Home / Rumah Tangga / Sentuhan Panas Ayah Tiri / Kakek dan Nenek Baik Hati

Share

Kakek dan Nenek Baik Hati

Author: Marssky
last update Last Updated: 2025-09-09 22:21:56

"Engh!" Gadis kecil itu melenguh, terbangun dari tidurnya.

"Aku di mana?" tanya Raisa yang masih setengah sadar, menatap sekelilingnya yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar.

Kedua matanya melotot kaget saat sadar kalau ia sekarang berada di tengah hutan seorang diri. Tidak ada ibunya, juga laki-laki itu.

"Ibu di mana?" ucapnya lirih, mengedarkan pandangannya mencari ibunya.

"Ibu...!" panggilnya sambil menyeret langkah meninggalkan tempat itu. "Ibu di mana? Raisa takut, Bu!"

Gadis itu menangis ketakutan, melangkah tertatih menyusuri hutan mencari jalan keluar, terus memanggil ibunya.

Ia berharap ibunya mendengar suaranya dan datang menolong. Namun hingga sore tiba, sang ibu tak kunjung datang menjemputnya.

Raisa menyerah. Ia terduduk di atas tanah, dengan isak tangis yang tak kunjung reda.

Raisa menekan dadanya kuat. Sesak! Sesak sekali sampai rasanya mau mati.

"Kenapa Ibu tega ninggalin Raisa di sini? Apa salah Raisa, Bu? Apa selama ini memang Ibu nggak pernah sayang sama Raisa, makanya Ibu tega buang Raisa?" racaunya, terus menekan dadanya kuat.

Raisa baru sadar memang ibunya tak pernah menyayanginya selama ini. Ibunya akan berubah manis ketika ada ayahnya, tapi setelah ayahnya berangkat kerja, ibunya berubah jadi ibu yang kejam dan suka memerintahnya.

Dulu Raisa pikir ibunya melakukan itu untuk kebaikannya, agar ia jadi anak yang rajin.

Setelah ayahnya meninggal, ibunya kembali berubah. Bahkan sang ibu sudah tak segan memukulnya jika Raisa melakukan kesalahan kecil.

Lagi-lagi Raisa menganggap itu hanya hukuman untuk dirinya yang nakal. Tapi kejadian hari ini sudah cukup membuktikan kalau ibunya memang tak pernah menyayanginya dan menginginkannya ada di dunia ini.

Ibunya tega membuangnya seorang diri di dalam hutan tanpa rasa kasihan sama sekali. Ibunya tak punya hati nurani.

"Aku benci Ibu…" gumamnya dengan air mata yang terus turun membasahi pipinya.

***

"Ibu istirahat di sini aja ya, biar Bapak yang ke dalam," ucap seorang kakek saat melihat istrinya kelelahan.

Sudah seharian penuh mereka mencari kayu bakar untuk dijual, tapi yang didapat hanya sedikit. Jika dijual pun hasilnya tidak cukup untuk membeli lauk atau beras.

Setelah menempuh perjalanan tiga kilometer dari perkampungan, sampailah mereka di dekat hutan.

Hutan yang katanya berbahaya dan tidak boleh sembarang orang masuk. Tapi kakek dan nenek itu hampir setiap hari ke sana demi mencari sesuap nasi.

"Hati-hati ya, Pak!" peringat sang nenek melihat suaminya memasuki hutan.

Di dalam hutan, sang kakek terus melangkah mencari kayu kering dan ranting patah yang sekiranya bisa dijual dan dijadikan bahan bakar.

"Sepertinya sudah cukup!" pungkasnya setelah menemukan kayu bakar cukup banyak.

Dipanggulnya kayu itu di atas punggung, kemudian ia berjalan pelan hendak meninggalkan area hutan.

Namun sebelum itu, langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar suara seseorang meminta pertolongan.

"Tolong...!"

Suara itu terdengar lirih.

"Ini bukan suara jurik, kan?" gumam kakek, tiba-tiba merinding.

"Tolong saya...!"

Suara itu kembali terdengar. Sang kakek mengedarkan pandangannya sampai menemukan siluet seseorang yang sedang bersandar pada sebuah pohon yang disinari matahari sore.

Kakek perlahan berjalan mendekat. Saat sampai di sana, ia dibuat terkejut melihat Raisa yang sedang merintih kesakitan memegangi perutnya.

"Astaga, Nak! Kenapa kamu bisa ada di sini?!" pekik sang kakek, tanpa sadar membuang kayu bakar yang di panggulnya.

"Kamu kenapa, Nak? Di mana orang tuamu? Kenapa kamu bisa ada di sini sendirian?" tanya sang kakek, mengkhawatirkan keadaan Raisa.

"Perut aku sakit, Kek!" rintih Raisa kesakitan.

