"Syukurlah kalau kamu sudah tahu semuanya Amira, Kakak tidak perlu repot-repot buat pura-pura lagi sekarang!" teriak Kak Nita saat aku berjalan meninggalkan mereka.Tak ku hiraukan teriakannya itu, aku berjalan melewati ruang tamu. Lagi, kini malah Rinjani yang menghentikan langkahku."Amira! Lo mau kemana?" tanya Rinjani bangkit lalu menghampiriku."Rinjani!" ucapku menangis langusng memeluknya eurat."Ada apa Mir? Apa yang terjadi?" Rinjani terdengar panik, sedangkan Daniel hanya menatap kami dengan penuh pertanyaan di wajahnya."Ayok kita pergi dari rumah ini," ucapku lagi setelah melepas pelukkanku."Tapi, bukannya kita mau nginap di si...,""Jangan sok dramatislah Amira, lagian kamu juga udah tahu tentang ini sejak lama kan?" suara Kak Nita kembali terdengar.Dia datang lalu berdiri memberi jarak cukup jauh dengan kami. "Apa maksud Kalak aku dramatis hah?! Kakak merasa bangga sekarang? Apa Kakak merasa puas sekarang sudah menghancurkan rumah tangga adik kandungmu sendiri, di mana
"Tumben lo gak banyak bacot Niel?" tanya Rinjani pada Daniel yang kini hanya diam sambil memainkan nasi menggunakan sendok, dia melirik sekilas ke arah Rinjani lalu kembali memainkan nasi. "Rinjani, aku mau berangkat kerja dulu, maaf aku ngerepotin kamu ya," ucapku lalu bangkit. "Ah, elu, kayak sama siapa aja, lo boleh tinggal di sini sampai kapanpun, jangan sungkan-sungkan, anggap aja ini rumah lo sendiri, oke?" Rinjani tersenyum sambil membentuk jarinya berhuruf membentuk huruf "O"."Kalau gitu, rumah ini bisa aku jual dong, hehe...," kataku bercanda agar suasana tak terasa kaku."Yey...janganlah, ini kan rumah kontrakan, nanti gue yang di marahin ma yang punya," jawab Rinjani.Setelah cukup lama berbincang, akhirnya aku memutuskan untuk berangkat bekerja. Aku juga berniat akan menjenguk Papah Andri yang katanya sedang di rawat di rumah sakit. ***********Setelah sampai di rumah sakit, aku meminta izin ke pada kepala kebersihan untuk menjenguk Papah mertuaku di ruangannya. Untung
"Baik, Mah," ucapku sambil pergi menuju ruanganku setelah mendapat teguran dari ibu mertuaku.Terpaksa aku menuruti keinginannya karea tak mungkin aku menolaknya. Mamah Rani adalah putri tunggal dari Kakek Fatih, pemilik rumah sakit yang baru-baru ini mengganti namanya dari RS.BAKTHI menjadi RS.FATIH. Untuk mengenang kepergian mendiang Ayahnya, Mamah Rani sengaja mengganti nama rumah sakit itu. Dia mempunyai wewenang yang begitu besar atas rumah sakit itu, karena hanya dialah satu-satunya putri pewaris dari Kakek Fatih.Sudah lama aku menunggu taxi datang tapi lagi-lagi selalu saja taxi tak datang saat tengah di butuhkan. Karena tak ingin berlama lagi menunggu, aku segera menaiki bis untuk pulang ke rumah.Beberapa bayangan kejadian semalam bermunculan mengelilingi otakku. Aku sadar sekarang, tak ada gunanya lagi aku menangis walaupun masih selalu ingin begitu. Percuma saja, semuanya memang sudah terjadi, sesuai firasatku waktu itu.Ting!Sebuah pesan muncul di layar Handphoneku. Aku
"Mas kangen banget sama kamu," ucapnya lembut seakan melupakan wajah monsternya yang dia perlihatkan tadi siang padaku."Aku haus Mas, aku mau ambil minum dulu," kataku beralasan karena malas sekali harus berbicara dengannya.Tanganku malah di tarik oleh Mas Razan, lalu dia mendudukkanku di pangkuannya."Jangan bersikap selerti itu, kamu masih istri Mas Amira, dan kamu wajib menuruti permintaan Mas," katanya sambil memandangku."Apa Mas masih menganggap Amira sebagai istri Mas setelah apa yang Mas lakukan itu....," Mas Razan sengaja membungkam mulutku dengan bibirnya. Aku tak bisa berkata apapun lagi, malam ini dia begitu ganas menjamahku. Sebagai seorang perempuan dan masih memiliki ikatan pernikahan dengannya, aku tak bisa menolak permintaan suamiku meski hartiku begitu sakit.Mas Razan melakukan kewajibannya lagi senagai suami ke padaku. Rasanya aneh sekali, karena sudah lama kami tak melakukannya, juga perasaanku yang kini merasa berat hati. Berjuta pertanyaan muncul dalam hati y
