Share

2. Menggoda

Author: pensaether
last update Last Updated: 2025-10-17 15:17:46

Zayn melepaskan bibirnya dari Ara dengan kasar, napasnya berat. Sadar akan suara langkah cepat di tangga darurat yang mulai turun—mereka sudah menyusul.

Dia menatap Ara.

Gadis itu hancur—bibir bengkak, mata berkaca-kaca, tangan masih mencengkram kerah bajunya seperti takut ditinggalkan. Dan itu membuat darahnya mendidih.

"Sial," 

Zayn menggeram, menyembunyikan wajah Ara di dadanya sebelum menggendongnya dengan satu gerakan kasar. Pintu tangga darurat terbanting saat dia menerobos keluar, langkahnya cepat tapi terukur.

Tubuh Ara terlalu panas, bahkan melalui pakaiannya. Lift yang kosong menyambut mereka, dan Zayn menghajar tombol tutup tepat sebelum bayangan hitam muncul di ujung koridor.

Ia mengeluarkan kartu khusus dari sakunya dan menekan akses agar lift bisa membawanya ke lantai VVIP. Lantai teratas.

Tapi Ara tidak membuat ini mudah.

"Zayn—" Napasnya menggigit di lehernya, jari-jari hangus merayap di bawah jaketnya. "Jangan berhenti..."

Dia tergoda.

Sangat.

Tapi saat lift berbunyi ding, kesadarannya kembali. Ini Ara. Adik sahabatnya. Dan dia sedang keracunan—bukan sadar diri.

Kamar suite mewah terbuka.

Tapi dengan cepat memulihkan kesadaran dirinya sendiri. Ini bukan waktu yang tepat untuk memanfaatkan seorang gadis. Apalagi itu masih mantannya. Setidaknya pikirkan hubungan persahabatan gadis ini dengan sang adik.

Jadi ketika Zayn sampai di lantai yang dituju dan membuka kamar sesuai dengan kartu aksesnya. Ia sudah mulai sadar dan tidak lagi berniat menekan Ara dibalik pintu seperti rencana awal, mengajari gadis ini arti bahaya bermain api yang sesungguhnya. 

Tapi Zayn menggigit lidahnya sendiri sampai berdarah dan menyeret Ara ke kamar mandi.

Air dingin menyambar.

Air dingin masih menderas, membasahi tubuh Ara yang menggigil. Gaun hitamnya—yang sudah compang-camping—melekat erat di kulitnya, seperti lapisan kedua yang enggan terlepas. Kain basah itu mengungkap lebih dari yang seharusnya bahwa tulang selangkanya yang runcing, lekuk pinggang yang sempit, paha yang gemetar menahan dingin.

"Z-Zayn... hentikan—!"

Suaranya pecah, tapi Zayn tidak bergerak.

Dia berdiri di ambang pintu kamar mandi, menggenggam bingkai pintu dengan kekuatan yang membuat kayunya berderak kecil. Otot-otot lengan dan bahunya menegang jelas, seperti kabel baja yang dipaksa menahan beban terlalu berat.

Ini ujian.

Dan Ara—dengan segala ketidaksadarannya—tidak membuatnya mudah.

Kakinya terkulai, membuatnya jatuh ke lantai basah. Rambutnya yang basah berantakan seperti sutra hitam yang tercerai-berai di porselen putih. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan hanya karena air dingin—ada sesuatu yang lebih gelap di sana.

Marah.

Malu.

Tapi juga—

Lapar.

Zayn bukan orang baik.

Dia pernah memimpikan ini—Ara di ranjangnya, menggigit bibir bawahnya sendiri seperti tadi, memintanya untuk mengambil apa yang dia inginkan.

Tapi tidak seperti ini.

Tidak dengan Ara setengah sadar, tubuhnya dipenuhi racun yang membuatnya bukan diri sendiri.

Namun—

"Z-Zayn..."

Suara Ara serak, tapi kali ini berbeda. Menggoda.

Zayn menegang.

Matanya—yang setengah sadar, setengah liar—menatapnya dari bawah bulu mata yang basah. Bibirnya yang masih gemetar terbuka sedikit, seperti undangan yang terlalu berbahaya untuk diterima.

Dan Zayn—

Dia hampir melupakan semua alasan untuk menahan diri.

"Kau... takut?"

Provokasi.

Zayn menggeram.

"Jangan main api, Ara."

Tapi Ara sudah merangkak mendekat, gerakannya tanpa disengaja semakin membangkitkan godaan untuk laki-laki. Tangan mungil itu menyentuh betis Zayn, jari-jarinya naik pelan seperti laba-laba di kulit.

"Aku mau – tolong." Ara berjongkok di depannya.

"Atau..." Tangannya yang dingin menyelinap ke dalam saku celana Zayn, menemukan sesuatu yang keras, "Kau tidak….?"

