Share

Jadi agresif

Penulis: Risya Petrova
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-05 20:25:40
Wildan masih sibuk dengan ponselnya. Ia menggeser-geser layarnya, mencoba menemukan 'seberkas cahaya' berupa sinyal internet.

Tiba-tiba, Wildan berseru pelan, “Dapat! Aku dapat sinyalnya walau cuman satu bar!” Ia buru-buru mendekat ke meja makan, lalu duduk kembali di kursinya, mencoba memanfaatkan sinyal yang baru didapat.

Saat ia kembali ke meja, matanya langsung tertuju pada Meysa.

Meysa sudah bersandar di sandaran kursi, pipinya merona merah, matanya sedikit terpejam. Tangan kirinya masih memegang gelas sirup, sementara tangan kanannya menggenggam kacang sukro yang kini tidak ia makan. Tubuhnya terlihat lemas dan tidak fokus.

“Meys, kamu kenapa?” panggil Wildan, nada suaranya langsung berubah waspada. Ia menyingkirkan ponselnya, memasukannya ke dalam saku celananya. Kini hanya cahaya dari lilin gereja yang menerangi mereka.

Ia menggoyangkan bahu Meysa. “Meys!”

Meysa membuka matanya perlahan. Senyum lebar, yang terlalu lebar dan terkesan nakal, merekah di wajahnya. Matanya yan
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Sentuhan Panas Editorku   Tidur satu ranjang

    Kegelapan di dalam vila terasa jauh lebih pekat malam ini. Listrik yang padam sejak dua jam lalu tampaknya belum akan menyala dalam waktu dekat. Di luar, alam Puncak sedang menunjukkan sisi beringasnya. Hujan yang turun bukan lagi sekadar rintik atau hujan intesitas sedang, melainkan guyuran air yang menghantam atap dengan suara yang memekakkan telinga, diselingi angin badai yang membuat dahan-dahan pohon pinus menjerit saat bergesekan dengan dinding villa.Wildan juga sudah tidur di ranjangnya, cahaya lilin yang tinggal separuh menari-nari di meja sudut. Pikirannya tidak lagi pada draf Bab 10 milik Meysa, melainkan pada pesan singkat dari Lia yang masih menyala di layar ponselnya.Lia. PenaKata. Masa lalu.Tiga kata itu seperti racun yang mengaduk-aduk kembali memori yang sudah susah payah Wildan kubur. Ia melirik ke arah tirai sprei yang membatasi area ranjang Meysa. Di balik sana, tidak ada suara ketikan, tidak ada gerutuan rese. Hanya sunyi yang dibalut deru badai.“Wildan ….”Su

  • Sentuhan Panas Editorku   Mati lampu sesi dua

    Wildan mematung dengan nafas yang mulai memberat. Beban hangat di pangkuannya benar-benar menguji kewarasannya sebagai pria dewasa. Meysa, yang masih ketakutan karena mengira ada hantu, justru semakin bergerak gelisah, mencoba mencari posisi ternyaman untuk bersembunyi di ceruk leher Wildan.Gesekan itu ... benar-benar membuat "aset" Wildan bereaksi di luar kendali.“Meysa, turun!” suara Wildan meninggi, serak oleh gairah yang berusaha ia tekan sekuat tenaga.“Nggak mau! Kamu denger sendiri kan? Ada suara trek-trek itu! Itu si nenek lagi menenun kain kafan buat kita, Wildan!” rengek Meysa, tangannya melingkar semakin erat di leher Wildan, membuat dada mereka berhimpitan tanpa celah.Wildan memejamkan mata, giginya bergeletuk menahan stimulasi fisik yang semakin liar di bawah sana. Ia bisa merasakan lekuk tubuh Meysa yang pas di pangkuannya. Sebagai editor profesional yang terbiasa mengendalikan segalanya, kali ini ia merasa benar-benar kehilangan kendali.“Turun sekarang atau aku lem

