“Maaf! Maaf… aku—tidak sengaja…” Iris segera meminta maaf. Tangannya mencari-cari sesuatu untuk mengelap muntahan itu. Namun sayangnya ia tidak menemukan apa pun untuk membersihkan jas pria itu.
“Kamu baik-baik saja?” Bukannya marah, pria itu justru terlihat khawatir. “Aku—hweeek!” Iris kembali merasa mual. Namun untungnya, kali ini hanya keluar gas saja. “Mari, biar kubantu.” Pria itu melepas jas yang terkena muntahan, lalu membantunya berjalan. “Tidak apa, saya bisa sendiri…” Iris merasa sungkan dan hendak menolak bantuan pria itu. “Tubuhmu lemas. Kamu yakin bisa jalan sendiri? Ayo, tidak usah sungkan. Sedikit lagi sampai.” Pria itu menolak, dan justru mengarahkannya masuk ke dalam ruangan UGD. Iris semakin bingung, nmun ia tidak merasa takut. Sebab di ruangan itu ada beberapa orang perawat. “Saya Dokter Finch. Berbaringlah, biar aku periksa.” “Anda—Dokter?” Iris tidak menyangka jika pria itu adalah seorang dokter. Dia terlihat muda dan trendy. Ia menduga usia mereka tidak jauh berbeda. “Benar. Saya Dokter di rumah sakit ini.” Dokter itu meraih stetoskop di atas meja dan mulai memeriksa Iris. Diam-diam Iris memperhatikan Dokter itu. Dia memiliki sepasang mata berwarna sky blue. Rambut pirang pria itu bukan berpotongan pendek dan rapi, tetapi berpotongan panjang medium—sebatas tengkuk, berlayer-bergelombang, dan dibiarkan tergerai bebas. Pantas saja ia tidak menduga jika pria itu seorang dokter, batin Iris. Namun begitu, ada sesuatu yang membuat Iris tertarik untuk menatapnya. Entah bagaimana, wajah dokter itu terasa familiar. Apakah mereka pernah bertemu? Tapi di mana? Bisa jadi sebuah pertemuan random saja… “Apa yang kamu rasakan?” Pertanyaan dokter itu membuyarkan lamunan Iris. “Mual dan… lemas. Itu saja…” “Punya riwayat sakit maag?” Iris menggeleng. “Saya tidak sarapan tadi pagi…” akunya. Bahkan semalam ia hanya makan cemilan saja karena terjebak kemacetan saat menjemput Easton. “Asam lambungmu naik. Itu sebabnya kamu mual dan muntah,” terang Dokter itu dengan tenang. “Tapi sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini…” Dokter itu melirik Iris sebelum meletakkan stetoskopnya di atas meja. Iris pun beranjak duduk. “Asam lambung memang bisa disebabkan karena jadwal makan yang tidak teratur. Tetapi bisa juga disebabkan oleh faktor lain. Mungkin tekanan pekerjaan, kesibukan, ketegangan, kecemasan berlebih dan faktor emosional lainnya.” Iris menggeleng dengan meyakinkan. “Saya tidak sedang tertekan atau—stres..” Ia berhenti berbicara saat teringat sejak kapan ia mulai merasakan mual. Ia sedang bertemu dengan CEO ketika perutnya mulai bergejolak. Padahal sebelumnya ia baik-baik saja. ‘Apakah itu artinya ia stres dan tertekan karena “Easton Guy” itu?’ Iris membatin. Dokter itu tersenyum dikulum melihat perubahan ekspresi wajah Iris. Meski begitu, ia tidak memperpanjang masalah itu. “Tidak perlu kuatir, Saya akan berikan obat lambung. Semoga bisa segera membaik,” ujar Dokter itu sembari ia menulis resep. “Istirahat yang cukup, minum air hangat, makan yang teratur dan menghindari kecemasan, akan mempercepat penyembuhan.” Dia lalu menandatangani kertas pemeriksaan dan memanggil seorang perawat. “Ambilkan obat untuk Miss—?” “Villar. Nama saya Iris Villar,” jawab Iris dengan sopan. “Miss Villar, saya minta maaf, saya harus pergi. Kalau ada apa-apa, kamu bisa minta tolong perawat. Dia yang akan membantumu mengurus administrasi nanti.” Perawat itu pun pergi untuk mengambil obat. “Terima kasih, Dokter,” ucap Iris dengan tulus. Jika bukan karena kebaikan pria itu, mungkin saat ia masih mengantri untuk bertemu dengan dokter. “Tidak perlu berterima kasih. Ini sudah menjadi tugas saya.” “Minum saja obatnya 3 kali sehari sebelum makan, minum air hangat, dan usahakan makan teratur. Kalau tiga hari tidak membaik, sebaiknya periksakan lebih lanjut,” ujarnya bersiap-siap untuk pergi. Melihat pria itu hendak pergi. Iris ikut berdiri. “Paling