Menyeret koperku ke luar kamar, itulah jalan satu-satunya untuk pilihanku saat ini. Alvian sudah menalakku, meski aku belum memberikan penjelasan. Ada rasa lega ada juga sesal sudah mengenal keluarga Yeni. Andai saja aku tidak memilih untuk menjadi istri Alvian mungkin nasibku tidak seburuk ini. Kulihat sekali lagi sosok yang terbaring tak beraturan di sofa kamar dengan rasa sesal.
Mengusap air mata agar tidak jatuh dan terlihat lemah. Kututup pintu kamar dan menuruni anak tangga sembari menyeret 2 koper besar. Aku memilih segera pergi tanpa menunggu Alvian bangun. Percuma jika aku memberikan penjelasan karena Alvian sudah memberikan talaknya kepadaku.
“Nona mau kemana?” Suara Bibik menghentikan langkahku.
“Aku harus pulang, Bik. Tuan Alvian sudah manalakku. Jaga baik-baik majikan Bibik.”
Bibik melongo dengan menutup bibirnya yang tak bergincu. Dia mencoba menarik lenganku tetapi aku memaksa dengan halus supaya melepaskannya. Dengan berbagai alasan aku meyakinkan Bibik jika aku baik-baik saja. Tetapi Bibik terlihat tidak percaya.
“Sebaiknya Non Riana menunggu Tuan bangun. Jangan buru-buru pulang,” cegah Bibik.
Aku tersenyum, “Tidak perlu, Bik. Karena statusku sekarang sudah beda. Aku pergi dulu.”
Terlihat di mata Bibik ada bayangan yang mengembun. Aku sadar jika kami punya rasa saling menyayangi sejak 3 tahun berada di rumah ini. Kulihat Bibik menyeka mata dan memelukku. Memberikan pesan selayaknya seorang ibu kepada anaknya.
Melangkah keluar rumah terasa kakiku melayang di udara. Selama 3 tahun kuhabiskan masa kerjaku di sini. Sepulang sekolah dengan masih memakai seragam berlarian ingin segera menemui Yeni yang selalu menyambutku dengan hangat dengan senyumnya. Jika tidak mengingat kebaikan wanita itu mungkin hatiku sudah dipenuhi amarah. Yeni wanita baik yang sudah pernah menolongku ketika aku dalam kesulitan.
“Jalan, Pak!”perintahku kepada sopir mobil online yang kupesan. Aku sudah tidak ingin menoleh ke belakang. Saat ini hanya menyusun kalimat untuk kusampaikan kepada kedua orang tuaku. Belum lagi aku harus memikirkan untuk mencari pekerjaan baru, untuk menghidupi semua anggota keluarga.
Selama dalam perjalanan tidak ada satupun notifikasi yang masuk. Itu artinya Alvian sudah melepaskan aku dengan sebenarnya. Kulirik saldo rekening di M-Banking masih ada 10 juta. Lega, aku masih bisa bertahan hidup dengan keluargaku untuk beberapa bulan ke depan. Sengaja aku tidak memberitahukan kepada keluargaku tentang kedatanganku lewat telpon.
“Riana, ka-kamu.”
Ibu celingukan melihat arah belakangku. “Riana pulang, boleh kan, Buk?”
Ibu terlihat mengangguk dengan ragu. Membimbingku masuk dan memanggil kedua adik-adikku untuk membawakan koper ke kamar. Sementara aku duduk di ruang tamu seperti orang disidang.
Tidak ada kata keluar dari bibir orang yang sudah melahirkan dan membesarkanku selama ini. Aku menangis tergugu dan memeluknya. Menumpahkan semua yang menyesakkan dada selama dalam perjalanan. Ibuku yang usianya hampir setengah abad selisih beberapa tahun dengan Alvian memelukku dengan lembut. Menyuruhkan menangis hingga puas.
“Menangislah sepuasmu. Baru kalau sudah lega bicara sama Ibu.”
Kedua adikku yang masih duduk di bangku sekolah melipir pergi setelah melihatku menangis di pangkuan ibu. Mereka keluar membeli beberapa makanan untuk makan bersama. Dua adikku laki-laki keduanya masih di klas IX dan XII. Mereka masih membutuhkan biaya sekolah yang sangat banyak.
