เข้าสู่ระบบValerie keluar ruangan dengan wajah pucat pasi. Ia masih berusaha mengatur napasnya agar stabil. Lila mendekat dan menarik tangannya.
“Bagaimana? Apa yang terjadi?” tanya Lila berbisik.
Valerie berjalan menuju kabin tempatnya. Ucapan Diego benar-benar membuatnya tidak tenang. Dan panggilannya pada Valerie sangat memalukan.
“Valerie, apa dia memecatmu?” tanya Lila penasaran.
Wanita berambut pendek dengan make up tebal itu sangat penasaran. Mendekati Valerie dan terus memburunya dengan pertanyaan.
“Dia bos yang sangat menakutkan.” Valerie berkata spontan.
Lila membelalakkan kedua bola matanya dengan mulut sedikit terbuka. Di saat lainnya menganggap Diego lelaki tampan dengan sejuta pesona, Valerie malah menganggapnya menakutkan.
“Dia …kenapa harus dia?” kesal Valerie.
“Kenapa? Ada apa dengan Tuan Stanford?” tanya Lila penasaran.
Valerie melirik Lila kesal. Kepala bagian itu terlalu ingin tahu. Valerie memalingkan muka dan kembali mengecek agendanya.
“Valerie, kamu belum menjawab pertanyaanku.”
Pintu ruangan Diego terbuka menimbulkan bunyi keras. Lila berbalik, tersenyum kaku dan pergi saat melihat bosnya mendekati meja Valerie. Sementara Valerie masih menyibukkan diri membolak-balik buku agenda di depannya.
“Apa agenda saya hari ini Nona Horny?” tanya Diego pelan di ujung.
Valerie menarik napas panjang. Sebutan itu membuatnya malu sekaligus kesal.
“Tuan Stanford, anda—” Valerie menekan suaranya.
Menahan kekesalannya dan tetap bersikap baik dengan menjaga jarak.
“Saya ingin mulai sekarang kamu yang menemani dan mengatur agenda saya nantinya,” perintah Diego.
“T–api ini bukan pekerjaan saya.”
“Dan, sekarang itu menjadi pekerjaanmu!”
Valerie seperti tertimpa batu besar. Ke depannya ia harus bersama Diego dan tidak bisa lepas dari pandangan lelaki tersebut.
“Anda tidak bisa melakukannya seperti itu.” Valerie berbisik. Ia protes dan tidak nyaman.
“Kenapa tidak bisa? Saya bosnya dan kamu bisa mengundurkan diri jika tidak mau.”
Valerie menghela napas pelan. Perkataan telak Diego membuat Valerie harus menerimanya. Ia tidak akan bisa menghindari lelaki di depannya. Ia akan dihantui rasa malu setiap hari setiap melihat wajah bosnya itu.
Diego duduk di tepi meja mencondongkan tubuhnya menengok apa yang Valerie kerjakan.
“Tuan Stanford, sebentar lagi anda akan meeting bersama para kepala Divisi, tidak seharusnya anda di sini.” Valerie menengok kanan-kiri.
“Ha-ha-ha Nona Horny, kamu terlihat lucu saat ketakutan.” Diego tertawa lebar.
Pria itu turun dari meja merapikan jasnya. Wajahnya kembali dingin dengan pesona CEO kaya raya yang kental. Berbeda jauh dari beberapa detik sebelumnya.
“Ikut saya sekarang.” Perinta Diego.
“Saya?” Valerie kembali gugup.
“Iya, tidak ada orang lain di sini. Kamu harus menemani saya meeting kali ini. Anda sudah lupa Nona Valerie?”
Valerie langsung mengangguk. Ia beranjak dan membenarkan roknya. Buku catatan tidak lupa di tangan. Diego berjalan tegap sementara Valerie mengikutinya dari belakang.
***
Diego harus memimpin meeting untuk semua divisi di hari pertama bekerja. Ruang meeting lantai dua puluh itu dipenuhi staf dari berbagai divisi.
Suara terdengar riuh membicarakan Bos baru yang tegas, disiplin dan tidak pandang bulu. Sikap dingin dan wajah yang tampan menjadi sorotan. Bahkan gosip beredar jika bos barunya itu sering bersenang-senang di bar bersama wanita.