"Hai, apa kabar Moy?" sapanya sambil mengulurkan tangan padaku setelah dia duduk di sampingku."Aku baik, jangan panggil aku dengan sebutan itu, gak enak dengar orang," protesku yang malah membuat Rama tertawa."Hahaha..., itu kan sebutan sayang dariku waktu kita masih pacaran dulu," ujarnya sambil terkekeh. "Kamu sudah menikah?" sambungnya.Aku mengangguk mengiyakan tanpa membalasnya dengan ucapan. "Suami kamu mana? Kok kamu sendirian?" tanyanya kepo sekali."Ada di rumah, maaf ya Rama, aku gak bisa lama-lama di sini, gak enak di lihat orang. Ada keperluan mendadak juga," aku bangkit yang segera di cegah olehnya."Tunggu dulu Amira!" panggilnya saat aku hendak melangkah."Iya? Ada apa?" tanyaku menoleh."Tunggu sebentar, kebetulan kam ada di sini, aku mau ngasih undangan buat kamu, tunggu sebentar ya, gak akan lama kok," katanya sambil pergi entah kemana.Beberapa menit kemudian dia kembali sambil membawa sepucuk surat undangan di tangannya. "Ini undangan buat kamu, jangan lupa dat
Aku membalikkan badan karena tak ingin Mas Razan melihatku. "Amira, kenapa?" tanya Rinjani mengguncang lenganku."Amira!" panggilan dari suara yang tak asing itu membuatku kembali membalikkan badan."Iya?" jawabku pada Rama yang repot-repot berjalan menghampiriku padahal tadi ku lihat dia ada di dekat pintu masuk."Terimakasih sudah datang ke acara pesta ini. O, ya, suami kamu mana?" tanya Rama sambil mengedarkan pandangannya ke arah belakangku.Sontak saja aku dan Rinjani saling berlirikkan. Tidak mungkin aku mengatakan jika orang yang baru saja berjabat tangan dengannya itu adalah suamiku. Sedangkan di sana dia membawa Kak Nita untuk hadir di acara pesta."Eu...,""Dia lagi sakit ambeyen, jadinya suami Amira gak bisa datang!" Rinjani memotong ucapanku. Entah harus marah atau tertawa saat mendengar alasan yang dia katakan.Buk!Aku menepuk lengannya, membuatnya meringis. "Aw! Sakit Mir!" katanya."Kalau begitu silahkan masuk, sekalian aku juga mau ajak kamu buat silaturahmi bertemu
"Dan ingat Mas! Aku mengenakan gaun ini bukan untuk menjajakan diri ke pada laki-laki lain, bukan ingin di fuji oleh mereka juga. Aku mengenakannya karena sudah lama baju ini berdiam diri di lemari. Bukankah kamu tidak pernah mengajakku ke acara pesta seperti ini? Selalu saja kamu membawa wanita lain untuk menghadiri pesta apapun!" sambungku lagi dengan penuh emosional."Kamu sudah berani melawan Mas, Amira! Baru saja kita akur, kamu selalu saja membuat Mas emosional!" dalihnya mengkambing hitamkan aku."Ayok kita pulang Rinjani!" aku menarik tangan Rinjani."Mas belum selesai bicara!" kata Mas Razan.Tak aku gubris ucapannya itu. Memasuki mobil yang di kemudikan oleh sahabatku. Berusaha menulikan telinga dari panggilan Mas Razan yang tak berhenti memanggil namaku."Apa yang sebenarnya terjadi Mir?" tanya Rinjani sambil mengemudi sesekali melirikku yang sudah berderai air mata."Ceritanya panjang, nanti aku ceritakan di rumah," jawabku."Maaf ya, tadi aku gak ikut kamu ke atas, Si Raz
Merasa tak enak jika harus terus menolak permintaannya. Aku terpaksa mengiyakan saja. Lagi pula cuma sebentar saja, beberapa menit kemudian aku akan segera pamit pergi.Rama keluar dari kamar yang aku tempati setelah mendapat panggilan telpon dari seseorang. Sedangkan, Nenek Aletta masih tetap setia menemaniku.Seorang pelayan datang membawa beberapa buah-buahan segar lengkap dengan segelas susu hamil di atas nampan."Ini, Nyonya," ucap pelayan sambil menaruh buah-buahan segar itu di atas nakas."Iya, silahkan kamu kembali ke belakang," kata Nenek Aletta.Dia mengangguk sambil pergi. Nenek Aletta mengambil buah apel dengan sebuah pisau kecil. Dia mengupasnya sendiri. "Kamu minumlah dulu susumu selagi hangat, tadi Nenek menyuruh pelayan untuk membeli susu hamil di toko terdekat, sambil menunggu buahnya Nenek kupas, kamu minum susu dulu," kata Nenek Aletta seolah berbicara dengan cucu sendiri. "Tidak usah Nek, biar Amira saja yang mengupasnya." Aku mengambil apel beserta pisau di tang