Tidak berapa lama terdengar suara deru motor masuk ke pekarangan rumah. Suara motor yang familiar milik Ayah yang baru pulang dari masjid. Ayah mengerutkan kening melihatku duduk sembari memeluk ibu. Terlihat isyarat dari ibu agar membiarkan aku dulu dan menyuruhnya masuk ke rumah.
Perasaanku semakin tidak enak ketika melihat ibu berkeringat dengan napas sesak.
“Bu … Ibu … Ibu sakit?” tanyaku setengah berteriak.
Dengan isyarat tangan ibu menyuruhku membawanya masuk ke kamar. Ayah yang melihat keadaan ibu menatapku dengan tajam, aku menunduk. Tanpa bicara Ayah membaringkan Ibu di ranjang dan menyuruhku keluar.
Sesak rasanya melihat kondisi ibu saat ini. Penyakit asma yang selama ini menggerroti tubuhnya tidak kunjung sembuh. Aku tidak mungkin menambah beban pikiran kedua orang tuaku.
Baru merebahkan diri di kamar terdengar notifikasi dari M-Banking. Mataku terbelalak melihat saldo 1 milyar masuk ke rekening. Antara senang dan sedih tidak mampu aku jabarkan.
“Sebaiknya biar uang ini untuk modal kedua orang tuaku. Aku akan cari pekerjaan di kota,” gumamku sembari mentransfer 100 juta ke rekening adikku.
“Kak, kamu kirim uang banyak sekali,” pesan dari adikku.
“Buat biaya sekolah. Kakak belum mendapatkan kerja, buat hemat sama adik, yak” balasku.
Kemudian aku berniat membawa Ibuku untuk periksa, tetapi Ayah bersikeras menolak tanpa memberitahu alasannya. Hatiku sangat sedih, semenjak aku menikah dengan Alvian sikap Ayah berubah terhadapku. Jika aku memberitahu sudah diceraikan Alvian pasti ayah bertambah marah denganku.
“Kamu pasti sudah diusir oleh keluarga Alvian. Sudah kuduga, mereka hanya memanfaatkan kamu saja. Kembalikan uang dari mereka. Ayah masih bisa memberi makan kalian,” titah Ayah.
Aku terkejut, “Tapi kenapa, Yah?”
Ayah tidak menjawab melainkan menuju pintu ruang tamu setelah mendengar deru mobil datang di pelataran rumah. Rahangnya terlihat mengeras menatap keluar.
Ayah menatap tajam keluar rumah. Aku mengikutinya dari belakang dengan penasaran. Nampak Weni dan beberapa laki-laki di belakangnya turun dan berjalan dengan angkuhnya menuju ke rumah. Senyum mengejek nampak dari wanita yang usianya lebih tua dari ibuku tersebut. “Apa kabar, Sandiaza?” Sapaan yang kurasa lebih tepatnya ejekan yang ditujukan kepada Ayahku. Aku mengernyit melihat interaksi kedua orang yang terlihat bermusuhan. Ayah tidak biasanya bersikap tidak sopan apalagi tahu jika Weni adalah ibu mertuaku, tepatnya mantan mertua. Para tamu duduk tanpa dipersilakan oleh pemilik rumah. Weni dengan angkuh melihat interior yang berada di sekitarnya. Sedangkan orang-orang yang mengikutinya turut mengawasi pergerakan kami, seolah ada kami seorang penjahat. “Berikan ponsel kamu!” perintahnya. Tentu aku terkejut, “Buat apa, Nyonya. Bukannya saya sudah keluar dari rumah itu. Apalagi yang Nyonya inginkan?” “Kamu baru dapat kiriman uang dari Alvian, kan. Kamu tidak layak menerima uang it