“Selamat pagi!” Suara berat Diego memecah ruangan.
Saat Valerie masuk bersama Diego, percakapan langsung mereda. Semua berdiri memberi salam. Suasananya terasa hening menegangkan. Tidak ada yang berani membicarakan Diego.
Diego membuka mapnya, namun tidak langsung bicara. Ia memutar pena di jarinya, dan tanpa menoleh, suaranya terdengar rendah tapi jelas.
“Catat semuanya.”
Valerie mengangguk. “B-baik, Tuan Stanford.”
Meeting dimulai, para kepala divisi menyampaikan laporan bergantian. Suara mereka formal, kaku. Tapi Valerie hanya bisa menangkap sepotong-sepotong, karena di sela-sela penyampaian itu, ia merasakan tatapan Diego menghujam sesekali padanya.
Valerie memalingkan muka. Ia tidak berani melihat… sampai akhirnya ia melihat sosok Diego yang mengagumkan. Sosok tampan yang memiliki aura tegas dan memikat. Sayangnya, Diego menangkap saat Valerie mengaguminya.
“Sial, kenapa dia melihatku?” Valerie bergumam pelan.
Valerie langsung menunduk, pura-pura fokus pada buku catatan. Meeting akhirnya berakhir dan semua staf keluar, ruangan lenyap dari suara langkah dan bisikan. Hanya AC yang berdengung, dan keheningan yang mendadak terlalu panas.
Valerie berdiri cepat, berusaha merapikan buku catatannya. “Saya akan segera merangkum hasil meeting hari ini untuk anda, Tuan Stanford.”
Valerie mencoba berlalu, tetapi suara bosnya menghentikannya.
“Nona Horny.”
Diego berjalan perlahan menghampirinya, langkahnya santai tapi setiap langkah mengurangi jarak secara berbahaya. Pria itu berhenti tepat di depan sekretarisnya. Dekat sekali.
“Saya sudah memperingatkanmu sebelumnya bukan?” Diego tersenyum tipis.
“Sa–ya hanya—” Valerie gugup.
Akal pikirannya menghilang seketika saat berhadapan dengan bosnya. Tatapannya membuat tubuh Valerie tak mampu bergerak dan lidahnya terasa kelu hanya untuk berbicara.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu saat rapat?” suaranya rendah.
Valerie menelan ludah. “Saya… tidak menatap anda, Tuan Stanford.”
Diego menahan tawa. “Nona Horny…” bisiknya, lebih lembut dari sebelumnya, tapi lebih menggoda. “Kamu pikir saya tidak tahu?”
Valerie mundur satu langkah, tapi punggungnya membentur meja besar di belakangnya. Diego mengejar langkahnya tanpa menyentuh hingga mendekat sampai napas mereka hampir bertemu.
“Saya duduk di sampingmu,” lanjut Diego, suaranya seperti gelombang panas. “Kamu menggigit bibirmu. Kamu menarik napas cepat. Kamu bahkan mencoba tidak melihatku sampai akhirnya kamu melirik…” Diego memiringkan kepala, matanya turun ke bibir Valerie. “Dan kamu menatapku lebih lama dari yang kamu sadari.”
Pipi Valerie memerah, tak bisa berkata apa-apa. Semua yang dikatakan Diego memang benar.
Diego menaruh satu tangan di meja, memerangkap sisi tubuh Valerie. Tidak menyentuhnya. Hanya mengurung. Memberi tekanan dahsyat pada atmosfer jantung Valerie.
“Kalau kamu terus seperti itu,” katanya pelan, “Saya akan benar-benar mengira kamu ingin melanjutkan malam itu.”
Valerie protes, tetapi suaranya patah. “Tuan Stanford … ini kantor.”
“Saya tahu.” Diego menurunkan suaranya lagi. “Karena itu, saya menahan diri sejak tadi.”
Jarak mereka hanya tinggal sentimeter. Pandangan Diego menghangat, degup jantung Valerie semakin kencang. Getaran napas yang mulai memuncak terasa hangat.
“Untuk sekarang. Jangan terlihat begitu menggodaku.”