  • Sentuhan Panas Editorku   Monas Wildan yang mengeras

    Pukul dua belas tepat, Bi Aam menyelesaikan pekerjaannya. Ia sudah menyiapkan makanan untuk makan siang dan menu makan malam di dalam wadah yang tinggal dihangatkan.“Saya pamit dulu ya, Neng, Aa. Makanan di meja jangan lupa dimakan. Nanti kalau ada apa-apa, Pak Somad dan Pak Asep, juga beberapa temannya yang lain ada di pos depan,” pamit Bi Aam sebelum menghilang di balik pintu.Kini, kesunyian kembali menyelimuti villa. Meysa dan Wildan makan siang dalam diam. Setelah itu, mereka kembali ke rutinitas, bekerja. Meysa melanjutkan Bab 10 yang sempat tertunda, sementara Wildan sibuk mengedit bagian-bagian awal yang dikirim Meysa.Waktu berlalu cepat. Sore berganti malam. Kabut di luar villa mulai menebal, menelan pemandangan pepohonan pinus dan menyisakan kegelapan yang pekat. Suara angin yang bersiul melewati celah-celah lubang angin villa terdengar lebih nyaring malam ini.Meysa duduk di ruang tengah dengan laptop di pangkuannya. Namun, ia tidak bisa fokus. Cerita Bi Aam tadi siang t

  • Sentuhan Panas Editorku   Horor legenda

    Wildan berdiri tegak, tangannya yang tidak terluka mengepal kuat di samping tubuh. Ia memposisikan dirinya tepat di depan pintu, siap menghadapi kemungkinan terburuk jika itu adalah Dimas yang kembali untuk membalas dendam. Meysa mencengkeram ujung kaus Wildan dari belakang, napasnya tertahan.Begitu pintu ditarik terbuka, bukan wajah beringas Dimas yang muncul, melainkan seorang wanita paruh baya berusia sekitar empat puluh lima tahunan. Wanita itu memakai kerudung instan dan membawa tas belanjaan kain yang tampak berat.Wildan mengernyit, otot-otot di wajahnya yang kaku tidak langsung mengendur. Ia tidak mengenali wanita ini.“Ibu siapa ya?” tanya Meysa, yang dengan cepat mengintip dari balik punggung lebar Wildan.Wanita itu tersenyum ramah, matanya yang ramah menyipit membentuk garis-garis halus. “Eh, punten. Nama saya Amiyati, tapi panggil saja Bi Aam. Saya istrinya Pak Somad, petugas keamanan di depan.”Wildan menurunkan tangannya, sedikit rileks namun tetap waspada. “Ada perlu

  • Sentuhan Panas Editorku   Suka tapi gengsi

    Wildan menarik napas panjang, mencoba menstabilkan wajah "kulkas"-nya sebelum menoleh. “Ya? Aku cuma … mengecek jendela. Takut ada serangga masuk, atau mungkin aja Dimas akan balik lagi masuk lewat jendela,” dustanya dengan suara sedingin mungkin, meski tangannya di balik saku celana mengepal gugup.Meysa masih setengah terlelap, tetapi matanya sudah fokus pada Wildan. Ia melihat perban di lengan Wildan dan teringat kejadian semalam. Teringat bagaimana Wildan melindunginya, dan teringat bagaimana Wildan menyebut nama "Fiona" di sela igauannya.“Wildan, tanganmu masih sakit?” tanya Meysa lirih. Ia tidak bangun dari posisi tidurnya, hanya menatap punggung Wildan yang tegap namun tampak lelah.Wildan menoleh sedikit, hanya separuh wajahnya yang terlihat. “Hanya goresan kecil. Kamu pikir aku selemah itu? Tidur lagi sana. Masih pagi. Jangan mulai rese sepagi ini kalau nggak mau drafmu aku coret semua.”Meskipun kata-katanya pedas, Meysa tidak merasa tersinggung. Ia justru merasakan ada ses

  • Sentuhan Panas Editorku   Perhatian

    Suara kicauan burung di balik rimbunnya pohon pinus dan hawa dingin Puncak yang menusuk tulang perlahan menarik Wildan dari alam bawah sadarnya. Ia mengerjapkan mata, menatap langit-langit kamar yang masih remang. Tubuhnya terasa kaku, terutama lengan kirinya yang berdenyut nyeri setiap kali ia bernapas sedikit lebih dalam. Efek jahitan itu benar-benar mengganggu tidurnya. Wildan melirik jam di atas nakas. Baru pukul lima pagi. Karena semalam ia jatuh pingsan karena kelelahan dan juga karena efek obat pereda nyeri. Ia terbangun jauh lebih awal dari biasanya. Namun, hanya butuh satu detik bagi kesadaran Wildan untuk sepenuhnya pulih. Begitu ia teringat kejadian kemarin sore, teror Dimas, pecahnya kaca jendela, dan Meysa yang pingsan, jantungnya mendadak berdegup kencang. Ada perasaan spontan panik yang menyelinap, menggelayuti hatinya seperti kabut tebal di luar villa. Meysa! Wildan beranjak dari ranjang dengan gerakan sedikit ceroboh, membuat lengan kirinya kembali memprotes deng

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status