Grand Buana Luxury Apartment
Suara bell pintu yang terdengar berulang kali membuat Lea buru-buru beranjak dari tempatnya untuk membukakan pintu. Belum sempat ia menyapa dan mempersilahkan masuk. Adrian sudah mendorong tubuhnya masuk membawanya ke dalam dekapannya. “Ian..” “Aku kangen, Le.” Lelaki itu berbisik dengan suara berat sambil menghirup kuat-kuat aroma tubuh Lea. “Kangen?” ulang Lea seolah tak percaya dengan kalimat yang lelaki itu lontarkan. Tiba-tiba ada yang berdesir dalam dirinya. “Iya, kangen tubuh dan permainan kamu.” Perkataan Adrian selanjutnya membuat Lea tersentak, bahwa perasannya salah. Kenapa ia harus bingung, harus bertanya bukankah Adrian akan datang hanya jika membutuhkan kehangatannya. Segera ia rubah wajahnya menampilkan senyumnya, meski terasa sangat getir bagi dirinya. Adrian mengurai dekapannya, kepalanya langsung merunduk men cium bibir Lea dengan cepat. Apalagi yang bisa Lea lakukan selain mengikuti segala perintah Adrian. Selain menjadi penghangat ranjang lelaki itu, ia memang menikmati segala permainan panas Adrian yang begitu kuat. Bibir keduanya saling beradu, membelit, bertukar lidah hingga menimbulkan suara decapan terdengar memenuhi ruangan. Bak seorang musafir yang tengah kehausan di Padang pasir, itulah Adrian kini. Ia dengan cepat mendorong tubuh Lea ke atas sofa yang terletak tak jauh darinya. “Ian.. gak em... di kamar?” tanya Lea berusaha menahan desahannya. “Di sini saja. Aku sudah tidak sabar.” Adrian kembali menarik tubuhnya dan melucuti satu persatu pakaiannya. Menidurkan tubuh Lea di sofa. Tidak membutuhkan waktu lama, keduanya akhirnya pun melakukan pergumulan panas. Yang sudah beberapa bulan ini mereka jalin. Erangan bibir masing-masing terdengar menandakan puncak kenikmatan, dengan sesuatu yang mengalir di sana. Tubuh Adrian terjatuh tepat di atas tubuh Lea. Nafas terengah-engah keduanya saling beradu. Di saat mereka tengah sibuk mengatur napas, terdengar ponsel Adrian yang berdering. “Ian, itu ponselmu berdering terus dari tadi.” Lea berkata seraya mencoba mendorong tubuh lelaki di depannya. “Itu pasti Belinda.” Adrian beranjak dari atas tubuh Lea, tidak lupa mengambil seluruh pakaian Lea dan menyerahkannya pada wanita itu. “Aku ke kamar ya.” Lea beranjak ke kamar, karena ia tidak mau mendengar pembicaraan Adrian dengan calon istrinya.. Setelah kepergian Lea. Adrian mengambil celana kolornya untuk ia kenakan, kemudian kembali mengambil ponsel menghubungi balik calon istrinya. “Kenapa lama banget sih, jawab telpon akunya?” Terdengar geraman kesal dari Belinda. “Aku lagi di kamar mandi tadi.” Sudah ia duga siapa yang tiap detik, tiap menit, tiap jam menelpon selain tunangannya yang over protektif. “Oh udah pulang ya dari Singapura ya?” tanya Belinda. “Iya.” Adrian menjawab dengan rasa malas. “Kenapa?” “Ih nyebelin. Kok jawabnya kenapa sih?” protes Belinda. “Tentu saja aku kangen dengan tunangan aku, calon suami aku. Kamu ada di mana? Aku samperin ke rumah kamu ya.” “Gak usah. Aku pulang niatnya mau kasih surprise ke kamu. Nanti aku aja yang ke rumah kamu. Mau aku kasih kejutan, nonton yuk.” Adrian terpaksa berkata demikian karena sudah terlanjur mengatakan sudah berada di tanah air. Ia tidak mungkin membiarkan Adrian ke rumahannya, karena jika sampai perempuan itu datang ke rumah tak mendapati dirinya pasti urusannya akan panjang. Orang tuanya bisa saja mencari tahu apa saja yang selama ini ia lakukan di belakangnya. Dan ia tidak mau jika keluarganya sampai mengetahui skandal gelapnya bersama Lea. “Kamu mau ajak aku kencan?” tanya Belinda tak percaya, dan berhasil memecahkan lamunan lelaki itu. “Hem... Kalau kamu mau.” “Mau... Mau.” “Ya udah aku ganti baju dulu ya.” *** Lea sudah mengenakan pakaiannya dan tengah duduk di sofa sambil memangku laptopnya. Ketika pintu terbuka ia sama sekali tak menoleh, karena ia sudah tahu siapa yang masuk. “Aku harus pulang, karena Belinda ngajak aku ketemuan.” “Emm...” “Sorry ya. Padahal tadi janjiannya kita mau makan