Sejak pagi hingga sore, perut Raisa belum terisi apa-apa kecuali air minum yang dikasih ibunya di mobil tadi. Ia bahkan tak sempat sarapan karena sang ibu menyuruhnya buru-buru.

Tubuhnya sudah sangat lemas.

"Ayo ikut Kakek ke rumah! Kamu bisa jalan, kan?"

Raisa mengangguk, berusaha untuk berdiri.

"Mari Kakek bantu berdiri!" ucapnya, menarik tangan Raisa untuk berdiri.

"Yakin kamu bisa jalan sendiri?" tanya kakek, tak yakin karena wajah Raisa kelihatan sangat pucat.

Raisa lagi-lagi hanya mengangguk. Walau tubuhnya lemas, ia masih mampu berjalan sendiri, meski pelan.

"Ya sudah, ayo kita keluar!" ajak sang kakek. Ia memanggul kembali kayu bakarnya dengan satu tangan, sementara tangan satunya menggandeng Raisa karena cukup khawatir dengan keadaan anak itu.

***

"Anak siapa yang Bapak bawa?" tanya nenek, terkejut melihat suaminya membawa seseorang dari dalam hutan.

"Bapak nemuin dia di hutan sendirian, Bu! Perutnya sakit. Ibu masih punya makanan di tas, kan? Sepertinya dia belum makan,” ucap kakek sambil menaruh kayu bakar itu di atas tanah

Nenek mengangguk cepat. "Ayo duduk, Nak!" katanya, menyuruh Raisa duduk di dekatnya.

Sementara itu, ia menggeledah isi tasnya dan menemukan satu kotak bekal berisi ubi manis rebus.

"Makan, ya!" katanya, memberikan kotak bekal itu pada Raisa. "Maaf ya seadanya aja," ucapnya menatap kasihan pada Raisa yang tangannya bergetar saat mengambil kotak itu.

"Terima kasih, Nek! Ini udah cukup kok," ujar Raisa dengan senyum manis yang terpatri di wajahnya.

Raisa malah bersyukur bisa makan sekarang. Walau hanya ubi manis, yang penting perutnya bisa terisi dan tak sakit lagi.

"Kalau gitu, ayo dimakan! Setelah itu kita pulang. Kamu mau ikut dengan kami?" tanya Nenek tersenyum memperhatikan Raisa yang sedang makan

Raisa mengangguk cepat. "Mau, Nek!" serunya cepat, lalu mulai memakan makanannya dengan lahap.

***

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya Raisa sampai di rumah pasangan kakek dan nenek itu.

Raisa langsung dipersilakan masuk.

“Silakan masuk, Nak! Anggap saja rumah sendiri,” ucap sang nenek sambil menuntunnya masuk, sementara sang kakek berpamitan untuk menaruh kayu di belakang rumah.

“Maaf ya, Nak. Rumah nenek nggak punya kursi, kamu nggak apa-apa kan duduk di bawah?”

Rumah kakek dan nenek itu hanyalah gubuk kecil dengan lantai tanah yang dilapisi tikar anyaman daun. Ada dua sekat sederhana yang memisahkan dapur dan ruang tamu. Perabotannya pun sangat minim, hanya sebuah rak berisi pakaian, satu meja makan, dan dua kursi kayu yang sudah lapuk dimakan usia.

Namun Raisa tidak mempermasalahkan itu. Yang penting, ia kini punya tempat untuk berteduh, tidak lagi luntang-lantung di jalanan seperti anak yang dibuang. Meski kenyataannya, memang itulah dirinya, anak yang disia-siakan oleh ibunya sendiri.

“Ada apa, Nak? Kenapa menangis?” tanya sang nenek khawatir, sembari mengusap bahu Raisa yang kini menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergetar menahan tangis yang pecah semakin keras.

“Kalau ada apa-apa, bilang sama nenek, ya? Atau… kalau kamu nggak mau tinggal di sini, nenek bisa antar kamu ke rumah Pak RT. Biar beliau yang bantu antar kamu pulang,” kata Nenek khawatir

Raisa cepat-cepat menggeleng, lalu menghapus air matanya. Ia menatap wajah nenek itu dengan mata sembab, kemudian menggenggam erat kedua tangannya.

“Aku udah nggak punya orang tua, Nek. Ayah sudah meninggal, sedangkan ibu…” Raisa terhenti, menahan deras air mata yang kembali ingin jatuh. “Aku nggak tahu dia ada di mana.”

Raisa menyimpan benci pada ibunya. Dalam hatinya, ia bersumpah suatu hari nanti akan membalas perbuatan wanita itu dengan cara yang lebih kejam meski ia adalah ibu kandungnya sendiri. Luka hari ini begitu dalam, dan Raisa yakin tak akan pernah mampu memaafkannya. Bahkan mungkin sampai mati pun, wajah ibunya akan tetap jadi luka yang membekas di ingatannya.

