Masuk“Eungh...” sebuah lenguhan kecil terlepas dari bibirnya.
Pagi mulai menyelinap lewat celah jendela apartemen lantai 10. Jam digital di atas nakas menyala redup, menunjukkan pukul enam. Dari kejauhan, suara klakson kendaraan bergemuruh samar di jalan raya, tapi di dalam kamar tamu bercat putih itu, sunyi begitu pekat. Jennar Marissa terbaring tertelungkup di ranjang queen size, selimut tipis menutupi sebagian tubuhnya yang dingin. Napasnya tersengal halus. Tubuhnya bergerak pelan, bergeser ke posisi terlentang. Keningnya berkerut, mata berat itu terbuka perlahan, matanya bergerak memandang sekeliling ruangan dengan pandangan samar, lalu mengerang pelan. “Ini… kamar tamu di apartemen Alexa...” gumamnya serak. Sakit kepala mendadak menebal, seolah jarum menusuk setiap sisi otaknya. Ingatannya mulai muncul samar: semalam dia mabuk. Tubuhnya tiba-tiba menggigil, merasa sangat dingin, ia menarik selimut ke samping dengan tangan gemetar. Napasnya tercekat saat menyadari ia terbaring tanpa sehelai pakaian pun menempel. “Jennar!” bisiknya tercekat. Tangannya gemetar, bergerak menutupi mulut lalu menggigit kukunya. Itu kebiasaan lamanya setiap kali panik, dan sekarang paniknya jelas membuncah. Gadis cantik itu memejamkan mata, kedua tangan meremas rambut dan memijat pelipis. Pusingnya masih berdenyut. Ingatan semalam muncul sepotong-sepotong seperti serpihan kaca. Perlahan muncul kilasan lebih banyak, mulai dari senyumannya, tawa yang menggema, dada bidang yang menjadi sandaran saat itu hingga aroma tubuhnya. “Kenapa.. Aku gak pakai baju..” bisiknya, ia masih bisa merasakan sentuhan hangat dari tangan yang menahan lengannya. “Aaaargh! Sialan! Apa yang sebenarnya terjadi!” ujarnya gusar sambil melirik blouse dan blazer yang teronggok di sudut lantai, kesadarannya terusik oleh sisa kenangan yang membingungkan. Jennar mengambil napas panjang. “Tarik napas, Jennar. Tenang dulu. Konsentrasi. Coba ingat lagi,” ia mencoba menenangkan diri sendiri, “Oke, semalam aku mabuk. Pergi ke apartemen Alexa. Dan pria tinggi itu? Gawat! Memangnya itu Birru?” Ia menutup wajah dengan kedua tangan, dada berdebar tidak menentu. Pikiran Jennar berputar liar, mencoba menyatukan potongan memori yang hilang. “Aku nggak ingat ciuman atau sesuatu yang lebih. Tapi kenapa aku nggak pakai baju?!” Tubuhnya tiba-tiba panas oleh rasa malu yang menusuk. Jennar mengacak rambut lebih keras, frustrasi bercampur takut. Ia meraih selimut, menariknya hingga menutup dada, lalu berusaha bangun untuk mengambil pakaiannya. Krek. Tiba-tiba pintu kamarnya bergerak. Sangat pelan. Jennar membeku seketika, jantungnya memukul tulang rusuk. Di celah pintu itu muncul wajah yang sejak tadi menghantui memorinya. Rambut hitam rapi, rahang tegas, mata tajam yang entah kenapa justru membuat lututnya melemas. Selimut langsung ia tarik setinggi mungkin, hampir ke dagu. Birru tampak santai sambil tersenyum tipis. Dan senyumnya seperti bisikan yang membuat tengkuk Jennar meremang. Pria itu menggeser pintu sedikit lebih lebar menggunakan ujung kakinya. Kaus tipis yang melekat di dadanya menonjolkan bahu lebar yang kuat, seolah-olah sedang tanpa sadar memamerkan diri. Jennar merasakan panas menjalar ke pipinya, jantungnya berdetak tak beraturan. “Mbak Jennar sudah bangun?” suara Birru keluar dengan nada tenang dan lembut, seperti gelombang hangat yang menggetarkan seluruh bulu halus di tubuh Jennar. Jennar terpaku sejenak, bibirnya