Zayn menahan nafas.

"Ara." Peringatan dalam suaranya seperti baja dingin.

Tapi gadis itu sudah terlalu jauh. "Aku ingat," bisiknya, nafas gemetarnya mengalir di telinga Zayn, "Kau suka saat aku—"

Zayn menangkap pergelangan tangan Ara dengan cengkeraman baja. "Kau tidak tahu apa yang kau mainkan."

Mata Ara berkilat licin—separuh racun, separuh tantangan. Bibirnya yang masih basah oleh air dingin melengkung nakal. "Buktikan kalau aku salah."

Itu yang memutus talinya.

Dengan gerakan kasar, Zayn membanting tubuh Ara ke dinding kamar mandi, bingkai kaca bergetar di bawah benturan itu. "Kau yang meminta ini," desisnya, suara serak seperti batu yang saling bergesek.

Tangan besarnya menggenggam paha Ara, mengangkatnya dengan mudah hingga kaki gadis itu melingkari pinggangnya. Ara terengah, tapi senyum kemenangan itu masih ada—

Sampai Zayn menyerang.

Giginya menggeram di leher Ara, menghisap dan menggigit seperti binatang buas yang menandai mangsanya. Ara menjerit, tapi Zayn menghabisi suaranya dengan ciuman yang dalam, kasar, dan penuh klaim.

"Z-Zayn—!"

"Sudah kubilang," nafasnya membakar kulit Ara, "Kau tidak siap untuk ini."

Di luar, hujan mulai menghantam jendela.

Tapi di dalam kamar mandi itu—

Mereka terbakar.

Lidah Zayn menyusuri tulang selangka Ara, gigi menggesek kulit sensitif di atas dadanya—

Ara melengkung, "Sial—! Tidak—!" Tapi tangannya mencakar punggung Zayn, kuku menancap dalam seperti kucing liar yang terjepit antara pelarian dan kepasrahan.

Zayn tersenyum—sinis, gelap. "Kau berbohong."

Dan ketika tangannya merayap ke dalam, menyentuh apa yang seharusnya tidak—

"Kau yang memulai, Ra," bisiknya, suara hancur antara kemarahan dan keinginan. "Maka aku yang akan memutuskan bagaimana ini berakhir."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Semalam Bersama Sahabat Kakakku   8. "Jangan Sentuh Artisku!"

    Ara sama sekali tidak tahu bahwa Leo—aktor besar yang reputasinya sedang naik di industri hiburan—juga diundang ke acara variety show ini. Dunia memang tidak tahu hubungan darah mereka. Bahkan Leo sendiri tampaknya berusaha keras menyembunyikannya.Dan Ara paham. Kalau publik tahu kenyataan itu, reputasi Leo bisa hancur hanya karena satu fakta: keluarga mereka adalah hasil perselingkuhan.Dilihat dari sisi mana pun, keluarga yang masuk ke hidup Ara adalah keluarga pelakor.Rendra, ayah Ara, menikahi ibu kandung Ara lewat perjodohan bisnis. Pernikahan itu terlihat harmonis—setidaknya dari luar. Sampai akhirnya sang ibu meninggal setelah melahirkan Ara.“Tuan besar makin kejam sama anaknya setelah nyonya besar tiada.&rdquo

  • Semalam Bersama Sahabat Kakakku   7. … Memang Bajingan.

    Saat Ezra mengetuk pintu kabin Ara untuk mengajaknya makan, pintu itu terbuka pelan dan muncullah wajah Ara—masih berbekas bantal, mata setengah sadar, dan rambut berantakan seperti habis berkelahi dengan selimut.Cantik, iya.Tapi membayangkan kemungkinan liur tidur masih menempel di pipinya membuat Ezra secara naluriah mundur setengah langkah.Dia benar-benar pisopobia.“Setidaknya cuci muka dulu, Ra,” katanya datar.Ara menguap tanpa malu. “Sebagai orang yang sudah pernah lihat wajahku waktu berak… kenapa aku harus sungkan?”Ezra spontan menutup mulut Ara dengan tangannya. Mata bulatnya la

