Masuk
"Hei, bangun!"
Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan mengguncang putrinya yang masih terlelap dengan kasar.
"Engh…" Anak itu melenguh pelan, matanya mengerjap pelan sebelum akhirnya terbuka. "Ada apa, Bu?" tanyanya sambil mengusap kedua matanya.
"Kemasi barang-barangmu, cepat!" suara ibunya meninggi, terdengar seperti perintah.
"Memangnya kita mau ke mana, Bu?" tanyanya bingung.
Kenapa tiba-tiba disuruh mengemas barang? Apa mereka akan pergi liburan?
Mata gadis kecil itu langsung berbinar. "Apa kita mau pergi liburan, Bu?" tanyanya penuh semangat, wajahnya berubah sumringah.
"Hmm…" Ibunya hanya mengangguk singkat.
Dengan hati riang, anak itu segera turun dari ranjang, melangkah ke arah lemari, dan mengeluarkan tas serta baju-baju yang ingin dibawanya.
"Ibu tunggu di bawah," ujar sang ibu, lalu meninggalkan putrinya yang tengah sibuk membereskan barang-barangnya.
Wanita itu berjalan ke ruang tengah, menghampiri seorang pria yang duduk santai sambil memainkan ponselnya.
"Mobil udah kamu siapin, kan?" tanyanya seraya melingkarkan tangan di leher pria itu dari belakang.
"Udah dong, sayang. Tinggal eksekusi aja," jawab pria itu dengan seringai tipis yang muncul di sudut bibirnya.
***
"Ibu, aku sudah siap!" seru gadis kecil itu sambil menenteng tas berukuran sedang, lalu berlari kecil menghampiri ibunya.
Ia berdiri di sisi ibunya, meraih tangan sang ibu, kemudian mengapitnya erat dengan wajah sedikit takut. Pandangannya tertuju pada pria asing di ruang itu. "Om ini siapa, Bu?" tanyanya ragu.
"Dia teman Ibu. Dia akan ikut liburan sama kita," jawab ibunya singkat.
Pria itu tersenyum, lalu berdiri mendekat. "Halo, kenalin, Om Fajar. Kamu bisa panggil Om begitu. Nama kamu siapa?" ujarnya sembari mengulurkan tangan.
Anak itu menunduk, enggan menyambut. Wajah pria itu terlihat menyeramkan di matanya.
"Raisa, Om," jawabnya lirih.
"Nama yang indah, seperti orangnya," pujinya, lalu tangannya terulur mengusap pelan rambut Raisa.
"Terima kasih, Om…" Raisa berusaha memberanikan diri menatapnya sebentar.
Fajar mengangguk, kemudian kembali berdiri tegap. "Kita berangkat sekarang?"
"Iya, ayo!" sahut sang ibu, menggenggam tangan Raisa dan menariknya menuju pintu.
"Sini, tas kamu biar Om bawain," kata pria itu sambil meraih tas dari tangan Raisa.
"Ibu nggak bawa tas?" tanya Raisa pelan, menyadari hanya dirinya yang menenteng barang. "Apa kita nggak akan menginap, Bu?"
Ia sempat kecewa. Mungkin itu alasannya sang ibu tak membawa apa-apa. Raisa awalnya mengira mereka akan pergi ke vila di puncak, tempat yang selalu jadi tujuan setiap liburan panjang.
"Tas Ibu sudah ada di mobil," jawab sang ibu cepat.
"Benarkah? Jadi kita akan menginap di vila?" tanyanya dengan wajah berbinar.
"Iya," balas ibunya singkat.
Raisa tersenyum lega. Syukurlah, ibunya menepati janji. Ia sudah membayangkan kelinci-kelinci liar di halaman vila yang biasa menemaninya bermain.
Dulu, setiap liburan panjang, ayah dan ibunya selalu mengajaknya ke sana. Mereka biasa menghabiskan waktu seminggu penuh bersama. Tapi kali ini berbeda. Ayahnya sudah tiada. Tiga bulan lalu, ia meninggal dalam sebuah kecelakaan.
"Ayo, ngapain bengong? Masuk!" suara ibunya memecah lamunannya.
"I-iya, Bu!" Raisa segera masuk ke mobil. Pintu dibuka ibunya, dan ia duduk manis di kursi belakang.