kaku tak mampu berkata banyak. “Su-sudah…” Birru hanya mengangguk pelan, ketenangannya malah membuat Jennar semakin gelisah. “Kalau begitu, aku tunggu di ruang makan. Sarapan sudah siap,” ujarnya tanpa menunggu balasan, lalu menutup pintu perlahan. Jennar terdiam, dibiarkan sendiri dalam kekacauan perasaan yang campur aduk, antara malu, panas, dan ada sesuatu yang sulit dia pahami di dalam dadanya. *** Begitu pintu kamar tertutup rapat dan langkah Birru terdengar menjauh, Jennar menghela napas panjang, dadanya naik turun tak beraturan. Dia langsung bangkit dari tempat tidur, selimut dijepit erat di dada seolah itu satu-satunya pelindungnya. Saat kakinya menjejak lantai, tubuhnya masih terasa limbung, sempoyongan. Ia menggertakkan gigi, menegakkan badan dengan susah payah. Dengan jari-jari gemetar, Jennar berlari ke sudut ruangan tempat cermin berdiri. Selimut masih dicengkeram erat di tangannya. Dia menatap wajahnya sendiri yang tampak kusut, riasan yang belum sepenuhnya luntur menorehkan garis-garis kelelahan di pipi. Perlahan ia menurunkan pandangan, menelisik pundak, leher, lengan, hingga punggungnya sendiri. Napasnya tertahan ketika matanya mencari-cari tanda yang bisa jadi bukti. Tak ada bercak merah, tak ada bekas hisapan atau ciuman. Semua bersih. “Jadi, semalam aku sama dia… gak ngapa-ngapain, kan?” Jennar berusaha meyakinkan diri dari apa yang ia lihat. Tubuhnya benar-benar tanpa noda, seolah semua yang dia takutkan tak pernah terjadi. Tapi pertanyaan yang sama terus berputar dalam kepala, menghantui. Kenapa dia bisa bangun dalam kondisi telanjang? “Aku harus cari tau. Apa tadi itu benar-benar Birru, adiknya Alexa?” gumamnya pelan sambil mundur dari depan cermin. Jennar masih ragu, ia hanya pernah sekali melihat Birru dari kejauhan, itupun beberapa tahun yang lalu. Kebetulan rumah orang tua Alexa berada di Yogyakarta, jadi wajar mereka jarang bertemu. Sambil terus berpikir tentang kebenaran sosok pria yang semalam ia goda, tangan Jennar sibuk mengumpulkan helai-helai pakaian yang berserakan di lantai. Ia mengernyit saat mencium aroma blazernya, campuran parfum dan alkohol yang tajam. “Gila, seberapa parah aku mabuk?” bisik Jennar, pipinya memanas hanya mengingat kemungkinan betapa kacau dirinya semalam di hadapan Birru. Jennar buru-buru memakai kembali pakaiannya. Gadis cantik itu mengancingkan blouse dengan tangan gemetar. Celana kerjanya nyaris ia pakai terbalik. Beberapa kali ia salah memasukkan kaki karena pikirannya kacau. Begitu selesai, ia merapikan rambut seadanya, lalu menarik napas dalam-dalam, mencoba menyingkirkan sisa kepala yang berdenyut karena alkohol. Jennar menarik napas sebelum membuka pintu kamar perlahan. Dari dapur terdengar suara gelas beradu pelan, disusul aroma biji kopi yang merayap lembut ke hidungnya. Bibir Jennar menegang, napasnya tercekat ketika sosok Birru tampak membelakanginya, dengan tenang menuang bubuk kopi ke dalam cangkir. Jennar ingin mundur, namun langkah itu terhenti saat Birru menoleh. Matanya yang dalam menatap Jennar tanpa suara. “H-hai. Pagi…” sapa Jennar dengan gugup, suaranya lebih terdengar seperti ketakutan daripada sapaan biasa. “Pagi...” jawab Birru singkat. Tubuhnya yang tinggi menjulang meraih toples berisi gula di kabinet dengan tenang. Asap dari dua mangkuk bubur ayam di meja masih mengepul tipis, sementara aroma manis teh melati hangat menyelinap ke udara. Namun, tak satu pun dari itu mampu meredam