“Kasihan kamu, Nak…” bisik nenek lirih, lalu memeluk Raisa erat. “Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau. Tapi kamu tahu kan keadaan kakek dan nenek seperti apa?”

“Aku nggak masalah, Nek. Mau rumahnya kecil atau besar, yang penting aku punya tempat untuk berteduh,” jawab Raisa sambil melepas pelukan. Senyum manis tersungging di wajahnya, menatap nenek yang begitu teduh.

Raisa merasa beruntung dipertemukan dengan dua orang baik hati. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya bila saat itu tidak ada yang menolongnya. Mungkin benar, seperti kata ibunya sebelum ia pingsan, ia sudah menjadi santapan binatang buas di hutan.

***

“Kamu yakin anak itu mati dimakan binatang buas?”

Sejak pulang dari hutan, Fajar terus dihantui rasa waswas. Ia takut gadis kecil yang dibuang bersama kekasihnya itu kembali, lalu membongkar semua perbuatan mereka dan melaporkannya pada polisi.

“Kenapa sih dari kemarin kamu kayak gelisah terus? Nanyanya itu-itu melulu!” Ratri mendengus kesal, bosan mendengar kekhawatiran kekasihnya.

“Kalau dia kembali gimana? Kalau dia lapor—”

“Dia nggak akan kembali! Kamu nggak perlu takut,” potong Ratri dengan senyum licik. “Di hutan itu banyak binatang buas. Warga sini saja jarang berani masuk jauh ke dalam. Aku yakin sekarang anak itu sudah mati dimakan binatang buas!”

Sudah tiga hari sejak mereka meninggalkan Raisa di hutan, dan tak ada tanda-tanda anak itu selamat. Bagi Ratri, itu cukup menjadi bukti: entah dimakan hewan buas, atau mati kelaparan, hasilnya tetap sama.

Kini jalannya terbuka lebar. Tak ada lagi penghalang. Harta warisan suaminya, rumah, perusahaan, dan semua yang seharusnya jatuh pada Raisa, sebentar lagi akan beralih ke tangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Pencarian Raisa

    Lima menit kemudian, Ratri masuk ke dalam ruangan itu. Matanya langsung menangkap sosok Raisa yang terkapar di lantai, tak sadarkan diri. Senyum miring muncul di wajah Ratri. Ia berjongkok di hadapan Raisa dan berbisik pelan, “Inilah akibatnya kalau kamu berani berurusan dengan saya.”Ia sudah mengenal Raisa sejak lama, bahkan sebelum gadis itu keluar dari rumahnya dan memilih menjadi sekretaris suaminya. Ratri bukanlah wanita bodoh yang akan diam saja saat seseorang terang-terangan mendekati suaminya.Namun, ia sempat membiarkan hal itu terjadi. Ratri ingin melihat sejauh mana keberanian Raisa untuk menyingkirkannya. Dan ternyata, ia hampir saja kecolongan. Ratri baru mengetahui bahwa gadis itu bekerja sama dengan mantan pengacara keluarganya setelah secara tak sengaja melihat pria itu di café yang sedang menemui Gendis.Kesempatan itu tidak disia-siakan Ratri. Ia memanfaatkan rasa iri Gendis untuk menyingkirkan Raisa, dan ternyata rencananya berjalan mulus. Gendis begitu mudah dipen

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Dikhianati

    Sementara itu, mobil yang membawa Raisa berhenti di depan sebuah gedung tua yang letaknya sangat jauh dari perkotaan. Di sekelilingnya tumbuh pepohonan besar dan rimbun, menyerupai hutan yang sunyi.Bersamaan dengan berhentinya mobil itu, kelopak mata Raisa perlahan terbuka, wanita itu mulai sadar kembali. Hal pertama yang ia lihat ada seorang wanita yang sedang duduk di sampingnya, memakai topi juga sebuah masker. Raisa tak mengenalinya sama sekali dan ia baru sadar kalau tangannya kini terikat ke belakang.“Siapa kau? Kenapa membawaku ke sini?” tanya Raisa memandang tajam wanita dengan tubuh menggeliat berusaha melepas ikatan tangannya.Kekehan pelan terdengar keluar dari mulut wanita itu. ia beberbalik menghadap Raisa dengan senyum miring tersungging di bibirnya. Lebih tepatnya senyum yang terkesan mengejek menurut Raisa.“Percuma kau berusaha melepaskan diri karena kau tetap tak akan bisa kabur dari sini,” suara itu terdengar dalam. Raisa merasa suaranya familiar, tapi ia tak ing