Namun, hatinya terasa tak enak. Tadi, sekilas ia sempat melihat bagasi mobil terbuka. Kosong. Tidak ada satu pun tas di sana, padahal ibunya bilang barang-barangnya sudah dimasukkan.
Raisa menelan ludah. Perasaannya makin tidak tenang, apalagi saat menyadari pria itu terus mengamatinya dari spion tengah.
***
"Kamu mau minum sayang?" tanya ibunya sambil menyodorkan sebotol air pada anaknya yang duduk di kursi belakang.
Dengan senang hati Raisa menerimanya. Kebetulan ia memang haus dan lupa membawa minum sendiri.
"Terima kasih, Bu," ucapnya ceria sambil membuka botolnya
Namun, alisnya perlahan mengernyit. Ini apa, ya? Kok baunya aneh? batinnya ketika mencium aroma dari dalam botol. Air itu juga tampak keruh, tidak jernih seperti air biasa.
"Ini air apa, Bu? Baunya beda… warnanya juga agak aneh," tanya Raisa ragu.
"Udah, diminum aja! Jangan banyak tanya. Itu air jahe, Ibu sengaja buat biar badan kamu hangat. Di sanakan dingin!" bentak ibunya, membuat Raisa terdiam.
Raisa langsung ciut. Ia tahu betul kalau ibunya sedang marah. Dengan terpaksa, ia meneguk air itu sedikit demi sedikit.
Sejak tegukan pertama, Raisa sadar rasanya tidak seperti air jahe yang biasa diminumnya. Ada pahit samar yang menusuk lidah. Tapi ketika ibunya menoleh, menatapnya dengan tatapan tajam, Raisa tak berani membantah. Ia memaksa dirinya menelan sampai habis.
"Ini, Bu… sudah habis," ujarnya pelan, menyodorkan botol kosong itu pada ibunya.
"Anak pinter," puji ibunya sambil mengambil botol itu.
Tiga puluh menit kemudian.
"Kok kepalaku pusing, ya?" gumam Raisa sambil memegang kepalanya.
"Kamu kenapa?" tanya ibunya, kali ini dengan suara seolah khawatir.
"Kepalaku… pusing banget. Rasanya sakit," jawab Raisa parau.
"Kamu ngantuk kali. Sudah, tidur saja. Nanti kalau sudah sampai, Ibu bangunin," bujuknya.
Raisa hanya mengangguk lemah. Kepalanya semakin berat, matanya mengantuk luar biasa. Tak lama kemudian tubuh mungilnya terkulai, dan ia pun terlelap tak sanggup lagi menahan rasa kantuknya.
"Gimana, sudah tidur dia?" tanya pria itu sambil melirik lewat spion.
Wanita itu mengangguk, menatap anaknya yang terlelap di kursi belakang. "Udah," ucapnya datar sambil menoleh ke belakang. Di mana anaknya sudah tertidur lelap. Efek obat tidur dosis tinggi yang ia berikan mulai bekerja.
"Kita bawa ke mana dia sekarang?"
"Ke vila. Di belakang vila ada hutan belantara. Kita buang dia di sana," jawabnya dengan seringai tipis yang tersungging di bibirnya
***
Beberapa jam kemudian, mobil berhenti di depan sebuah bangunan besar.
"Ini vilanya?" tanya pria itu.
Wanita itu mengangguk, lalu menyuruh kekasihnya menggendong Raisa yang masih terlelap.
Pria itu melirik sekeliling. "Pantas saja kamu berani bawa anakmu ke sini. Nggak ada warga sama sekali… cuma ada hutan di kanan-kiri."
Hanya vila tua itu yang berdiri sendiri, sepi, tanpa pemukiman. Sunyi membuat bulu kuduknya sedikit meremang.
"Ikut aku!" ujar sang wanita, melangkah ke arah hutan.
Dengan tubuh mungil Raisa dalam gendongannya, mereka menembus pepohonan. Suara ranting patah dan angin menderu tidak membangunkan gadis kecil itu. Obat tidur membuatnya benar-benar tak berdaya.
"Kamu yakin mau ninggalin dia di sini?" tanya pria itu ragu setelah menurunkan Raisa dan menyandarkannya pada sebuah pohon besar di tengah hutan.
