“Nyonya, ada yang menghalangi jalan, mereka terlihat seperti bandit gunung.” Sambil tetap memacu kuda, kusir melaporkan. Chun Mei tahu jalan menuju pos 7 ini kurang aman, tetapi dia juga tak punya jalan lain kecuali melewatinya. Kemudian wanita itu berkata, “Berhenti! Aku akan bicara pada mereka.” Kusir. “...” Awalnya bergeming, tetapi akhirnya mengikuti perintah Chun Mei. Menarik tali kekang kudanya. Kuda meringkik, perlahan tapi pasti berhenti saat itu juga. Barulah Chun Mei menyandarkan Liu Ning, dilanjut menyibak tirai penutup gerbong hanya untuk menunjukkan diri, menghadapi para bandit itu tanpa rasa gentar sedikit pun di wajahnya. “Aku hanya selir miskin, tidak punya banyak harta selain kereta kuda ini dan ini—” Chun Mei tidak mau ribut, tidak mau perjalanan tertunda lebih lama. Di dalam, nyawa Liu Ning jauh lebih penting! Jalan mereka terhalang bandit gunung, dan mereka tidak akan pantang menyerah kalau belum mendapatkan harta yang diinginkan, jadi Chun Mei tanpa r
“Siapa di sana?!” Seruan keras seorang pria memecah sunyi di tepi sungai. Tiga pelayan yang sedang menahan Liu Ning sontak terkejut. Tatapan mereka saling bertemu, penuh kepanikan. Tanpa pikir panjang, mereka serentak melepaskan Liu Ning begitu saja. Tubuh gadis itu terhempas ke tanah becek di tepi sungai, terdengar suara berat dari dadanya yang berusaha mencari udara. Rambutnya menempel di wajah, bibirnya membiru, matanya merah basah, nyaris kehilangan kesadaran. “Cepat lari! Kalau ketahuan kita bisa habis!” bisik salah satu pelayan panik. Mereka bertiga segera menerobos semak belukar dan ilalang tinggi tanpa menoleh ke belakang, langkah-langkah mereka terburu, meninggalkan Liu Ning tergeletak sendirian. Air sungai terus bergemuruh, seakan menyaksikan penderitaannya. Beberapa saat kemudian, dari arah jalur setapak, seorang pria muncul. Pakaian prajurit membalut tubuh tegapnya, tombak panjang tergenggam di tangan. Sorot matanya tajam, terlatih untuk membaca keadaan. Di
“Selir Agung!” Nyonya Xu mendorong seorang pelayan muda masuk ke dalam ruangan. Wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya merah berair seolah tak tidur semalam suntuk. Gerakannya gelisah, tangannya terus-menerus meremas jubahnya sendiri. Selir Agung yang tengah bersandar di kursi berlapis sutra mengangkat kepala perlahan. Seketika, alisnya terangkat tipis. Itu pelayan yang beberapa waktu lalu dia jadikan ‘kelinci percobaan’. Kali ini penampilan pelayan polos itu benar-benar berbeda. Sorot matanya kosong sekaligus berkilat aneh, ada bekas goresan di pergelangan tangannya, sedikit tampak dari balik lengan jubahnya. Gerakannya terguncang, seperti orang yang tengah kecanduan sesuatu yang tak kasat mata. Pelayan itu terhuyung ke depan, hampir jatuh berlutut. Dengan suara serak, dia memohon, “Nyonya, wewangian itu, berikan lagi pada hamba, hamba mohon. Tanpa aromanya, dada hamba sesak, kepala hamba berdenyut, hamba bisa gila!” Matanya membelalak, tangannya meraih ke udara, seolah ingin
Di dalam kamar gelap itu, hanya satu pelita kecil di sudut yang memancarkan cahaya redup. Chu Qiao duduk bersila di lantai, gaun merahnya kusut dan sedikit robek di bagian bahu, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Tangannya membuka lipatan peta yang tadi nyaris mengorbankan nyawanya. Kertas tua itu memancarkan aroma lembab yang khas, dengan garis-garis halus yang membentuk jalur-jalur rahasia dan tanda-tanda yang hanya bisa dibaca oleh orang tertentu. Dia mengamati dengan seksama, matanya bergerak cepat mengikuti setiap garis. Kemudian, perlahan, dia mengangkat pewarna bibir yang diambil langsung dari bibirnya. Dengan ujungnya, dia memberi tanda bulat kecil berwarna merah di beberapa titik peta. Titik-titik itu adalah lokasi yang pernah dia datangi, yakni markas pelatihan pasukan tersembunyi Zhuge Liang. Tempat-tempat itu masih aktif hingga sekarang. Hanya tersisa dua titik terakhir yang belum dia jamah. Di salah satunya, dia yakin, Zhuge Liang bersembunyi. Bibirnya men
Chu Qiao melangkah masuk dengan gerakan anggun, kain gaunnya melambai pelan seperti disapu angin tipis.Dia membawa pipa berukir halus, serta permukaan kayu mengilap. Aroma cendana yang samar mengikuti, menambah kesan misterius pada kehadirannya.Tuan Ding duduk bersandar di kursi rendah berlapis beludru merah. Satu tangan memegang cawan arak, tangan lainnya bertumpu di sandaran kursi. Bibirnya melengkung membentuk senyum puas ketika melihat wanita itu menghampiri.“Silakan,” suaranya berat, tapi mengandung nada memerintah.Chu Qiao menunduk sopan. Dia duduk di atas bantal tipis di hadapannya. Dia meletakkan pipa di pangkuan, jemari lentiknya menyentuh senar dengan kelembutan seorang perawan desa, tapi matanya menyimpan ketajaman yang tak pernah tumpul.Nada pertama mengalun, bening, jernih, seperti tetes embun jatuh di permukaan batu. Nada berikutnya menyusul, membentuk alunan melodi yang mengisi ruangan, mengalahkan suara riuh di bawah. Gerakan jemarinya lincah dan terukur, sementar
Di kediaman jenderal.Uap panas mengepul memenuhi ruangan dengan aroma kayu pinus yang samar. Air dalam bak mandi beriak pelan setiap kali jenderal Shang Que bergerak. Bahunya yang lebar terendam sebagian, otot-otot punggungnya tampak tegang, meski air hangat seharusnya mampu membuat tubuh rileks. Rambutnya yang panjang dan basah terurai di permukaan air, sebagian lagi menempel di kulitnya.Di balik papan rendah berlukis danau dengan bunga teratai, suara langkah kaki terdengar sebelum terhenti tepat di luar bak mandi.“Jenderal,” suara itu datar, tapi penuh hormat, “informasi tentang Chu Qiao sudah kami peroleh.”Shang Que tidak segera menjawab. Dia hanya memiringkan kepalanya sedikit, isyarat agar bawahannya melanjutkan.“Dia lahir dari keluarga petani di perbatasan barat, hidup berpindah-pindah mengikuti musim panen. Ayah dan ibunya meninggal saat dia berusia tujuh belas tahun. Sejak berusia 9 tahun, dia berlatih bela diri sendiri dengan bimbingan seorang pedagang keliling yang pern