut dan Zaki pun segera terkendali.Zaki tidak pernah tahu bahwa Cindi memiliki kemampuan seperti itu. Dia terkejut sekaligus sedih.Namun, Zaki tidak dapat membantah. Memang dialah yang menyakiti Cindi demi Sukma saat itu, dia sudah dibutakan oleh Sukma."Zaki, apa lagi yang ingin kamu katakan?"Zaki memejamkan mata, raut wajahnya dipenuhi kepahitan dan rasa sakit."Tidak ada."Dadanya seakan telah d

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 19

    Upacara pemberian penghargaan jauh lebih megah dari yang dibayangkan oleh Cindi. Misi yang mereka jalankan kali ini benar-benar luar biasa sukses. Dia berdiri di atas panggung bersama Leo dan yang lainnya, dengan medali kehormatan yang berat menggantung di pundaknya.Terdengar tepuk tangan bergemuruh dari bawah panggung. Di barisan paling depan, duduk kakaknya di atas kursi roda, bertepuk tangan sekuat tenaga dengan mata yang basah oleh air mata.Cindi tiba-tiba merasa ingin menangis.Dia seperti melihat bayangan ayah dan ibunya tidak jauh dari sana, berdiri dengan senyuman penuh kebanggaan di wajah. Cindi berkata dalam hati, “Aku nggak terus-menerus berjalan di jalan yang salah. Sekarang, apa kalian masih bisa merasa bangga padaku?”Komandan dan panglima berjabat tangan serta memeluknya. Setelah upacara selesai, Cindi menolak dengan halus ajakan ke pesta perayaan dan memilih berjalan sendirian di sepanjang jalan.“Cindi!”Suara yang sangat familiar itu menghantamnya seperti peluru. Ci

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 18

    Saat Cindi menutup laptop-nya, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga dari belakangnya.Pada detik berikutnya, pergelangan tangannya ditarik dan dia langsung terlindungi dalam pelukan seseorang dengan tubuh yang lebar dan kokoh.Tanpa sempat berpikir panjang, dia segera berkata, “Sudah selesai, arah pukul dua!”Setelah keluar dari rumah sakit bersama sandera, mereka berencana kembali ke negara asal. Namun, di tengah jalan mereka disergap. Setelah Cindi berhasil membobol sistem gangguan sinyal, dia segera menemukan celah untuk menerobos.Begitu ucapannya selesai, Leo langsung menyesuaikan komando dan bergerak cepat.Kapal tempur mereka menerobos pengepungan layaknya pisau tajam membelah air, meninggalkan kobaran api pertempuran di belakang.Suara dari alat komunikasi terdengar, “Lapor komandan, kapal penyelamat sudah terhubung! Selamat datang kembali!”“Selamat datang di rumah!”Cindi terengah-engah. Lalu karena tak sanggup menahan lelahnya, dia akhirnya jatuh terdudu

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 17

    Seminggu kemudian, penyelidikan terhadap Sukma selesai sepenuhnya dan polisi menyerahkan hasilnya kepada Zaki.Tatapannya terlihat rumit, tetapi Zaki tidak peduli dengan hal lainnya.Sukma mengakui semua yang diketahuinya dan berdasarkan ceritanya, sebuah tim khusus dikerahkan untuk menangkap semua organisasi bawah tanah yang belum melarikan diri.Sukma hanyalah bidak catur kecil, dengan tujuan melemahkan pertahanan Zaki, seorang ahli negosiasi krisis di markas tersebut, dan mengambil keuntungan bagi mereka.Bahkan memasang bahan peledak di kapal pun, juga mereka perintahkan pada Sukma.Zaki tiba-tiba berdiri, kursinya terjatuh dan mengeluarkan suara keras di lantai. Tanpa ragu, dia bergegas keluar pintu.“Aku ingin bertemu Sukma!”Sukma bahkan lebih lesu daripada terakhir kali Zaki melihatnya, dengan tatapan kosong seperti boneka. Zaki langsung menyerbu, meraih Sukma, dan berteriak, "Di mana Cindi?" Sukma bereaksi perlahan, melirik Zaki sejenak sebelum berkata dengan suara serak, "K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status