"Yakinlah. Biar dia dimakan hewan buas di sini."
Pria itu terkekeh gelisah. "Hahaha… gila kamu ini. Dia anakmu sendiri loh. Kamu yakin tega?"
Wanita itu mendengus dingin. "Kalau aku nggak yakin, nggak mungkin aku rencanain ini. Dia memang anakku, tapi buat apa hidup kalau cuma nyusahin? Lebih baik dia mati, dan warisan dari ayahnya bisa jadi milik kita."
Di bibirnya terukir seringai kejam. Baginya, kehadiran Raisa hanyalah beban. Andai dulu tidak ketahuan hamil, ia sudah menyingkirkan anak itu sebelum lahir. Selama ini ia hanya mempertahankannya karena desakan suami. Tapi kini, setelah suaminya tiada, ia merasa bebas melakukan apa pun.
"Kalau begitu ayo pergi, sebelum hewan buas itu datang dan malah melihat kita," desis pria itu.
Tanpa rasa kasihan, keduanya berbalik meninggalkan Raisa yang masih terlelap, sendirian, di hutan gelap itu, tanpa bekal apa pun.
Lima menit kemudian, Ratri masuk ke dalam ruangan itu. Matanya langsung menangkap sosok Raisa yang terkapar di lantai, tak sadarkan diri. Senyum miring muncul di wajah Ratri. Ia berjongkok di hadapan Raisa dan berbisik pelan, “Inilah akibatnya kalau kamu berani berurusan dengan saya.”Ia sudah mengenal Raisa sejak lama, bahkan sebelum gadis itu keluar dari rumahnya dan memilih menjadi sekretaris suaminya. Ratri bukanlah wanita bodoh yang akan diam saja saat seseorang terang-terangan mendekati suaminya.Namun, ia sempat membiarkan hal itu terjadi. Ratri ingin melihat sejauh mana keberanian Raisa untuk menyingkirkannya. Dan ternyata, ia hampir saja kecolongan. Ratri baru mengetahui bahwa gadis itu bekerja sama dengan mantan pengacara keluarganya setelah secara tak sengaja melihat pria itu di café yang sedang menemui Gendis.Kesempatan itu tidak disia-siakan Ratri. Ia memanfaatkan rasa iri Gendis untuk menyingkirkan Raisa, dan ternyata rencananya berjalan mulus. Gendis begitu mudah dipen
Sementara itu, mobil yang membawa Raisa berhenti di depan sebuah gedung tua yang letaknya sangat jauh dari perkotaan. Di sekelilingnya tumbuh pepohonan besar dan rimbun, menyerupai hutan yang sunyi.Bersamaan dengan berhentinya mobil itu, kelopak mata Raisa perlahan terbuka, wanita itu mulai sadar kembali. Hal pertama yang ia lihat ada seorang wanita yang sedang duduk di sampingnya, memakai topi juga sebuah masker. Raisa tak mengenalinya sama sekali dan ia baru sadar kalau tangannya kini terikat ke belakang.“Siapa kau? Kenapa membawaku ke sini?” tanya Raisa memandang tajam wanita dengan tubuh menggeliat berusaha melepas ikatan tangannya.Kekehan pelan terdengar keluar dari mulut wanita itu. ia beberbalik menghadap Raisa dengan senyum miring tersungging di bibirnya. Lebih tepatnya senyum yang terkesan mengejek menurut Raisa.“Percuma kau berusaha melepaskan diri karena kau tetap tak akan bisa kabur dari sini,” suara itu terdengar dalam. Raisa merasa suaranya familiar, tapi ia tak ing
“Mau ke mana lagi, Al?” tanya Haryo saat melihat putranya bergegas turun dari lantai dua. Padahal, setahunya baru lima belas menit lalu Alan meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya setelah berbicara dengannya.Alan menghentikan langkahnya dan berbalik menatap ayahnya. “Saya harus ke apartemen Raisa sekarang, Yah. Saya udah janji sama dia buat beli HP baru.”Kening Haryo berkerut samar. “Bukannya kamu baru-baru ini beliin dia HP? Memangnya HP yang sebelumnya ke mana?”“Dijambret, Yah.”Haryo tampak terkejut. “Tapi dia nggak apa-apa, kan? Ada yang luka nggak?” tanyanya khawatir dengan keadaan Raisa.Bagaimanapun juga, ia sudah menganggap Raisa seperti anaknya sendiri. Jadi apa pun yang terjadi pada gadis itu, ia merasa ikut bertanggung jawab.Alan menggeleng. “Untungnya nggak ada yang luka.”“Syukurlah…” Haryo menghela napas lega. “Ya sudah, kamu ke sana sekarang. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan langsung hubungi Ayah, ya. Raisa itu tanggung jawab Ayah juga, bukan cuma kamu.”Ala