“Kak … Kak Riana, buka pintunya!” teriak adikku sangat keras. Dengan cepat kubuka pintu yang terbuat dari papan triplek tersebut. Kulihat wajah ketakutan dari adikku Faris yang berdiri sembari mengulurkan ponselnya. Dari tatapannya aku bisa pastikan sesuatu sudah terjadi dengan adikku. “Apa yang terjadi?” “Mertua Kakak sudah merampas ponselku dan memintaku mentranfer uang yang ada di rekening,” kata Faris dengan tubuh gemetar. “Apa? Gila, tuh orang. Trus gimana?” tanyaku penasaran. Sekarang aku yang kalut jika uang yang ada di rekening adikku habis bagaimana kami melanjutkan hidup nantinya. Mantan mertua kejam, tidak berperasaan sama sekali. Aku panik dan menyuruh adikku untuk minum terlebih dahulu. Kulihat wajahnya pucat dan gemetar. Kutenangkan diri Faris di ruang tamu sedangkan pikiranku sekarang blank tidak tahu hendak melakukan apa selanjutnya. Setelah tenang kemudian Faris bercerita jika bertemu dengan Weni saat keluar dari warung yang berada di ujung jalan. Waktu itu jala
Alvian terkejut melihat sikap ayahku. Tidak biasanya dia menerima sikap kasar dari kedua orangtuaku selama ini. Meskipun mereka tidak suka dengan pernikahanku yang tiba-tiba. Terlihat senyum mengejek dari Weni, dengan tangan bersedekap. Diarihnya putra semata wayang tersebut dan maju ke hadapan ayahku.“Orang miskin yang tidak tahu budi.” Weni menoleh kepada Alvian, “lihatlah, dia tidak menghormatimu. Sudah ditolong tidak tahu terima kasih. Sebaiknya segera kau ceriakan Riana, dan jangan berhubungan dengannya lagi! Ayo pulang, jangan sampai kita kena penyakit miskin dari mereka. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi mengenal keluargamu, Sandiaza,” teriak Weni dengan kasar menarik tangan Alvian.“Aku tidak sangka, kau khianati kepercayaan istriku, Riana. Jangan harap kamu bisa bebas berkeliaran setelah membuat kekacauan ini. Kupastikan hidup kamu tidak akan tenang, camkan itu, Riana!” ancam Alvian.Pria yang masih menatap tajam ke arahku itupun mengikuti langkah Weni. Sebelum memaksak
Segera kututup ponsel dan melirik ke arah dua orang berjarak agak jauh di belakang tempat dudukku. Rasa takut menjalar mengira jika orang-orang Weni atau Alvian membututi kepergianku. Kugeser tempat duduk memilih tempat yang lebih ramai. Dari cermin ponsel kulihat mereka celingukan mencari seseorang.Bunyi pengeras suara dari stasiun terdengar. Meminta para penumpang segera naik ke dalam kereta. Segera beranjak menuju arah kereta datang. Dengan menggunakan jaket berusaha menutupi wajahku. Baru melangkah terasa dua orang yang berkacamata hitam menarik bajuku.“Maaf, Nona. Kami utusan Tuan Alvian. Nona tidak bisa pergi dari kota ini begitu saja,” ancam salah satu pria berkacamata.“Kenapa, aku tidak ada urusan dengan Tuan kalian lagi,” dengusku kesal sembari meronta melepaskan cekalan tangan mereka.Aku memberi isyarat kepada petugas stasiun, mereka mendekat dengan lambaian tangan. Beruntung mereka mengerti dan segera mendekat ke arah kami. Dengan menarik tangan kedua orang suruhan Alvi
Aku menggeliat merasakan tubuhku remuk redam. Mata terbuka perlahan, masih teringat ketika berada dalam satu kamar dengan Dewi. Kuedarkan pandangan sekeliling tidak kutemui teman SMP ku itu di dalam kamar. “Mungkin dia sudah keluar kamar,” batinku. Setelah membersihkan diri aku bersiap untuk segera melanjutkan perjalanan menuju kantor perkebunan yang letaknya beberapa jam dari sini. Kulihat dari gogle mab tempat itu berada di perbukitan yang menarah ke utara. Aku menunggu Dewi hingga beberapa menit. Bodohnya aku semalam tidak minta nomer telponnya. Mondar-madir menunggu dengan perasaan tidak sabar akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada recepsionist. Aku terkejut mendapatkan pesan jika Dewi sudah pergi meninggalkan hotel duluan. Tetapi tagihan hotel sudah dibayar lunas, aku lega. Setidaknya dia tidak membohongi aku. Tapi yang membuatku heran mengapa menghilang tiba-tiba. Tidak ada pesan pula untukku. Bodo amat pikirku, mungkin dia tergesa-gesa dengan urusan keluarganya. Segera
