LOGINPria itu kini berdiri menghadapnya sepenuhnya, sorot matanya tajam, tapi wajahnya datar tanpa ekspresi.
Nafas Nessa tercekat. Matanya membesar, tubuhnya mendadak membeku seperti disiram air es.
"S-siapa kamu?''
Tubuh Nessa bergetar, kedua tangannya mencengkeram gagang sapu yang siap ia ayunkan lagi. Rasa takut menghimpit dadanya ketika melihat tatapan dingin pria asing yang menerobos masuk tanpa permisi.
"Jadi… kau istri Reino?" pria itu bertanya tanpa sekedip pun.
Ia menatap Nessa dari ujung kepala sampai kaki, lalu mengeluarkan cibiran kecil. "Selera Reino benar-benar aneh. Dari semua wanita di dunia, dia memilih wanita… jelek? Berkacamata tebal dan sama sekali tidak menarik."
Nessa melemparkan tatapan sinis ke arah pria misterius itu. Kata-katanya memang bukan hal baru baginya, tapi tetap saja ada sembilu halus yang menancap di dadanya.
Tanpa ragu, Nessa mengeratkan genggaman pada gagang sapu yang sejak tadi ia pegang. Ia mengangkatnya sedikit, cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak akan diam saja. Gagang sapu itu siap ia ayunkan kapan saja ke arah pria yang bahkan namanya pun tidak ia ketahui.
"Apa kamu pikir wajahmu tampan?" Nessa menyilangkan tangan, nadanya tajam seperti pisau. "Kamu seenaknya saja menghinaku. Pergi dari sini! Atau jangan salahkan aku kalau aku panggil petugas keamanan!"
Pria itu berhenti sejenak, kepalanya menunduk sedikit sebelum ia mendengus pelan. "Jadi… kamu benar-benar belum tahu siapa yang sedang kamu usir?"
Nessa memutar bola mata, jelas tidak terkesan. "Haruskah aku peduli?"
"Reino memang keterlaluan," gumam pria itu, suaranya bergetar menahan amarah. Ia kemudian kembali melangkah masuk tanpa memedulikan larangan Nessa.
Nessa mundur selangkah, kaget sekaligus kesal. "Hey! Aku bilang keluar!"
Nessa melangkah cepat mengekori pria misterius itu dengan perasaan wa-was. Siapa sebenarnya pria itu? Pikir Nessa, kepanikan pun semakin bertambah, ia lantas meraih ponselnya dengan gerakan cepat langsung menghubungi nomor Reino.
Tapi sayang tidak ada jawaban, pria itu kini duduk di meja makan dapur menyantap ramen milik Nessa yang belum sempat ia habiskan.
''Jadi alasan Reino menikahimu karena kamu pandai masak ramen?'' tanya pria itu menyantap habis ramen sisa Nessa.
Brakk....
Nessa memukul keras meja makan dengan gagang sapu, ''Jadi siapa kamu?! Cepat jelaskan! Atau sebaiknya pergi dari sini!''
''Kasar sekali, tidak ber=attitude,'' jawab pria itu singkat tanpa menoleh sedikitpun.
"Kalau begitu sebaiknya kamu pergi!!!'' teriak Nessa.
Pria itu melangkah mendekat perlahan, bayangannya menutupi cahaya di belakangnya. Refleks, Nessa mengayunkan gagang sapu ke arah dada pria itu. Namun sebelum sempat mengenai, tangannya terkunci, ditahan oleh cengkeraman kuat yang membuat Nessa sulit menggerakkan pergelangannya.
"Lepasin!" desis Nessa, mencoba menarik tangannya, tapi genggaman itu terlalu kokoh.
Pria itu menunduk sedikit, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Nessa. "Aku Bima,” bisiknya, suaranya rendah dan menggelitik telinga. "Adiknya Reino. Apa kamu masih mau mengusirku?"
Nafas Bima, hangat dan berbau alkohol, menyapu pipi Nessa. Jarak mereka begitu dekat hingga Nessa bisa merasakan detak jantungnya sendiri berdentam di telinga.
Dengan cepat Nessa menepis genggaman itu, meski butuh semua tenaga yang ia miliki. Ia mundur tergesa, meraih gelas di meja dan meneguk air dalam satu tegukan besar, mencoba menenangkan napasnya yang memburu.
"M-maaf…" Nessa akhirnya berkata, suaranya bergetar namun tegas berusaha tetap tenang. "Aku… aku nggak tahu. Reino nggak pernah cerita soal kamu."
Bima tersenyum miring, entah mengejek atau sekadar tidak peduli. Sorot matanya menelusuri ruangan sebelum kembali menatap Nessa. "Tentu saja dia nggak cerita."
Tatapan Bima kini tertuju pada lekuk tubuh Nessa yang tampak terekspos jelas dari lingrie yang dikenakan.
Merasa diperhatikan, Nessa baru menyadari bahwa ia belum sempat mengganti pakaian. Pipinya memerah, tergesa ia meraih kedua telapak tangannya untuk menutupi dada, gerakan kecil yang justru membuat aura gugup dan pesonanya kian terasa kuat.