Valerie membuang napas, setengah gugup setengah kesal, matanya berkaca-kaca bukan karena ingin menangis, tetapi karena terlalu banyak sensasi yang ia tekan.
Diego berdiri tegak, wajahnya kembali datar dan profesional seperti tidak ada apa-apa yang terjadi dan melanjutkan ucapannya lirih, “kalau tidak, aku bisa menerkammu saat itu juga. Tidak peduli di kantor atau di mana saja.”
Valerie mengangguk, anggukannya patah-patah karena gugup. Tubuhnya berkeringat dingin mendengar kalimat terakhir yang bosnya katakan.
“Kerja bagus untuk hari ini,” bisik Diego.
Ia mengambil map hitam di meja dan melangkah pergi dengan senyum tertinggal di bibir. Sedangkan Valerie masih membeku di tempatnya.
Namun, sebelum pintu terbuka sepenuhnya, ia menoleh. Senyum tipis menggigit itu kembali menyapa sekretarisnya.
“Dan Valerie…”
Tatapannya mengikatnya lagi. “Terima kasih untuk malam liar yang tidak pernah akan kulupakan,”
Ruangan Diego terlihat sepi tanpa aktivitas. Sepanjang pagi ruangan tersebut membuat Valerie kehilangan konsentrasi saat melihatnya. Gosip hangat tentang pernikahan Diego sudah menyebar dan tidak ada satu pun staf yang diundang dalam acara mewah tersebut.“Nona Valerie?” seseorang berdiri di depan meja membawa sebuah bingkisan besar di tangan. “Ya, saya Valerie.”“Bingkisan untuk anda.” Lelaki berjas hitam dengan penampilan necis itu menyodorkan paper bag hitam besar dengan logo salah satu butik termahal di Chicago.Valerie ragu-ragu menerimanya, tetapi lelaki itu langsung meletakkannya di meja dan pergi sebelum mengatakan siapa pengirimnya.“Apa yang harus kulakukan?” Valerie cemas.Ia mengeluarkan Box hitam berlapis gold tersebut dari paper bag. Tidak ada nama pengirim, tapi Valerie cukup tahu siapa pengirimnya. Dengan hati-hati, ia menarik pita besar berwarna keemasan, membuka tutupnya perlahan. Sebuah gaun putih terlipat rapi seperti salju. Halus, jatuh, dan mahal. Sebuah kartu
Pagi menunjukkan kekuasaannya. Pakaian terlihat berserakan di lantai dan aroma bercampur antara cologne Diego dan parfum Valerie masih menggantung di udara.Di atas ranjang besar itu, Valerie terbaring memandang wajah lelaki yang tidur di sampingnya. Diego Stanford, lelaki asing yang ia temui di bar ternyata bos barunya di kantor. Takdir membawa mereka bertemu, meskipun Valerie ingin melupakan malam labilnya bersama Diego saat pertama bertemu. Mereka malah kembali terikat dengan malam penuh gairah. “Anda terlihat lebih tampan saat tertidur. Tenang, hangat dan menarik,” gumam Valerie. Helai rambut Diego jatuh menutupi dahinya. Valerie menyingkirkannya. Cahaya pagi menangkap garis rahangnya, menonjolkan ketampanan yang selalu membuat Valerie tersipu dalam diam. Ia mengangkat sedikit tubuh, berniat bangun. Namun sebuah lengan kuat melingkar dan mengencang di pinggangnya, menahan. Tubuh Valerie terkunci tidak bisa bergerak. “Berani sekali kamu mencoba pergi lagi setelah apa yang terj
Valerie masih merasakan panas di kulitnya ketika pintu ruangan bosnya menutup di belakangnya. Napasnya tersengal, langkahnya linglung.Beberapa menit lalu, Diego Stanford hampir menjeratnya dalam ketegangan. Satu gerakan kecil memutar pegangan pintu akhirnya menyelamatkannya. Aroma cologne Diego yang hangat, maskulin dan mahal masih menempel di kemejanya. Valerie mengusap dadanya, seakan ingin menghapus sensasi yang terlalu nyata. “Gila,” gumamnya pelan. “Kenapa harus Diego Stanford?”Hari berjalan lambat, Diego tidak muncul lagi di depannya; jadwal rapat yang padat membuat sang CEO sibuk dari satu ruangan ke ruangan lain. Ketika jam pulang tiba, Valerie membereskan mejanya dengan kecepatan ingin segera kabur dari medan perang. Ia mengintip ruangan Diego. Gelap, kosong. Tidak ada bayangan lelaki itu di balik kaca.“Syukurlah…” bisiknyaHari itu tidak boleh diakhiri dengan insiden lain. Ia butuh mandi air panas, butuh ranjangnya, butuh melupakan semua ketegangan yang Diego ciptakan.
