"Engh!" Gadis kecil itu melenguh, terbangun dari tidurnya.
"Aku di mana?" tanya Raisa yang masih setengah sadar, menatap sekelilingnya yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Kedua matanya melotot kaget saat sadar kalau ia sekarang berada di tengah hutan seorang diri. Tidak ada ibunya, juga laki-laki itu. "Ibu di mana?" ucapnya lirih, mengedarkan pandangannya mencari ibunya. "Ibu...!" panggilnya sambil menyeret langkah meninggalkan tempat itu. "Ibu di mana? Raisa takut, Bu!" Gadis itu menangis ketakutan, melangkah tertatih menyusuri hutan mencari jalan keluar, terus memanggil ibunya. Ia berharap ibunya mendengar suaranya dan datang menolong. Namun hingga sore tiba, sang ibu tak kunjung datang menjemputnya. Raisa menyerah. Ia terduduk di atas tanah, dengan isak tangis yang tak kunjung reda. Raisa menekan dadanya kuat. Sesak! Sesak sekali sampai rasanya mau mati. "Kenapa Ibu tega ninggalin Raisa di sini? Apa salah Raisa, Bu? Apa selama ini memang Ibu nggak pernah sayang sama Raisa, makanya Ibu tega buang Raisa?" racaunya, terus menekan dadanya kuat. Raisa baru sadar memang ibunya tak pernah menyayanginya selama ini. Ibunya akan berubah manis ketika ada ayahnya, tapi setelah ayahnya berangkat kerja, ibunya berubah jadi ibu yang kejam dan suka memerintahnya. Dulu Raisa pikir ibunya melakukan itu untuk kebaikannya, agar ia jadi anak yang rajin. Setelah ayahnya meninggal, ibunya kembali berubah. Bahkan sang ibu sudah tak segan memukulnya jika Raisa melakukan kesalahan kecil. Lagi-lagi Raisa menganggap itu hanya hukuman untuk dirinya yang nakal. Tapi kejadian hari ini sudah cukup membuktikan kalau ibunya memang tak pernah menyayanginya dan menginginkannya ada di dunia ini. Ibunya tega membuangnya seorang diri di dalam hutan tanpa rasa kasihan sama sekali. Ibunya tak punya hati nurani. "Aku benci Ibu…" gumamnya dengan air mata yang terus turun membasahi pipinya. *** "Ibu istirahat di sini aja ya, biar Bapak yang ke dalam," ucap seorang kakek saat melihat istrinya kelelahan. Sudah seharian penuh mereka mencari kayu bakar untuk dijual, tapi yang didapat hanya sedikit. Jika dijual pun hasilnya tidak cukup untuk membeli lauk atau beras. Setelah menempuh perjalanan tiga kilometer dari perkampungan, sampailah mereka di dekat hutan. Hutan yang katanya berbahaya dan tidak boleh sembarang orang masuk. Tapi kakek dan nenek itu hampir setiap hari ke sana demi mencari sesuap nasi. "Hati-hati ya, Pak!" peringat sang nenek melihat suaminya memasuki hutan. Di dalam hutan, sang kakek terus melangkah mencari kayu kering dan ranting patah yang sekiranya bisa dijual dan dijadikan bahan bakar. "Sepertinya sudah cukup!" pungkasnya setelah menemukan kayu bakar cukup banyak. Dipanggulnya kayu itu di atas punggung, kemudian ia berjalan pelan hendak meninggalkan area hutan. Namun sebelum itu, langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar suara seseorang meminta pertolongan. "Tolong...!" Suara itu terdengar lirih. "Ini bukan suara jurik, kan?" gumam kakek, tiba-tiba merinding. "Tolong saya...!" Suara itu kembali terdengar. Sang kakek mengedarkan pandangannya sampai menemukan siluet seseorang yang sedang bersandar pada sebuah pohon yang disinari matahari sore. Kakek perlahan berjalan mendekat. Saat sampai di sana, ia dibuat terkejut melihat Raisa yang sedang