Aku mulai gelisah ketika ia mengetahui bahwa diriku sedang hamil. Garis dua di tes peck membuatku sempat syok dan tidak dapat berpikir jernih. Terlebih lagi, sudah resmi diceraikan oleh Alvian. Hatiku dipenuhi dengan perasaan campur aduk, tidak tahu harus menghadapi kedepannya bagaimana. “Apa aku harus menghubungi Ibu. Takut beliau malah sakit. Tapi … ah … sudahlah. Sementara aku bisa menyembunyikan kehadiran anak ini terlebih dahulu. Nanti dipikirkan sambil jalan. Aku harus kerja ekstra sekarang, demi keluarga dan juga … anak dalam kandunganku,” batinku mencoba menenangkan diri. Tiba di kantor perkebunan Sari memberondong pertanyaan yang semakin membuatku bertambah pusing. Seandainya dia bukan sahabat yang sudah menolongku pasti aku sudah pergi dari hadapannya. Rupanya Sari tidak melihat kekalutan yang sekarang menderaku. Telinga kupasang handsed supaya tidak mendengar lagi ocehan Sari yang tidak ada hentinya. Sahabatku itu hanya menggeleng kepala melihat sikapku yang tidak menanga
Aku hanya menunduk, bukan karena pasrah dengan tuduhan Dewi yang terang-terangan menyudutkan pekerjaanku. Kutahan kuat-kuat emosi dengan meremas kedua jari tanganku. Beruntung, Sari menenangkanku dengan menggenggam tanganku yang sedang meremas. Setelah tenang aku menatap Dewi tanpa rasa bersalah. “Baik, saya kerjakan ulang,” kataku tanpa ingin menyebut nama atau sebutan sebagai Bos di sini. Kulihat sudut bibir Dewi mencebik mengejek. Kenapa dia jadi berubah di depan orang-orang? Apa ini memang sifat Dewi? Kemana kebaikan yang kemarin ditujukan kepadaku? Pikiran penuh dengan pertanyaan tentang siapa Dewi sesungguhnya. “Bagus, dan ingat! Jangan sampai aku dengar perusahaan ini merugi hanya karena karayawan baru yang tidak becus kerjaannya.” Dewi menatap kearah Sari, “Sari, jangan kamu lindungi dia!” perintah Dewi dengan menunjuk ke arahku. “Ta-tapi, Mbak … Ri-“ ucap Sari terpotong. “Mau aku pecat kamu?! Dengar, selama aku di sini tidak ada yang boleh membantah perintahku, NGERTI SEM
Ancaman Alvian ternyata tidak terbukti. Selama beberapa hari semenjak dia berkunjung ke perumahan tidak ada yang mengangguku. Masa bodoh jika dia mengawasi pergerakanku dari tempat tersembunyi, kurang kerjaan saja pikirku. Dia bisa mendapatkan gadis yang lebih baik dariku tanpa bertanggung jawab dengan janin yang ada di perutku. Jika mengiginkan aku masuk penjara atas tuduhan membunuh Yeni, pasti sekarang aku sudah di kantor polisi. Tapi nyatanya dia tidak menyeretku ke sana. Semoga pikirannya berubah. Selama beberapa minggu, aku bergulat dengan ketidakpastian dan kecemasan. Ia tidak ingin mendapatkan rasa kasihan atau kecewa dari keluarga kuputuskan untuk tidak memberitahu soal kehamilanku kepada mereka. Dalam diamku mencoba mencari solusi sendiri. Dengan membaca banyak buku dan mencari informasi tentang kehamilan. Perubahan fisik semakin terlihat. Sejauh ini teman-teman tempatku bekerja belum ada yang bertanya tentang hal. Bersyukur mempunyai patner kerja seperti Sari dan Joko. B