"Lihat apa? Turunkan pandanganmu," protes Nessa, suaranya tercekat antara malu dan kesal. Ia memeluk dirinya lebih erat, berharap Bima berhenti memperhatikannya.
Bima hanya menahan senyum tipis lalu memalingkan wajah, namun nada suaranya tetap menggoda, "Apa Reino kalah permainan darimu malam ini?"
Nessa terperanjat. "P–permainan apa? Reino nggak ada di rumah. Dia pergi satu jam lalu… ada meeting mendadak." Ia menjawab cepat, jelas ingin percakapan itu segera berakhir. Hatinya berdebar tak karuan menghadapi tatapan Bima yang sulit ditebak.
Bima mengerutkan dahi ringan, tampak benar-benar terkejut. "Pergi? Jadi kalian belum sempat… melakukannya?”
Tatapan Nessa menghindar. Ia tahu maksud Bima, dan justru itulah yang membuat suasana di ruang itu terasa semakin menekan. Ia kembali mengusir Bima namun Bima semakin enggan untuk beranjak pergi.
Bima melangkah lagi mendekat, langkahnya pelan tapi mantap. Refleks, Nessa memundurkan tubuh hingga kursinya bergeser dan hampir membuatnya kehilangan keseimbangan. Kedua tangannya terangkat menutupi bagian depan tubuhnya.
"Aku bisa tunjukin permainan yang jauh lebih… menegangkan," bisik Bima dengan suara rendah, sorot matanya tajam dan sulit dibaca.
Nessa spontan berdiri, mendorong kursinya ke belakang dengan keras. “Jangan macam-macam!” serunya, napasnya memburu. “Aku ini kakak iparmu!"
Namun Bima tidak tersentak oleh makiannya. Ia justru tersenyum miring.
Nessa bangkit dari kursinya, ''Jangan macam-macam! Aku ini kakak iparmu! Dasar pria mesum.''
Nessa bergegas cepat menaiki anak tangga, meninggalkan Bima yang masih berada di dapur. Langkahnya cepat memasuki kamar, ia juga mengunci rapat pintu kamar, takut jika Bima mengikutinya.
Detak jantungnya masih berdegup kencang, mengingat bagaimana tatapan Bima juga deru nafasnya. Tangan Nessa meremas ujung lingrie, ini pertama kalinya ia di tatap secara dekat dan lekat, membuat wajahnya terasa panas terbakar.
''Hampir saja, jantungku mau copot. Lagipula aku bodoh banget lupa ganti baju,'' gumam Nessa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Nessa merebahkan tubuhnya di kasur, menutup seluruh tubuhnya hinga wajah dengan selimut.
''Apa mereka tahu apartemenmu ini?'' tanya Nessa yang tampak panik.Bima menggeleng pelan, buru-buru, ia mengintip dari celah lubang pintu yang dibuat khusus. Nessa yang semakin panik lantas bersembunyi dibelakang Bima dari jarak yang cukup jauh. Ia masih trauma dengan ketiga pria bertubuh kekar itu,Saat pintu mulai terbuka, tampak berdiri seorang pria bersetelan jas hitam berdiri tegak di depan pintu. Bima menghela nafas kasarnya saat tahu pria yang ada dihadapannya ialah pengawal pribadinya.''Kau rupanya? Apa ada kabar penting hari ini?'' tanya Bima.Belum sempat pengawal pribadi bima menjawab, Nessa maju kedepan menggeser pelan tubuh Bima, menatap wajah pengawal serta Bima secara bergantian.''Siapa dia? Akrab sekali rupanya? Jangan-jangan dia bos dari ketiga pria itu,'' ujar Nessa yang langsung menyerang dengan tuduhan.''Dia Thomas, pengawalku, kau tunggu saja didalam,'' titah Bima.Nessa kembali masuk, rasa nyeri di lutut membuatnya tak bisa untuk terlalu lama berdiri. Ia lant
''Bima?''Nessa tercengang saat tahu pria yang sejak tadi menutupi wajahnya dengan masker hitam itu ternyata Bima. Ia tak menyangka akan bertemu Bima, ia juga bingung dengan penampilan Bima yang terkesan sangat misteriusBima terus menatap Nessa tanpa berkedip sedikitpun. Bima merasa ada yang berbeda dari Nessa."Kau sedikit lebih lumayan tanpa kacamata,'' Celetuk Bima.Nessa memundurkan tubuhnya yang dirasa terlalu dekat, ''K...kamu sedang apa di tempat ini? Kenapa juga pakai masker?"Bima menghela nafas kasarnya, lalu tak sengaja manik matanya melihat luka yang cukup parah di salah satu lutut Nessa.''Lututmu berdarah, sebaiknya segera diobati,'' ujar Bima.Nessa menundukan kepalanya melihat kearah lututnya yang memang benar ada luka disana. Karena terlalu panik dan takut hingga ia tak merasakan rasa sakit dari luka itu.Nessa lantas keluar dari gang sempit itu hendak kembali mencari taksi, tapi Bima menarik lengan Nessa, agar berjalan melewati jalan pintas.''Kalau kau kembali ke