bareng. Karena aku ada janji, kamu bisa delivery aja kan.” Adrian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri sejenak. Setelahnya kembali keluar menuju lemari mengambil pakaian gantinya. “Le... Kamu denger apa yang aku omongin tadi kan?” tanya Adrian lagi sambil memakai pakaiannya. “Iya.” “Atau mau aku pesenin?” tawarnya lagi. Lea menggeleng. “Tidak perlu. Aku juga bakal keluar setelah kamu pergi.” “Kemana?” Lea menutup laptop miliknya, menatap ke arah Adrian dengan kedua mata yang tak berkedip. Demi apapun, ia merasa tubuh Adrian memang menggiurkan. Otot perut yang berbentuk kotak-kotak, serta punggung lebar yang mempesona yang sering Lea cakar saat mereka tengah beradu peluh gairah. “Lea!” Klik! Teguran dan jentikan jari di depan wajahnya, membuat Lea tersadar. Nampak ia salah tingkah. “Ke rumah sakit.” “Oh mau jenguk adikmu atau Ayahmu?” tanya Adrian sambil mengambil ponselnya. Berulang kali ia mencoba menyalakan namun tidak juga bisa. Lalu decakan kesal terdengar dari bibirnya. “Ponselku mati. Aku tidak bisa transfer sekarang.” Ia kembali memasukan ponselnya ke dalam saku, mengeluarkan dompetnya ia ambil beberapa lembaran uang lalu menyerahkannya pada Adrian. “Ini untuk ongkos...” “Ini kebanyakan, Ian.” “Sekalian beli makan sama pakaian baru. Kayaknya kamu sekarang kurusan ya. Dulu kayaknya enggak sekecil ini.” Adrian mengusap rambut Lea dengan lembut. ”Adikmu dan ayahmu pasti akan sembuh, jangan terlalu dipikirkan,” sambungnya membuat Lea mengulas senyumnya tipisnya. ”Makasih, Ian.” “Ya udah nanti beli makanan yang sehat. Susu buah gitu stok di kulkas.” “Iya, nanti.” Lea menjawab dengan pasrah. “Jangan lupa beli lingerie yang warna merah. Aku suka.” “Untuk apa, ujungnya juga pasti kamu robek.” Adrian terkekeh dengan pakaiannya yang sudah rapi, kembali mendekati Lea. Harum maskulin dari tubuhnya membuat hasratnya terpancing. “Bukankah itu memang tercipta untuk disobek?” tanyanya meraup kembali bibir Lea. “Pergilah.” Lea mendorong tubuh Adrian dengan cepat.Sebaik dan semanis apapun caramu berpamitan, nyatanya tetap terasa menyakitkan, Tuan.**“Sakit sekali ya, Tuhan.” Lea menumpahkan tangisnya sesekali menepuk dadanya yang tiba-tiba terasa sangat sesak. Seolah-olah rasanya ia ingin berhenti bernapas. “Kenapa cinta sesakit ini.”Dia merasa hancur. Sehancur-hancurnya, Adrian benar-benar telah berhasil mengambil segalanya. Tapi, ia sadar semua bukan salah Adrian. Ini salah dirinya yang telah menjadi perempuan tidak tahu diri. Kembali melangkahkan kakinya, menikmati tiap tetes hujan yang membasahi tubuhnya. Wajahnya sudah terlihat pucat kedinginan, bahkan ia merasa tubuhnya pun sudah menggigil. Namun, ia tetap terus melangkahkan kakinya. Ia berharap hujan pun mampu menghapus lukanya. Brugghh!“Aduh!!” Lea meringis saat kakinya tersandung membuatnya terjatuh. Ia melihat ujung jempolnya yang terluka, terasa perih saat terguyur air, tapi lebih perih hatinya saat ini. Ia berusaha beranjak dari tempatnya. Namun, usahanya gagal ia kembali terj
“Kau tidak perlu minta maaf, Ian. Sejak awal kita memang tidak hubungan kita hanyalah kompensasi, bukan untuk sesuatu yang serius. Kita terikat dalam sebuah perjanjian, yang kapanpun kau berhak untuk mengakhiri.“ Lea menoleh ke arah Adrian setelah berkali-kali berusaha mengendalikan diri. Berusaha tersenyum, meyakinkan diri bahwa ia harus baik-baik saja. Meski hatinya sakit, dan matanya pun memanas ingin menangis, sebisa mungkin akan ia tahan. “Jangan katakan maaf, karena kamu tidak bersalah. Keputusan kamu ini sudah benar, sejak awal hubungan kita terikat perjanjian yang saling menguntungkan.”“Kamu baik-baik saja kan?” Adrian beranjak dari tempat duduknya menghampiri Lea.Namun, Lea justru melangkah mundur seolah menghindarinya. “Tentu saja aku baik-baik saja. Kau berpikir apa?” Ia memalingkan wajahnya menahan gemuruh dada yang hampir meletup. Menyembunyikan senyum getirnya yang tertahan.“Kamu tidak pernah menganggap hubungan kita lebih dari itu kan?” tanya Adrian lagi. Lea kembal