merintih kesakitan memegangi perutnya. "Astaga, Nak! Kenapa kamu bisa ada di sini?!" pekik sang kakek, tanpa sadar membuang kayu bakar yang di panggulnya. "Kamu kenapa, Nak? Di mana orang tuamu? Kenapa kamu bisa ada di sini sendirian?" tanya sang kakek, mengkhawatirkan keadaan Raisa. "Perut aku sakit, Kek!" rintih Raisa kesakitan. Sejak pagi hingga sore, perut Raisa belum terisi apa-apa kecuali air minum yang dikasih ibunya di mobil tadi. Ia bahkan tak sempat sarapan karena sang ibu menyuruhnya buru-buru. Tubuhnya sudah sangat lemas. "Ayo ikut Kakek ke rumah! Kamu bisa jalan, kan?" Raisa mengangguk, berusaha untuk berdiri. "Mari Kakek bantu berdiri!" ucapnya, menarik tangan Raisa untuk berdiri. "Yakin kamu bisa jalan sendiri?" tanya kakek, tak yakin karena wajah Raisa kelihatan sangat pucat. Raisa lagi-lagi hanya mengangguk. Walau tubuhnya lemas, ia masih mampu berjalan sendiri, meski pelan. "Ya sudah, ayo kita keluar!" ajak sang kakek. Ia memanggul kembali kayu bakarnya dengan satu tangan, sementara tangan satunya menggandeng Raisa karena cukup khawatir dengan keadaan anak itu. *** "Anak siapa yang Bapak bawa?" tanya nenek, terkejut melihat suaminya membawa seseorang dari dalam hutan. "Bapak nemuin dia di hutan sendirian, Bu! Perutnya sakit. Ibu masih punya makanan di tas, kan? Sepertinya dia belum makan,” ucap kakek sambil menaruh kayu bakar itu di atas tanah Nenek mengangguk cepat. "Ayo duduk, Nak!" katanya, menyuruh Raisa duduk di dekatnya. Sementara itu, ia menggeledah isi tasnya dan menemukan satu kotak bekal berisi ubi manis rebus. "Makan, ya!" katanya, memberikan kotak bekal itu pada Raisa. "Maaf ya seadanya aja," ucapnya menatap kasihan pada Raisa yang tangannya bergetar saat mengambil kotak itu. "Terima kasih, Nek! Ini udah cukup kok," ujar Raisa dengan senyum manis yang terpatri di wajahnya. Raisa malah bersyukur bisa makan sekarang. Walau hanya ubi manis, yang penting perutnya bisa terisi dan tak sakit lagi. "Kalau gitu, ayo dimakan! Setelah itu kita pulang. Kamu mau ikut dengan kami?" tanya Nenek tersenyum memperhatikan Raisa yang sedang makan Raisa mengangguk cepat. "Mau, Nek!" serunya cepat, lalu mulai memakan makanannya dengan lahap. *** Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya Raisa sampai di rumah pasangan kakek dan nenek itu. Raisa langsung dipersilakan masuk. “Silakan masuk, Nak! Anggap saja rumah sendiri,” ucap sang nenek sambil menuntunnya masuk, sementara sang kakek berpamitan untuk menaruh kayu di belakang rumah. “Maaf ya, Nak. Rumah nenek nggak punya kursi, kamu nggak apa-apa kan duduk di bawah?” Rumah kakek dan nenek itu hanyalah gubuk kecil dengan lantai tanah yang dilapisi tikar anyaman daun. Ada dua sekat sederhana yang memisahkan dapur dan ruang tamu. Perabotannya pun sangat minim, hanya sebuah rak berisi pakaian, satu meja makan, dan dua kursi kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Namun Raisa tidak mempermasalahkan itu. Yang penting, ia kini punya tempat untuk berteduh, tidak lagi luntang-lantung di jalanan seperti anak yang dibuang. Meski kenyataannya, memang itulah dirinya, anak yang disia-siakan oleh ibunya sendiri. “Ada apa, Nak? Kenapa menangis?” tanya sang nenek khawatir, sembari mengusap bahu Raisa yang kini menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergetar menahan