Manik mata Nessa melebar. Jantungnya serasa berhenti sesaat ketika pria yang ia yakini sebagai Reino menoleh.“Ma… maaf, Mas. Saya salah orang… permisi,” ucapnya gugup sebelum buru-buru kabur dari toko itu.Langkahnya terburu, tetapi pikirannya tetap tertinggal di sana. Ia yakin betul ia tidak salah lihat. Postur tubuh, potongan rambut, bahkan garis rahang yang sempat terlihat dari samping, sangat jelas baginya kalau itu Reino. Tapi kenapa secepat itu Reino menghilang? Pikirnya.Nessa mengembuskan napas panjang, rasa lelah mendadak menyergap. Keinginannya untuk jalan-jalan di mall lenyap begitu saja. Ia merogoh ponselnya dan mengetikan pesan pada temannya untuk pamit pulang.“Bisa gila aku mikirin Mas Reino. Pesan-pesanku nggak dibalas, padahal baru juga nikah. Kok rasanya mentalku yang goyah duluan,” gumamnya sambil cemberut, berusaha menepis rasa gelisah yang mengganggu sejak tadi.Ia pun merasa lelah bahkan sudah tidak selera lagi untuk berjalan-jalan di mall. Ia lantas merogoh pon
''Nessa? Kamu sendirian, mana suamimu?''Nessa tersenyum tipis, pagi itu ia pulang ke rumah orang tuanya untuk mengambil barang-barang juga pakaian. Sekaligus ingin menghilangkan rasa jenuh karena sampai pagi ini Reino belum juga pulang.''Mas Reino lagi sibuk, Mah. Sejak semalam dia ngurus kerjaan bahkan sampai sepagi ini beum juga pulang,'' ujar Nessa dengan wajah cemberut.''Malam pertama Reino kerja? Keterlaluan, lebih mementingkan pekerjaan daripada istri,'' jawab ibunda Nessa yang ikut kesal.Nessa terduduk di sofa, ia menyandarkan kepalanya di pundak sang ibu, wanita yang sudah melahirkan dan merawatnya ssepenuh hati. Nessa mengadu mengeluarkan semua unek-unek yang sejak semalam mengganjal.''Nessa, Reino itu pekerja keras. Dia pemimpin yang sangat bertanggung jawab, kamu harus memakluminya dan juga sabar, itu resikonya menjadi istri CEO Evoque,'' sahut ayah Nessa.''Pekerja keras sih Pah, tapi nggak malam pertama juga dong Pah, masa nggak ada waktu sedikitpun,'' protes ibunda
Pria itu kini berdiri menghadapnya sepenuhnya, sorot matanya tajam, tapi wajahnya datar tanpa ekspresi.Nafas Nessa tercekat. Matanya membesar, tubuhnya mendadak membeku seperti disiram air es."S-siapa kamu?''Tubuh Nessa bergetar, kedua tangannya mencengkeram gagang sapu yang siap ia ayunkan lagi. Rasa takut menghimpit dadanya ketika melihat tatapan dingin pria asing yang menerobos masuk tanpa permisi."Jadi… kau istri Reino?" pria itu bertanya tanpa sekedip pun.Ia menatap Nessa dari ujung kepala sampai kaki, lalu mengeluarkan cibiran kecil. "Selera Reino benar-benar aneh. Dari semua wanita di dunia, dia memilih wanita… jelek? Berkacamata tebal dan sama sekali tidak menarik."Nessa melemparkan tatapan sinis ke arah pria misterius itu. Kata-katanya memang bukan hal baru baginya, tapi tetap saja ada sembilu halus yang menancap di dadanya.Tanpa ragu, Nessa mengeratkan genggaman pada gagang sapu yang sejak tadi ia pegang. Ia mengangkatnya sedikit, cukup untuk menunjukkan bahwa ia tida
"Mas, mau kemana? Kenapa pakai setelan kantor?"Nessa menatap suaminya dengan begitu heran, padahal ia sudah melepas gaun pengantinnya dan menggantinya dengan lingerie putih berbahan satin yang menonjolkan lekuk tubuhnya."Ah… iya, malam ini Mas ada meeting penting,” jawab Reino, nadanya tergesa, kemejanya belum sempat ia rapikan sambil melirik jam di pergelangan tangan.“Tapi… ini kan malam pertama kita.”Suara Nessa merendah, matanya bergetar menahan kecewa. “Apa Mas nggak bisa minta izin, walau sebentar?”Reino terhenti sejenak. Helaan napasnya terdengar pelan, tapi langkahnya tetap seakan ingin pergi. Sementara Nessa berdiri mematung, merasakan dada yang perlahan menghangat oleh rasa tidak diprioritaskan.Reino menatap wajah Nessa, lalu mengusap pucuk rambut Nessa dengan lembut. Nessa menyandarkan kepalanya pada lengan Reino, sesekali mengusap dada bidang milik Reino berharap bisa sedikit membangkitkan gairah Reino, namun Reino malah menyingkirkan tangan Nessa.''Maaf sayang, tapi