Adrian sontak menoleh sejenak. “Perasaan kamu saja kali. Aku biasa saja.”“Mungkin.” Lea menarik minuman di depannya. Entah kenapa hatinya tiba-tiba terasa gelisah. “Tapi aku senang sih akhirnya bisa ngerasain kaya orang-orang pacaran merayakan ulang tahun sama pasangan.”“Aku nyalain lilinnya ya. Nanti kamu tiup lilin deh.” Adrian menyalakan lilinnya. Kemudian keduanya bernyanyi bersama sebelum kemudian Adrian meminta ia untuk meniupnya.“Aku make wish dulu ya.”“Iya.”Lea pun memejamkan matanya berdoa di dalam hatinya. Sebelum kemudian membuka matanya, lalu meniup lilinnya. Mereka tertawa bersama. Lea memotong kue itu sebelum kemudian menyuapi Adrian. Pria itu terlihat pasrah melihat Lea melakukan apapun padanya. “Sorry, Ian. Kena pipi kamu.” Lea menunjuk ke arah pipi Adrian yang terkena noda coklat.“Mana.” Adrian berusaha membersihkannya tapi yang ada nodanya justru belepotan. “Bukan di situ, jadi kemana-mana kan!” Lea berdecak mengambil tisu di atas meja menghampiri Adrian. Ia
“Aku ini tunanganmu, Adrian. Dan sebentar lagi kita akan menikah, wajar aku melakukan hal demikian.”“Selagi aku belum berstatus suamimu aku masih bebas. Dan kau tidak berhak menekanku. Aku bebas melakukan apapun. Menjalin hubungan dengan siapapun. Toh pernikahan kita hanya akan terjadi karena jalinan bisnis bukan?” Adrian masih menjawab dengan tenang. Wajah Belinda tampak geram tidak terima. “Jadi, kamu lebih memilih reputasi keluargamu hancur?”“Apa maksudmu?”Belinda menyeringai. “Kau tahu bagaimana aku bukan? Aku bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang aku sukai. Jika foto ini tersebar ke seluruh media kau bayangkan apa yang terjadi kedepannya!”Adrian terkejut mendengarnya, memikirkan akibat yang akan terjadi bila skandal itu akhirnya harus terbongkar ke publik. “Aku bahkan bisa menghancurkan Lea sehancur-hancurnya!” Belinda kembali memberikan ultimatum mematikan.“Apa yang kau inginkan?”****Dua hari kemudian....Lea baru selesai membersihkan diri, karena ia baru tib
“Ada apa, Bel?” tanya Ben.Belinda menoleh ke arahnya. “Kemana Adrian?”“Ada pekerjaan di luar kota. Tumben sekali kamu peduli dengan pekerjaannya.”“Yakin urusan pekerjaan?” tanyanya dengan nada sinis. Tangannya meremat kuat tas miliknya. Wajahnya memerah kala melihat notifikasi foto yang dikirimkan seseorang. Ben tertegun sejenak memandang ke arah Belinda dengan heran. “Ya iyalah. Kerjaan dia lagi banyak. Bukannya bentar lagi kalian mau menikah otomatis harus mengambil cuti yang cukup banyak.”Belinda menggelengkan kepalanya. “Ternyata kalian bersekongkol.” Detik berikutnya Ben terperangah mendengarnya. “Maksudnya?”“Di mana ruangan Lea?” Bukannya menjawab pertanyaan Ben. Belinda justru bertanya hal lain, pertanyaan yang cukup membuat Ben terkejut. “Untuk apa kamu bertanya soal Lea. Ada masalah apa sih?”“Gak usah pura-pura!” cibir Belinda mendekati Ben lalu berbisik pelan. “Aku hanya ingin memberi wejangan sedikit sama dia!” lanjutnya kakinya melangkah berbalik mencari keberadaa
“Gak asyik! Membosankan!” celetuk Adrian membuat Lea menoleh ke arahnya.“Asyik kok.”“Kamu kok gak ada takut-takutnya sih, Le. Kaya yang lain tuh menjerit-jerit teriak, minta dipeluk atau dicium gitu akan enak,” katanya frontal membuat Lea melongo.“Emang kenapa harus takut? Aku milih film ini kan karena berani.”“Ya kan ini film horor menakutkan, Le. Minimal kaya perempuan yang lain tuh menjerit, terus meluk pasangannya gitu.”Detik berikutnya terdengar decakan menyebalkan dari bibir Lea, lalu mencibir. “Film ini tidak apa-apanya dibandingkan jalan hidupku, Ian. Aku bahkan sempat mengalami hal yang menakutkan dari ini. Hidupku jauh lebih horor dibandingkan film ini.”Adrian melongo tak percaya, sementara Lea tergelak kecil. Kembali konsentrasi menonton, hingga pada adegan selanjutnya Lea melotot lalu memalingkan wajahnya. “Dih ngapain diselipun adegan begini,” protesnya saat melihat adegan lebih intim. Berbeda dengan reaksi Lea yang tampak kesal. Adrian justru tersenyum senang, tang