kegelisahan di mata Jennar yang masih berdiri kaku di depan meja. Birru menatap Jennar sambil menggenggam toples itu, matanya tak lepas menyorot wajah Jennar. Tatapan Birru tetap terkunci, tenang dan datar tanpa sepatah kata pun, tapi ada kedalaman yang menusuk terlalu dalam untuk sekadar netral. Jennar refleks menunduk, pipinya yang tadi mulai memanas kini semakin merah membara. Ia buru-buru menyembunyikan wajahnya, berusaha menenangkan detak jantung yang seakan berlomba. Tiba-tiba, suara Birru terdengar pelan tapi jelas, “Next time…” katanya santai sambil menyendok gula, “kalau mau menggoda seseorang, pastikan kamu sadar dulu.” Jennar terpaku, tubuhnya kaku, tengkuknya terasa panas seperti terbakar. Napasnya tersendat-sendat, sulit mencari kata-kata. Namun, sebelum ia bisa merespon, pintu kamar utama berderit pelan. Alexa muncul dengan rambut acak-acakan, mata setengah terbuka, masih mengenakan piyama yang kusut. Saat pandangannya jatuh pada kedua sosok itu, ia berhenti di tempat, ragu. “Loh?! Adik? Kapan kamu sampai?” Alexa bertanya dengan suara penuh keheranan. Matanya kini beralih ke Jennar. “Jen, lo tidur disini semalam?” Jennar mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Baru semalam ia menggoda habis-habisan adik sahabatnya sendiri. Adik yang terakhir kali ia lihat masih remaja kurus berkacamata, bukan pria tinggi dengan suara berat dan bahu seperti itu. “Tidur dimana? Kan kamar tamu dipakai adik gue?” Bersambung...Birru kaku seketika saat bibir Jennar menyentuh bibirnya, pelan tapi pasti melumat tanpa ampun. Dunia di sekitarnya mendadak sunyi, waktu seakan berhenti. Tubuh Birru terdiam, otaknya bergolak antara melawan dan menyerah. Seharusnya dia mendorong Jennar atau bangun dari situ, tapi anehnya, ada rasa hangat yang tiba-tiba merayapi dadanya, menyelimuti segala keraguannya. “Mbak, Jennar, ini nggak benar,” bisik Birru, suaranya tercekat, berusaha menahan getaran perasaannya yang bertentangan. Bau alkohol yang pekat menyusup ke hidungnya, bercampur dengan aroma manis lipstik Jennar yang membuat pikirannya makin kabur. Ironisnya, justru hal itu meruntuhkan segala benteng yang ia pasang. “Tak ada yang benar atau salah malam ini, Birru,” Jennar menjawab diantara cecapan lembutnya di bibir Birru. Tangannya menempel hangat di pipi Birru, seperti menjaga agar pria itu tetap tinggal di sana, dalam pelukannya. Menyerah, Birru mulai menggerakkan bibirnya pelan. Jennar tersenyum, matanya terpejam
Cantik? Apa-apaan ini? Sejak kapan ia bisa disini? Jennar berjalan pelan di samping Birru, tumit stilettonya memantul nyaring di lantai marmer lobi. Dia bisa merasakan tatapan Daniel yang masih menempel di punggungnya dari dalam kafe—tatapan yang menusuk, seolah Daniel punya hak atas hidupnya setelah semua pengkhianatan itu. Untung tadi Birru datang tepat waktu, menyudahi potensi drama murahan antara dia dan Kinanti. Dan untungnya— kenapa juga dia ada disini? “Sama-sama…” ucapan itu tiba-tiba terlepas dari bibir Birru tanpa beban. Tangan kanannya santai memegang paper cup kopi Americano milik Jennar, sementara tangan kiri masuk dalam saku celana. Jennar menatapnya dengan mata terbelalak, ragu. “Maksudnya?” suaranya pelan, seperti menunggu jawaban yang aneh. Birru melirik setengah malas. “Oh, ya ampun. Kalau gitu makasih ya, Birru,” jawab Jennar, nadanya datar, pikirannya masih tertinggal di masa lalu yang remuk itu. “Mbak memang susah banget bilang makasih, ya?”