“Kamu tenang dulu,” ucap Alan sambil berdiri dan memegang kedua bahu Raisa, berusaha menenangkannya. Ia kemudian menuntun wanita itu untuk duduk kembali.Raisa memegang kepalanya sambil menunduk. Rasa takut kini benar-benar menguasainya. Bagaimana jika orang itu melihat dan menyebarkan video tersebut? Bukan hanya Fajar yang akan terseret, tetapi juga dirinya. Meskipun wajahnya tidak terlihat di rekaman itu, pihak berwajib pasti akan menyelidikinya, apalagi jika Fajar tertangkap dan membocorkan semuanya.Padahal Raisa tidak pernah berniat menyebarkan video itu. Ia hanya ingin mengancam Fajar. Tapi sekarang, jika video itu benar-benar tersebar, apa yang harus ia lakukan?Alan menatap Raisa dengan wajah cemas. “Kamu yakin nggak ada orang lain yang tahu soal video itu?” tanyanya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski pikirannya kalut.Raisa menggeleng lemah. “Nggak ada, Mas. Cuma aku sama dia yang tahu. Tapi... ponselku hilang. Di situ ada salinannya,” suaranya bergetar,
Setelah mengantar Raisa ke klinik, Alan langsung membawanya pulang ke apartemennya. Wanita itu benar-benar membutuhkan banyak istirahat. Kini Raisa tertidur di sampingnya, dengan dengkuran halus yang terdengar lembut.Alan menoleh dan terkekeh pelan. Wajah Raisa tampak begitu polos saat terlelap. Melihatnya membuat Alan merasa iba, teringat pada penderitaan yang telah wanita itu alami selama lebih dari dua puluh tahun hidupnya.Perlahan, tangan Alan terulur membelai rambut Raisa dengan lembut. “Aku janji akan selalu ada di sisimu. Aku akan memperjuangkan hakmu, meski harus mempertaruhkan nyawaku,” gumamnya lirih sambil terus menatap wajah Raisa.“Engh…” lenguhan kecil keluar dari bibir mungil wanita itu. Raisa berganti posisi menjadi menyamping, membuat Alan segera menarik tangannya dengan cepat.Alan tersenyum samar, lalu menghela napas pelan. Ia memperhatikan wajah Raisa yang kini tertutup sebagian oleh helaian rambutnya. Perlahan, Alan merapikan rambut itu agar tidak menutupi wajah
“Udah mau pulang?” tanya Bima pada Raisa yang tengah sibuk merapikan mejanya yang cukup berantakan.Raisa mengangguk sambil tetap membereskan tumpukan berkas di depannya. “Iya nih, udah jam lima juga, kan,” jawabnya santai. “Kamu kenapa belum pulang? Bukannya teman-teman yang lain udah pulang dari tadi?”Bima tersenyum. “Masih ada kerjaan yang belum selesai tadi.”Raisa mengangguk-angguk, menunjukkan rasa mengerti.Rekan-rekan kerja mereka sebenarnya sudah pulang sejak pukul empat sore. Raisa termasuk yang terbiasa pulang lebih telat dari yang lain bukan karena lembur, tapi karena ia biasanya menunggu Fajar pulang lebih dulu. Namun, hari ini berbeda. Ia justru bisa pulang lebih cepat karena sejak kembali dari makan siang, Fajar tak terlihat lagi di ruangannya.Ia pun tak tahu ke mana pria itu pergi. Setelah pertengkaran mereka siang tadi, Fajar sama sekali belum menghubunginya, dan Raisa juga memilih untuk tidak menghubunginya lebih dulu. Toh, hari ini tidak ada pekerjaan mendesak atau