tangis yang pecah semakin keras. “Kalau ada apa-apa, bilang sama nenek, ya? Atau… kalau kamu nggak mau tinggal di sini, nenek bisa antar kamu ke rumah Pak RT. Biar beliau yang bantu antar kamu pulang,” kata Nenek khawatir Raisa cepat-cepat menggeleng, lalu menghapus air matanya. Ia menatap wajah nenek itu dengan mata sembab, kemudian menggenggam erat kedua tangannya. “Aku udah nggak punya orang tua, Nek. Ayah sudah meninggal, sedangkan ibu…” Raisa terhenti, menahan deras air mata yang kembali ingin jatuh. “Aku nggak tahu dia ada di mana.” Raisa menyimpan benci pada ibunya. Dalam hatinya, ia bersumpah suatu hari nanti akan membalas perbuatan wanita itu dengan cara yang lebih kejam meski ia adalah ibu kandungnya sendiri. Luka hari ini begitu dalam, dan Raisa yakin tak akan pernah mampu memaafkannya. Bahkan mungkin sampai mati pun, wajah ibunya akan tetap jadi luka yang membekas di ingatannya. “Kasihan kamu, Nak…” bisik nenek lirih, lalu memeluk Raisa erat. “Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau. Tapi kamu tahu kan keadaan kakek dan nenek seperti apa?” “Aku nggak masalah, Nek. Mau rumahnya kecil atau besar, yang penting aku punya tempat untuk berteduh,” jawab Raisa sambil melepas pelukan. Senyum manis tersungging di wajahnya, menatap nenek yang begitu teduh. Raisa merasa beruntung dipertemukan dengan dua orang baik hati. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya bila saat itu tidak ada yang menolongnya. Mungkin benar, seperti kata ibunya sebelum ia pingsan, ia sudah menjadi santapan binatang buas di hutan. *** “Kamu yakin anak itu mati dimakan binatang buas?” Sejak pulang dari hutan, Fajar terus dihantui rasa waswas. Ia takut gadis kecil yang dibuang bersama kekasihnya itu kembali, lalu membongkar semua perbuatan mereka dan melaporkannya pada polisi. “Kenapa sih dari kemarin kamu kayak gelisah terus? Nanyanya itu-itu melulu!” Ratri mendengus kesal, bosan mendengar kekhawatiran kekasihnya. “Kalau dia kembali gimana? Kalau dia lapor—” “Dia nggak akan kembali! Kamu nggak perlu takut,” potong Ratri dengan senyum licik. “Di hutan itu banyak binatang buas. Warga sini saja jarang berani masuk jauh ke dalam. Aku yakin sekarang anak itu sudah mati dimakan binatang buas!” Sudah tiga hari sejak mereka meninggalkan Raisa di hutan, dan tak ada tanda-tanda anak itu selamat. Bagi Ratri, itu cukup menjadi bukti: entah dimakan hewan buas, atau mati kelaparan, hasilnya tetap sama. Kini jalannya terbuka lebar. Tak ada lagi penghalang. Harta warisan suaminya, rumah, perusahaan, dan semua yang seharusnya jatuh pada Raisa, sebentar lagi akan beralih ke tangannya.Malam itu, setelah neneknya dimakamkan, Raisa duduk di depan rumah kecilnya dengan pipi yang masih basah oleh air mata. Tanpa nenek yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, duka masih mencengkeram hatinya, tetapi ada sesuatu yang lebih besar dari rasa kehilangan.Di sampingnya, Gendis duduk dengan diam, membiarkan Raisa menangis sepuasnya. Mereka sudah berteman sejak kecil, dan Gendis tahu betul luka di hati Raisa tidak bisa sembuh dalam sehari.“Kau masih punya aku, Raisa,” ujar Gendis akhirnya. “Dan kau masih punya tujuan yang belum kau selesaikan.”Raisa menoleh, menatap sahabatnya dengan mata sembab. “Apa maksudmu?”Gendis menarik napas panjang. “Ibumu.”Dada Raisa bergetar mendengar panggilan itu. “Jangan sebut dia ibuku,” katanya dingin. “Dia bukan siapa-siapa bagiku,” ujar Raisa dengan pandangan kosong menatap ke depan.Baginya, ibunya sudah lama mati. Semenjak ayahnya meninggal, Raisa tak pernah lagi merasakan kasih sayang seorang ibu. Orang yang tinggal di rumahnya dan