Ucapan Diego di ruang meeting kemarin terus bergema di kepala seperti rekaman rusak. Nona Horny… kalau kau mau, kita bisa lanjutkan sisa malam itu. Valerie menutup wajah dengan kedua telapak tangan setiap kali mengingatnya. Itu memalukan. Sangat memalukan. Malam liar itu sudah cukup membuatnya ingin menghapus diri dari muka bumi, tapi Diego Stanford, bos barunya, pewaris Stanford Corporation yang dingin dan berwibawa itu, justru menyeret rasa malu Valerie ke level yang lebih brutal.“Apa yang harusnya kulakukan saat bertemu Tuan Stanford?” Valerie menutup wajahnya. Ia kehilangan percaya diri dan keberanian.Seharusnya Valerie menemani Diego meeting di luar kantor hari ini. Namun, karena tidak nyaman dengan yang terjadi kemarin membuat Valerie memilih menghindari bosnya. Akhirnya ia meminta staf lain menggantikan posisinya dengan alasan sakit kepala. Alasan aman dan Valerie bisa menghindari Diego walau sesaat. Setidaknya jadwal bosnya meeting di luar hingga sore nanti. Sayangnya, se
Valerie keluar ruangan dengan wajah pucat pasi. Ia masih berusaha mengatur napasnya agar stabil. Lila mendekat dan menarik tangannya.“Bagaimana? Apa yang terjadi?” tanya Lila berbisik.Valerie berjalan menuju kabin tempatnya. Ucapan Diego benar-benar membuatnya tidak tenang. Dan panggilannya pada Valerie sangat memalukan.“Valerie, apa dia memecatmu?” tanya Lila penasaran.Wanita berambut pendek dengan make up tebal itu sangat penasaran. Mendekati Valerie dan terus memburunya dengan pertanyaan.“Dia bos yang sangat menakutkan.” Valerie berkata spontan.Lila membelalakkan kedua bola matanya dengan mulut sedikit terbuka. Di saat lainnya menganggap Diego lelaki tampan dengan sejuta pesona, Valerie malah menganggapnya menakutkan.“Dia …kenapa harus dia?” kesal Valerie.“Kenapa? Ada apa dengan Tuan Stanford?” tanya Lila penasaran.Valerie melirik Lila kesal. Kepala bagian itu terlalu ingin tahu. Valerie memalingkan muka dan kembali mengecek agendanya.“Valerie, kamu belum menjawab pertany
“Kamu yakin?”Seorang pria asing menarik pinggang Valerie erat. Pria itu melihat tajam penuh perhitungan.Valerie mengangguk, matanya gelap dan basah. “Ya.” Wanita berkacamata itu pasrah dengan apa yang terjadi.Langkah mereka terhuyung kecil menuju kamar hotel, masih dengan bibir yang sesekali bertemu. Pintu menutup dengan bunyi lembut di belakang mereka. Cahaya kamar yang redup membuat semuanya terasa lebih dekat dan intim.“Bertahanlah, ini tidak akan lama,” bisiknya lembut.Lelaki itu membopong Valerie ke tempat tidur. Ujung jarinya mengayun lembut menyisir tubuh Valerie yang memanas. Tatapannya mulai liar tak terkendali, begitu pula dengan desahan napasnya yang membuat Valerie mengerang pelan, menarik leher pria tersebut lebih dekat dan begitu dekat tanpa batas.Malam habis tanpa hitungan waktu. Dua orang asing yang saling menemukan menukar hasrat yang tertahan. Tiap sentuhan pria itu tak terburu-buru, menyisakan Valerie yang tersenggal dalam balutan gairah yang membara.Kepala