“Ini kan rumahnya, Mbak?” tanya Birru sambil mencondongkan tubuh sedikit, memastikan nomor rumah. Ia pernah ke sini sekali, bertahun-tahun lalu, ketika dirinya masih berseragam putih abu-abu. Mobil yang dikemudikan Birru melambat, lalu benar-benar berhenti di depan sebuah rumah sederhana dua lantai dengan pagar hitam yang catnya sudah mulai mengelupas dimakan cuaca. Jennar tersenyum kecil. “Iya. Makasih, Ru. Ternyata benar kamu pernah ke sini.” Ia merapikan tasnya, hendak membuka pintu mobil. “Aku nggak diajak mampir?” goda Birru, suaranya ringan tapi ada sesuatu yang mendesak di balik itu. Jennar menoleh cepat, tiba-tiba gugup. “Eh? Kamu mau mampir?” Birru tertawa pelan, menggeleng. “Enggak, Mbak. Bercanda. Mending Mbak masuk dan istirahat. Wajah Mbak cape banget.” Ucapan itu dikeluarkan Birru tanpa memikirkan dampaknya. Begitu selesai bicara, ia justru terdiam, tercengang pada dirinya sendiri dan berpikir sejak kapan dia peduli pada seorang perempuan? Jennar hanya m
Setelah berhasil melewati satu sarapan paling canggung di apartemen sahabatnya itu, Jennar akhirnya pamit. Jarum jam tepat menunjuk angka delapan ketika ia mencondongkan tubuh, mencium pipi Alexa, lalu menarik napas panjang sebelum meraih sepatu haknya. “Lo yakin nggak mau diantar?” Alexa memeluk lengannya sendiri, matanya meneliti wajah Jennar yang masih sedikit kacau. Jennar mencoba tersenyum. “Nggak perlu, Lex. Gue pesan ojek online aja. Lagipula lo ada da—” “Aku aja yang antar, Kak.” Suara Birru memotong kalimatnya. Pemuda itu muncul dari lorong dengan tampilan jauh lebih rapi daripada saat sarapan, dengan kaus polo hitam menempel pas di tubuhnya, jeans gelap, rambut basah yang disisir asal, dan kunci mobil Alexa berputar di jarinya. Ia berdiri santai seperti tidak ada yang aneh dengan aksinya. Alexa melotot, “Tumben?! Biasanya kamu paling anti urusan antar jemput manusia, dik.” Birru mengangkat bahu. Lalu Jennar merasakan tatapan Alexa jatuh padanya, seperti menan
Jennar mendadak kaku. Bekas lipsticknya juga mungkin masih rancu.Suasana di apartemen mewah Alexa mendadak terasa terlalu hening.Jennar berdiri kaku di ujung meja. Bibirnya seolah rapat tak bisa menjawab pertanyaan mudah dari Alexa yang tadi mempertanyakan tentang hubungannya dengan Birru.“Jen, lo tidur dimana?” Alexa memecah keheningan dengan nada pertanyaan yang diselipi curiga. Ia masih berdiri di ambang pintu kamar, matanya tak lepas mengamati makanan yang terhidang di meja. Bubur ayam tersaji lengkap, tapi sudah dingin. Teh melati yang masih mengepul tipis memberi petunjuk, Birru lah yang menyiapkannya.“Eum… Lex. Itu…” gumam Jennar, nyaris tak terdengar.Alexa mengembuskan napas keras.Pandangannya yang awalnya hanya menuntut penjelasan, pelan-pelan merayap turun, menyapu setiap detail dari Jennar yang terlihat salah tempat pagi itu.Blazer Jennar kusut, blousenya miring karena kancing bagian atas tidak bertemu dengan lubang yang semestinya. Riasannya luntur dengan eyeliner
“Eungh...” sebuah lenguhan kecil terlepas dari bibirnya. Pagi mulai menyelinap lewat celah jendela apartemen lantai 10. Jam digital di atas nakas menyala redup, menunjukkan pukul enam. Dari kejauhan, suara klakson kendaraan bergemuruh samar di jalan raya, tapi di dalam kamar tamu bercat putih itu, sunyi begitu pekat. Jennar Marissa terbaring tertelungkup di ranjang queen size, selimut tipis menutupi sebagian tubuhnya yang dingin. Napasnya tersengal halus. Tubuhnya bergerak pelan, bergeser ke posisi terlentang. Keningnya berkerut, mata berat itu terbuka perlahan, matanya bergerak memandang sekeliling ruangan dengan pandangan samar, lalu mengerang pelan. “Ini… kamar tamu di apartemen Alexa...” gumamnya serak. Sakit kepala mendadak menebal, seolah jarum menusuk setiap sisi otaknya. Ingatannya mulai muncul samar: semalam dia mabuk. Tubuhnya tiba-tiba menggigil, merasa sangat dingin, ia menarik selimut ke samping dengan tangan gemetar. Napasnya tercekat saat menyadari ia terbaring ta