tidak, biarkan saya membersihkan jas Anda, Dokter.” Iris menunjuk jas putih yang terlipat rapi di lengan pria itu. Pria itu menatap jasnya, lalu tersenyum. “Tidak apa. Tidak perlu dipikirkan. Jas ini memang sudah waktunya untuk di cuci,” ujarnya sambil terkekeh pelan. “Sekali lagi terima kasih , Dokter.” Dalam hati Iris merasa berhutang budi pada dokter tersebut. Setelah mendapatkan obat dan membayar administrasi di rumah sakit, Iris langsung pulang ke rumah. *** Siang hari itu, Iris disuruh oleh Olivia untuk mengantarkan draf promosi kepada Easton. Ia datang ke kantor Easton dan bertemu dengan Emberly di sana. “Emberly? Sedang apa kamu di sini? ” tanya Iris begitu ia melihat Emberly berada di depan kantor CEO dengan beberapa dokumen di tangannya. Emberly sedikit terkejut ketika melihat Iris. Namun ia segera merubah ekspresi wajahnya dan tersenyum. “Iris, pertanyaan apa itu? Tentu saja aku sedang bekerja,” jawab Emberly sambil tersenyum miring, lalu berjalan dengan dagu terangkat menuju meja sekertaris. Iris mengerutkan keningnya dan merasa heran saat melihat Emberly duduk di kursi sekertaris. “Emberly, kenapa kamu duduk di sana, ke mana Mr. Brown?” Iris menanyakan sekertaris CEO yang seharusnya ditemuinya di sana. Emberly tertawa. “Iris… apa kamu tidak tahu? Ah, tentu saja kamu tidak tahu! Kamu cuma karyawan—magang…” Ucapan Emberly terdengar merendahkan. Dan Iris tidak merasa heran. Sebab Emberly memang kerap seperti itu. Hanya saja ia tidak bisa melakukan apa-apa karena posisinya yang hanyalah karyawan magang. “Emberly, di mana Mr. Brown? Miss Moore menyuruhku menemui Mr. Sinclair.” Emberly kembali tersenyum sinis. “Iris, Mr. brown sudah tidak bekerja di sini lagi. Aku sekertaris Mr. Sinclair sekarang!” Apa? Emberly sekertaris Mr. Sinclair? Bagaimana mungkin Emberly bisa menjadi sekertaris Mr. Sinclair?“Mr. Sinclair… hahaha Anda lucu sekali…” Iris tertawa dengan canggung.“Ini ayahku, Harlan Sinclair. Apa karena nama keluarga kalian sama, maka Anda memanggil ayahku, Dad?” Iris menganggap Easton bercanda.Sebab tidak mungkin Harlan memiliki anak seorang Easton. Pria itu bahkan tidak pernah tersenyum!Iris masih tertawa sendiri. Ia menepuk lengan Harlan.”Dad, ini bosku di tempat magang. Dia—hanya bercanda saja…”Akan tetapi tudak ada satupun dari mereka yang tertawa atau bahkan tersenyum. Keduanya tampak serius.“Apa yang membuatmu berpikir aku sedang bercanda, Miss Villar?” tanya Easton dengan nada dan raut wajah dingin seperti biasanya.Iris berhenti tertawa. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun melihat wajah Easton yang sama sekali tidak tersenyum atau tertawa, membuatnya kembali berpikir. Tidak mungkin kan kalau…Iris menoleh kepada Harlan. “Dad…?” Melihat raut wajah ayahnya, perasaan Iris menjadi tidak menentu. Jantungnya berdegup semakin cepat, dan pikirannya berusaha menyangkal
Iris menatap Emberly dengan tidak percaya. Pasalnya Ia melihat sendiri bagaimana sikap mereka saat mereka pertama kali bertemu. Sama sekali asing dan tidak mengenal satu sama lain. Dan itu terjadi hanya beberapa hari yang lalu.Iris sempat bertanya mengenai Easton pada karyawan senior. Mereka mengatakan bahwa Easton dikenal sebagai pengusaha yang gigih dan handal. Hanya dalam beberapa tahun saja, Easton sudah berhasil membesarkan SDP Corp.— perusahaan yang dibangunnya dari nol.Bahkan enam bulan yang lalu, Easton mengakuisisi perusahaan tempat mereka bekerja dan menggantinya dengan nama SDP Corp. Rekam jejaknya sangat profesional, dan dia terkenal sangat serius dan bahkan disebut sebagai workaholic. Mereka juga mengatakan bahwa Easton adalah orang yang tegas dan tidak suka tersenyum. Sedangkan mengenai kehidupan pribadinya, tidak banyak orang yang tahu. Dia tidak memiliki banyak skandal seperti banyak pengusaha muda lainnya. Jarang terlihat dekat dengan perempuan dan bahkan selama i
