"Hai Chen Yung, kita buat sembahyangan untuk menyambut kedatangan kakakmu," ucap Nyonya Chen kepada anaknya. Chen Fu sudah tau permainan mereka. Hingga dia mendengus kasar. "Tidak usah Mami, aku pulang dari bulan madu dengan istriku," ucap Chen Fu tegas. "Wow, bulan madu? Ke mana? Apa kalian ke Eropa? Kenapa kalian bulan madu tidak bilang-bilang? Apa kamu tega bulan madu dengan gadis desa ini?" tanya Nyonya Chen melotot pada Mei Yan. Gadis itu hanya diam sambil memainkan rambutnya. Dia masih syok baru terhindar dari tembakan maut sekarang harus menghadapi mulut ibunya Chen Fu. Tapi dia bukan gadis lugu seperti yang dimaksud Nyonya Chen. "Emang kenapa? Dia istriku. Pokoknya jangan ada yang mengganggu istriku ini. Dia sudah mengandung calon penerus Dinasty Group," ujar Chen Fu. "Apa... apa yang kamu bilang? Dia sudah mengandung? Kamu sudah bulan madu ya?" Nyonya Chen seolah tidak percaya. "Tolong terima dia sebagaimana tamu kehormatan di keluarga ini. Kalau ada yang berani menyen
"Bagaimana Felix apakah aman?" tanya Austin berbicara dengan Felix melalui earphone. Felix berada di sebelah kiri mobil sementara Austin berada di sebelah kanan mobil . Chen Fu sudah sudah beberapa kali menjadi incaran para penjahat atau saingan bisnisnya. Karena dia adalah salah satu CEO muda yang punya gebrakan lain seolah menjadi ancaman bagi pebisnis lainnya di negara itu."Aman," sahut Felix. "Felix, apa kita bisa pulang?" tanya Austin lagi. "Segera tinggalkan tempat ini!" ucap Felix lagi. "Kamu masuk duluan ke dalam mobil, aku segera menyusul. Sambil jaga-jaga kalau ada tembakan yang lain," ucap Austin sambil mengamati keadaan. Felix kemudian masuk ke dalam mobil. Dia memakai sabun pengaman. Bersiap melaju dengan mobil Chen Fu. Di dalam Mei Yan masih memeluk Chen Fu. Selama hidupnya dia belum pernah mendengar suara tembakan peluru karena hidupnya di desa. Mei Yan tidak pernah punya musuh. Dia hanya sekolah di desa setelah itu dia tidak melanjutkan kuliah. Hanya sekolah mas
Sore itu Chen Fu mau pulang ke rumah. Dia menyuruh Felix untuk mempersiapkan mobil yang diparkir jauh sekali ketika mau masuk ke desa kediaman Mei Yan. Sementara itu Mei Yan masih tidak bahagia ketika harus meninggalkan Papanya sendirian. Hung Mao terus membujuk Mei Yan agar ikut dengan suaminya. Apapun alasannya Mei Yan sudah menjadi istri dari Chen Fu. Orang tua itu menyadari kalau putrinya belum bisa pisah dengan papanya. Chen Fu tidak bisa pulang tanpa Mei Yan.Tidak ingin istrinya tinggal sendirian apalagi setelah hubungan pertama mereka mungkin saat ini Mei Yan sedang mengandung anaknya. Teringat dengan papanya yang sudah meninggal. Dia juga sangat sayang kepada papanya itu. Ketika dia masih berumur 20 tahun papanya sudah meninggal di rumah sakit sehingga dia meneruskan perusahaan milik Dinasti Group sampai umur 30 tahun. "Papa, Mei Yan pamit dulu ya," ujar Mei Yan memeluk orang tua yang sudah berkacamata itu. "Nanti aku akan menyuruh bibi untuk datang menjenguk Papa," tamba
Chen Fu terlibat dengan pembicaraan serius dengan kedua ajudannya di gudang rumah milik Mei Yan. Sore itu, Mei Yan bersiap akan ke kebun memetik sayur untuk makan malam empat orang. Hung Mao sudah membeli ayam. Hari ini akan memasak nasi ayam dan tumis kangkung dengan tausi atau kedelai fermentasi. Mei Yan mencoba mencuri dengar apa yang dibicarakan oleh suami dan kedua ajudan itu. Hingga tanpa sengaja menabrak tumpukan kardus di depan gudang. Ketiga pria tampan itu menoleh. Gegas Chen Fu beranjak dan menghampiri Mei Yan yang ada di depan gudang. "Hei, ada apa, Sayang?" tanya Chen Fu dengan muka panik. "Tidak apa-apa, Tuan. Aku hanya mau mengambil keranjang untuk memetik sayur," ucap Mei Yan sambil meringis. "Oh nanti aku suruh Austin untuk membantumu memetuk sayur. Oh ya nanti sore kita harus pulang ke rumah," tandas Chen Fu. Lebih mirip perintah yang memaksa. Mei Yan menatap Chen Fu sambil memoncongkan bibir. Ingin sekali Chen Fu kembali melumat bibir gadis itu. "Aku tidak mau
Cukup lama Chen Fu menunggu di luar kamar mandi. Dia sangat gelisah tidak menyadari kalau saat ini dia berdiri di depan kamar mandi tanpa menggunakan kursi roda. Dia pun sudah tidak peduli yang ada di pikirannya hanyalah Mei Yan. Dia sangat menyesal karena telah meminta gadis itu melakukan sesuatu yang mungkin Gadis itu belum siap. Tapi dia merasa tidak pernah memaksa karena sudah menanyakan dulu kepada wanita itu. Kembali Chen Fu mengetuk pintu kamar mandi. "Mei, kamu tidak apa-apa kan?" teriak Chen Fu nunggu di depan kamar mandi. Mei Yan tidak menjawab. Dia hanya bersedih karena setelah hubungan semalam itu berarti dia memulai hidup dengan pria asing yang tidak begitu dikenalnya. Bagaimana latar belakangnya, sifatnya dan keluarganya. Apakah dia baik atau jelek. Chen Fu memberikan ruang pada Mei Yan untuk menenangkan diri. Dia berdiri bersandar di dinding kamar mandi sederhana. Meremas rambutnya yang sedikit gondrong. Artinya setelah hubungan semalam dia telah menitipkan beni
Sudah siang pukul sembilan pagi tapi kamar Mei Yan belum terbuka. Papanya, Hung Mao hanya tersenyum sambil ngerokok di meja makan. Menuggu mereka keluar untuk sarapan. Sementara kedua ajudan Chen Fu, Austin dan Felix jalan mondar mander di depan kamar Mei Yan. Mereka memakai celana pendek dan kaos sambil sesekali garuk-garuk kepala. "Ngapain kalian nungguin di depan kamar tuan mudamu?" tanya Hung Mao. "Takut terjadi apa-apa Pak Tua," sahut Felix spontan. Pria tua itu tersenyum. "Mereka itu suami istri. Mungkin sudah melaksanakan malam pertama jadi jangan ditunggu. Wah sebentar lagi aku akan punya cucu. Mari bersulang!" Hung Mao mendadak berdiri dan merangkul kedua pundak ajudan Chen Fu. Mengajak duduk di meja makan. Felix dan Austin hanya bisa saling pandang saja. Hung Mao mengambil anggur milknya kemudian tiga cangkir sloki. Tanpa ragu ragu lagi Hung Mao menuangkan anggur itu ke dalam sloki. Mengajak kedua ajudan Chen Fu untuk bersulang. "Selamat untuk calon penerus Tuan M