Dua puluh tahun kemudian.Raisa tumbuh menjadi gadis cantik yang disukai banyak lelaki di kampungnya. Sudah banyak lelaki yang datang melamarnya, tetapi tak ada satu pun yang Raisa terima karena ia belum mau menikah. Padahal jika dilihat dari segi umur, sepantasnya Raisa sudah menikah.Umur Raisa sekarang sudah beranjak dua puluh enam tahun, tetapi ia belum memikirkan tentang pernikahan. Jika Raisa menikah, siapa yang akan merawat neneknya yang kini sedang jatuh sakit, sementara kakeknya sudah meninggal dua tahun yang lalu?Mereka hanya tinggal berdua sekarang. Belum tentu setelah Raisa menikah, suaminya mau ikut merawat neneknya. Jadi lebih baik Raisa menundanya lebih dulu. Fokus Raisa sekarang adalah mencari uang untuk membayar pengobatan neneknya.“Raisa, ayo kita berangkat!” Seorang gadis memanggil Raisa di depan rumahnya. Gadis itu duduk menunggu di atas motor maticnya.“Nek… Raisa berangkat dulu, ya!” pamitnya sambil menepuk pelan pundak neneknya yang tengah memejamkan mata.Nen
"Engh!" Gadis kecil itu melenguh, terbangun dari tidurnya."Aku di mana?" tanya Raisa yang masih setengah sadar, menatap sekelilingnya yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar.Kedua matanya melotot kaget saat sadar kalau ia sekarang berada di tengah hutan seorang diri. Tidak ada ibunya, juga laki-laki itu."Ibu di mana?" ucapnya lirih, mengedarkan pandangannya mencari ibunya."Ibu...!" panggilnya sambil menyeret langkah meninggalkan tempat itu. "Ibu di mana? Raisa takut, Bu!"Gadis itu menangis ketakutan, melangkah tertatih menyusuri hutan mencari jalan keluar, terus memanggil ibunya.Ia berharap ibunya mendengar suaranya dan datang menolong. Namun hingga sore tiba, sang ibu tak kunjung datang menjemputnya.Raisa menyerah. Ia terduduk di atas tanah, dengan isak tangis yang tak kunjung reda.Raisa menekan dadanya kuat. Sesak! Sesak sekali sampai rasanya mau mati."Kenapa Ibu tega ninggalin Raisa di sini? Apa salah Raisa, Bu? Apa selama ini memang Ibu nggak pernah sayang sama Raisa, mak
"Hei, bangun!"Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan mengguncang putrinya yang masih terlelap dengan kasar."Engh…" Anak itu melenguh pelan, matanya mengerjap pelan sebelum akhirnya terbuka. "Ada apa, Bu?" tanyanya sambil mengusap kedua matanya."Kemasi barang-barangmu, cepat!" suara ibunya meninggi, terdengar seperti perintah."Memangnya kita mau ke mana, Bu?" tanyanya bingung.Kenapa tiba-tiba disuruh mengemas barang? Apa mereka akan pergi liburan?Mata gadis kecil itu langsung berbinar. "Apa kita mau pergi liburan, Bu?" tanyanya penuh semangat, wajahnya berubah sumringah."Hmm…" Ibunya hanya mengangguk singkat.Dengan hati riang, anak itu segera turun dari ranjang, melangkah ke arah lemari, dan mengeluarkan tas serta baju-baju yang ingin dibawanya."Ibu tunggu di bawah," ujar sang ibu, lalu meninggalkan putrinya yang tengah sibuk membereskan barang-barangnya.Wanita itu berjalan ke ruang tengah, menghampiri seorang pria yang duduk santai sambil memainkan ponselnya."Mobil uda