“Maaf! Maaf… aku—tidak sengaja…” Iris segera meminta maaf. Tangannya mencari-cari sesuatu untuk mengelap muntahan itu. Namun sayangnya ia tidak menemukan apa pun untuk membersihkan jas pria itu.“Kamu baik-baik saja?” Bukannya marah, pria itu justru terlihat khawatir. “Aku—hweeek!” Iris kembali merasa mual. Namun untungnya, kali ini hanya keluar gas saja.“Mari, biar kubantu.” Pria itu melepas jas yang terkena muntahan, lalu membantunya berjalan. “Tidak apa, saya bisa sendiri…” Iris merasa sungkan dan hendak menolak bantuan pria itu.“Tubuhmu lemas. Kamu yakin bisa jalan sendiri? Ayo, tidak usah sungkan. Sedikit lagi sampai.” Pria itu menolak, dan justru mengarahkannya masuk ke dalam ruangan UGD. Iris semakin bingung, nmun ia tidak merasa takut. Sebab di ruangan itu ada beberapa orang perawat. “Saya Dokter Finch. Berbaringlah, biar aku periksa.” “Anda—Dokter?” Iris tidak menyangka jika pria itu adalah seorang dokter. Dia terlihat muda dan trendy. Ia menduga usia mereka tidak j
Iris terdiam membeku. ‘A-apa yang dia katakan? Apa dia berbicara padaku?’ pikirnya. Ia tidak begitu menangkap apa yang CEO itu baru saja katakan.Iris bertambah gugup ketika sepatu CEO itu tiba-tiba saja berputar menghadap ke arahnya.‘Ya Tuhan, dia mengenaliku! Bagaimana ini?’Iris sangat panik, namun dipermukaan ia berusaha menjaga sikapnya untuk tetap tenang.“Miss Villar, Mr. Sinclair bertanya padamu!” Vincent menegur Iris yang diam saat ditanya.‘Mr. Sinclair? Namanya bukan—Easton?’Refleks Iris mengangkat wajahnya dan seketika bertemu dengan kedua mata misterius pria itu.Ia terpaku. Bayangan kejadian semalam bermain di benaknya. Kedua obsidian hitam itu melekat dalam ingatannya, memberi kesan mendalam.Namun apa yang dipancarkannya saat ini sedikit berbeda dari semalam. Iris merasa pancaran mata pria dihadapannya ini, penuh dengan misteri, terasa berjarak dan—tanpa emosi?Reaksi pria itu datar saja. Seakan mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.‘Apa dia tidak ingat kejadian se
Iris duduk di meja kerjanya. Ia gelisah, menggigit bibirnya dengan tidak tenang. Kedua tangannya tidak bisa diam, terus bergerak mengikuti perasaannya yang bercampur aduk.Ia tidak salah lihat. CEO yang ia lihat tadi adalah Mr. Easton!Tetapi, bagaimana mungkin?Jelas-jelas semalam Emberly mengatakan kalau Mr. Easton adalah tamu perusahaan, bukan CEO mereka!Ada apa sebenarnya? Apakah Emberly sengaja menutupinya? Tetapi untuk apa?Belum hilang kebingungannya, Emberly tahu-tahu datang, dan menariknya ke ruangan pantry.“Em, kamu mau apa?” Iris protes sambil meringis, menatap tangan Emberly yang mencengkeram lengannya.“Sudah kubilang, pembicaraan kita belum selesai!” sergah Emberly. Ia mengikuti pandangan Iris dan tiba-tiba menyeletuk, “Baju apa yang kamu pakai?” Ia merasa ada sesuatu yang janggal pada pakaian yang Iris kenakan, meski ia tidak tahu apa.Iris refleks menepis tangan Emberly. “Apa yang kamu inginkan?!” Ia mengalihkan pembicaraan, berharap Emberly tidak membahas pakaian ya
“Mr. Easton! Apa—apa yang Anda—”Pria itu mengunci kedua tangan Iris dan mulai mencumbuinya dengan membabi buta.“Tuan, Anda tidak boleh—Aahh!”BRETT! Suara sobekan baju yang dikenakan Iris terdengar keras di ruangan itu.Pria itu menekan Iris lebih keras. “Puaskan aku...” suara berat dan rendah pria itu terdengar dekat telinga.Nafas yang menderu, menyentuh permukaan pundak Iris yang terekspos, bagai sentuhan sebuah bulu, ringan dengan sensasi menggelitik.Tubuh Iris gemetar, berusaha memberontak melawan cumbuan pria itu. “Ja-jangan Mr. East—humptt…”Pria itu membungkam mulut Iris dengan miliknya, menciumnya seperti seorang yang dahaga, menahan suara parau yang keluar dari bibir gemetar gadis itu.Iris memberontak, berusaha menolak pria itu. Namun dia terus menindihnya, tidak memberinya kesempatan untuk melepaskan diri atau menolak.Lama-lama, perlawanan Iris melemah dan penolakannya sia-sia. Ia hanya bisa pasrah, hanyut terbawa oleh arus tuntutan pria itu.***Malam berlalu, bergant