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Pertengkaran Dua Pria

    “Mau ke mana lagi, Al?” tanya Haryo saat melihat putranya bergegas turun dari lantai dua. Padahal, setahunya baru lima belas menit lalu Alan meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya setelah berbicara dengannya.Alan menghentikan langkahnya dan berbalik menatap ayahnya. “Saya harus ke apartemen Raisa sekarang, Yah. Saya udah janji sama dia buat beli HP baru.”Kening Haryo berkerut samar. “Bukannya kamu baru-baru ini beliin dia HP? Memangnya HP yang sebelumnya ke mana?”“Dijambret, Yah.”Haryo tampak terkejut. “Tapi dia nggak apa-apa, kan? Ada yang luka nggak?” tanyanya khawatir dengan keadaan Raisa.Bagaimanapun juga, ia sudah menganggap Raisa seperti anaknya sendiri. Jadi apa pun yang terjadi pada gadis itu, ia merasa ikut bertanggung jawab.Alan menggeleng. “Untungnya nggak ada yang luka.”“Syukurlah…” Haryo menghela napas lega. “Ya sudah, kamu ke sana sekarang. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan langsung hubungi Ayah, ya. Raisa itu tanggung jawab Ayah juga, bukan cuma kamu.”Ala

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Orang Misterius

    “Kamu tenang dulu,” ucap Alan sambil berdiri dan memegang kedua bahu Raisa, berusaha menenangkannya. Ia kemudian menuntun wanita itu untuk duduk kembali.Raisa memegang kepalanya sambil menunduk. Rasa takut kini benar-benar menguasainya. Bagaimana jika orang itu melihat dan menyebarkan video tersebut? Bukan hanya Fajar yang akan terseret, tetapi juga dirinya. Meskipun wajahnya tidak terlihat di rekaman itu, pihak berwajib pasti akan menyelidikinya, apalagi jika Fajar tertangkap dan membocorkan semuanya.Padahal Raisa tidak pernah berniat menyebarkan video itu. Ia hanya ingin mengancam Fajar. Tapi sekarang, jika video itu benar-benar tersebar, apa yang harus ia lakukan?Alan menatap Raisa dengan wajah cemas. “Kamu yakin nggak ada orang lain yang tahu soal video itu?” tanyanya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski pikirannya kalut.Raisa menggeleng lemah. “Nggak ada, Mas. Cuma aku sama dia yang tahu. Tapi... ponselku hilang. Di situ ada salinannya,” suaranya bergetar,

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Bukti yang Hilang

    Setelah mengantar Raisa ke klinik, Alan langsung membawanya pulang ke apartemennya. Wanita itu benar-benar membutuhkan banyak istirahat. Kini Raisa tertidur di sampingnya, dengan dengkuran halus yang terdengar lembut.Alan menoleh dan terkekeh pelan. Wajah Raisa tampak begitu polos saat terlelap. Melihatnya membuat Alan merasa iba, teringat pada penderitaan yang telah wanita itu alami selama lebih dari dua puluh tahun hidupnya.Perlahan, tangan Alan terulur membelai rambut Raisa dengan lembut. “Aku janji akan selalu ada di sisimu. Aku akan memperjuangkan hakmu, meski harus mempertaruhkan nyawaku,” gumamnya lirih sambil terus menatap wajah Raisa.“Engh…” lenguhan kecil keluar dari bibir mungil wanita itu. Raisa berganti posisi menjadi menyamping, membuat Alan segera menarik tangannya dengan cepat.Alan tersenyum samar, lalu menghela napas pelan. Ia memperhatikan wajah Raisa yang kini tertutup sebagian oleh helaian rambutnya. Perlahan, Alan merapikan rambut itu agar tidak menutupi wajah

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Di Jambret

    “Udah mau pulang?” tanya Bima pada Raisa yang tengah sibuk merapikan mejanya yang cukup berantakan.Raisa mengangguk sambil tetap membereskan tumpukan berkas di depannya. “Iya nih, udah jam lima juga, kan,” jawabnya santai. “Kamu kenapa belum pulang? Bukannya teman-teman yang lain udah pulang dari tadi?”Bima tersenyum. “Masih ada kerjaan yang belum selesai tadi.”Raisa mengangguk-angguk, menunjukkan rasa mengerti.Rekan-rekan kerja mereka sebenarnya sudah pulang sejak pukul empat sore. Raisa termasuk yang terbiasa pulang lebih telat dari yang lain bukan karena lembur, tapi karena ia biasanya menunggu Fajar pulang lebih dulu. Namun, hari ini berbeda. Ia justru bisa pulang lebih cepat karena sejak kembali dari makan siang, Fajar tak terlihat lagi di ruangannya.Ia pun tak tahu ke mana pria itu pergi. Setelah pertengkaran mereka siang tadi, Fajar sama sekali belum menghubunginya, dan Raisa juga memilih untuk tidak menghubunginya lebih dulu. Toh, hari ini tidak ada pekerjaan mendesak atau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status