  • Semalam Bersama Sahabat Kakakku   6. Melamar

    Sesuai kesepakatan, Ara dijemput oleh Ezra keesokan harinya. Karena Ara belum selesai berkemas, ia terpaksa masuk ke dalam rumah dan—seperti biasa—langsung menjadi pusat pertanyaan dari Nyonya Endra.“Apakah Ara benar-benar menginap di rumah temanmu kemarin malam? Bagaimana kalian bisa bertemu sebelumnya? Tante bukan menuduh, ya. Hanya saja kemarin Ara tiba-tiba menghilang dari rumah. Tante takut dia berbohong bilang menginap di tempat kalian padahal tidak.”Ezra tidak langsung menjawab, malah meneliti ekspresi wanita itu. Ia memang tidak diberi tahu oleh Ara maupun kakaknya tentang bagaimana Ara bisa berakhir tidur di rumah mereka. Dugaan awalnya mungkin Ara bertemu kakaknya di club malam. Tapi melihat gelagat ibu tiri Ara, Ezra merasa masalahnya justru berasal dari sini.“Kenapa Tante tidak percaya pada anak Tante sendiri?” tanya Ezra lembut namun tegas. Wanita ini selalu berusaha tampil sebagai ibu tiri yang baik di depan orang-orang yang bisa menguntungkan dirinya. “Setahu saya Ar

  • Semalam Bersama Sahabat Kakakku   5. “Seberapa gila tadi malam?..

    Ara mengenakan gaun pengantin yang anggun, berdiri di depan rumah kaca berwarna-warni. Zayn, dalam setelan putih, memegang sebuket mawar merah menyala saat mendekat. Tatapan dinginnya mencair, membuatnya terlihat sempurna seperti pangeran dongeng. Setiap langkah yang diambilnya disertai kata-kata manis.“Sayang, kurasa aku sakit—dan sakit parah. Entah kapan ini dimulai, tapi hanya kau yang kuinginkan. Aku rindu bertemu denganmu setiap hari. Dan setelah hari ini, kita akan bersama selamanya.”Zayn menciumnya dengan ganas. Jantung Ara berdebar kencang. Ia tersenyum manis—sebelum nada dering telepon membangunkannya.Ara terlonjak. Ia rupanya tertidur di dalam bathtub. Untung ia tidak mati tenggelam karena tergelincir.“Apa yang kupikirkan sampai bermimpi begitu?”Ia bangkit, membilas tubuhnya dari sisa busa bath bomb, lalu melilitkan jubah mandi. Ponselnya terus bergetar dari dalam celana yang tadi ia lepaskan di dekat wastafel. Ia mengangkat pakaian itu, mengambil ponselnya, kemudian me

  • Semalam Bersama Sahabat Kakakku   4. Sakit?

    “Siapa yang mengantar Ara?” suara Nadine, ibu tirinya terdengar tajam, penuh kecurigaan, menahan panik saat dirinya turun dari mobil.Pelayan menunduk gugup. “I–itu… mobil keluarga Alaric, Nyonya.”Alis Nadine terangkat tinggi. “Keluarga Alaric?” nada meremehkannya menusuk.Ara meletakkan tasnya, menatap wanita itu tanpa rasa takut. “Setidakpercaya itu, Bibi? Perlu kutelepon Nyonya Alaric untuk memastikan aku memang menginap di rumah mereka?”Tatapan Nadine memburu bak binatang tersudut. “Siapa tahu kau bersengkongkol dengan temanmu itu—Tuan Alaric—untuk menutupi hal-hal yang mempermalukan keluarga ini.”Ara mendengus, senyumnya dingin. “Hati-hati dengan ucapanmu, Bibi. Baru saja kau menuduh putra bungsu Tuan Alaric berbuat buruk. Apa jadinya kalau dia mendengarnya?”“KAMU?!” Nadine hampir membentak.“Apa? Bibi lupa siapa yang membuatku harus menginap di rumah Alaric?” Ara balik menyerang, nadanya sinis dan menusuk.Endra tiba-tiba bersuara keras. “Cukup! Ara, masuk. Duduk di depan Pa

  • Semalam Bersama Sahabat Kakakku   3. "Aku mau –

    Ketika matahari pagi menyilaukan jendela, Ara terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang pegal di setiap inci. Ia mengedip beberapa kali, mencoba memahami ruangan asing yang tidak familiar—dinding gelap elegan, wangi maskulin samar, dan ranjang king size yang terlalu nyaman untuk ukuran mimpi buruk semalam.“Shit—”Tanpa pikir panjang, ia menyingkap selimut. Napasnya tercekat.Gaun hitam robek yang dipakainya semalam sudah hilang. Sebagai gantinya, ia mengenakan kemeja putih kebesaran—jatuh longgar di bahu dan paha—dan sangat jelas milik siapa.Bukan mimpi. Sama sekali bukan mimpi.Tubuhnya terasa seperti baru saja dilewati kereta. Sakit, ngilu, tapi panas. Dan memori samar semalam kembali menyerbu tangan Zayn, napasnya, tatapannya, tubuhnya yang menghantam kesadarannya yang melemah karena obat.Ara menutup wajah dengan kedua tangan. “AKHH! Aku yang mulai duluan… kenapa aku sebodoh itu?!”Menambah buruk keadaan, ia tidak melihat Zayn di kamar.Dadanya mencubit sendiri.Sial. Setelah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status