เข้าสู่ระบบ
“Kamu yakin?”
Seorang pria asing menarik pinggang Valerie erat. Pria itu melihat tajam penuh perhitungan.
Valerie mengangguk, matanya gelap dan basah. “Ya.” Wanita berkacamata itu pasrah dengan apa yang terjadi.
Langkah mereka terhuyung kecil menuju kamar hotel, masih dengan bibir yang sesekali bertemu. Pintu menutup dengan bunyi lembut di belakang mereka. Cahaya kamar yang redup membuat semuanya terasa lebih dekat dan intim.
“Bertahanlah, ini tidak akan lama,” bisiknya lembut.
Lelaki itu membopong Valerie ke tempat tidur. Ujung jarinya mengayun lembut menyisir tubuh Valerie yang memanas. Tatapannya mulai liar tak terkendali, begitu pula dengan desahan napasnya yang membuat Valerie mengerang pelan, menarik leher pria tersebut lebih dekat dan begitu dekat tanpa batas.
Malam habis tanpa hitungan waktu. Dua orang asing yang saling menemukan menukar hasrat yang tertahan. Tiap sentuhan pria itu tak terburu-buru, menyisakan Valerie yang tersenggal dalam balutan gairah yang membara.
Kepala Valerie berdenyut kencang saat terbangun. Melihat lantai yang berantakan membuatnya menggigit bibir.
Pria asing tertidur di sisi kirinya—tenang, telanjang dari pinggang ke atas, napasnya stabil. Valerie menatapnya lama, menelan ludah, mencoba mengingat potongan malam.
Valerie mengerjap, menutup wajah dengan telapak tangan. “Astaga…”
Valerie mengenakan blusnya kembali, sebelum membuat pria itu terbangun. Sebelum pergi, Valerie membungkuk, mengecup pipinya lembut.
“Selamat tinggal, Tuan…” bisik Valerie. “Semoga… kita tidak akan bertemu lagi.”
Ia meraih tasnya, membuka pintu kamar dengan hati-hati, dan keluar tanpa menoleh. Dengan perasaan aneh, setengah malu, setengah lega, setengah hancur, Valerie menghilang dari lorong hotel, meninggalkan pria itu dan malam yang seharusnya tidak pernah terjadi.
***
Lalu lintas LaSalle street Chicago di pagi hari begitu padat. Semua kendaraan berjejer rapi tanpa pergerakan. Ponsel Valerie terus bergetar di dalam tas.
Pesan beruntun dari kepala bagian divisi menanyakan keberadaannya. Hari ini CEO barunya pertama masuk kantor dan Lila, sudah memberi peringatan Valerie agar tidak membuat masalah.
“Kalau masih seperti ini, saya bisa terlambat sampai kantor.” Valerie panik.
Valerie terjebak kemacetan dan harus berjalan kaki sepanjang satu kilo meter untuk sampai kantor tepat waktu. Napasnya terengah-engah begitu sampai.
Gedung tinggi yang menjulang di depannya terlihat nyata. Valerie bergegas masuk dan segera naik. Ruang eksekutif terlihat sepi, tidak ada staf yang berjejer rapi.
Lila berdiri sambil melipat tangan. Pandangannya menyipit menangkap Valerie yang baru saja datang.
“Valerie, kamu terlambat!” bisik rekan sekantornya, Lila, dengan wajah pucat.
“Apa terjadi sesuatu?” tanya Valerie aneh.
Suasana kantor memang terasa berbeda. Memasuki ruang lantai eksekutif terasa menyeramkan. Aktivitas staf yang biasa padat tiba-tiba terasa sunyi.
“Pewaris tunggal Stanford Corporation sudah datang sejak tadi.”
Valerie menelan ludah. “Bos baru?”
“Ya! Bos baru, Diego Oliver Stanford dan sekarang kamu harus menemuinya.”
“Sekarang?! Apa harus sekarang?” Napas Valerie masih sangat kacau.
Tubuhnya basah kuyup karena harus berjalan jauh. Tidak mungkin ia menemui bos barunya dalam keadaan seperti itu.
“Dia marah saat melihat meja sekretarisnya kosong, jika kamu masih ingin bekerja di sini, masuklah segera!” Lila menarik tubuh Valerie berbalik mendorongnya segera masuk.
Wanita berkacamata itu menarik napas panjang sambil menyentuh dadanya . “Baiklah, Valerie. Kamu cukup tenang seperti biasa.”
Ketika sampai di depan ruangan besar dengan pintu kaca tebal, ia melihat bayangan seorang pria berdiri membelakanginya—tinggi, tegap, bahu lebar, mengenakan kemeja hitam yang rapi tanpa lipatan. Aura otoritasnya terasa dari balik pintu.
Valerie mengetuk. “Saya sekretaris anda. Apa saya bisa masuk?”
“Masuklah.” Suaranya rendah, dingin.
Valerie membuka pintu. Pria itu tidak menoleh. Kedua tangannya berada di saku celana, tubuhnya menghadap jendela besar yang menampilkan langit kota.
“Maafkan saya, Tuan… saya terlambat.” Suara Valerie nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri.
“Tidak perlu menjelaskan.” Suaranya datar, menusuk. “Sekretaris yang datang sesuka hati tidak akan bertahan lama di perusahaan saya.”
“Maaf, hal ini tidak akan terulang, Tuan Stanford,” jawab Valerie dengan suara pelan.
Pria itu menghela napas tipis, lalu berbalik.
Dan dunia Valerie berhenti.
Pria itu… rahang tegas dengan alis tajam. Sorot mata gelap yang ia lihat dari jarak sangat dekat serta bibir yang tampak familiar itu sempat meninggalkan jejak di bibirnya.
Valerie terdiam keras, napasnya tercekat. Diego menatapnya tanpa kata, mencoba memeriksa wajahnya seperti menghubungkan potongan puzzle.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Diego berpikir.
Valerie langsung menggeleng cepat. Wajahnya gugup, ujung tangannya gemetar melihat bos barunya.
Lelaki itu mendekat, masih dengan tatapan tajam. Melihat wajah Valerie yang gugup.
“Saya harap anda bisa lebih tepat waktu, Nona.”
“Ba–ik, Tuan.”
Diego memberi kode agar Valerie segera pergi. Wanita itu langsung menghela napas lega, tapi—
“Tunggu!” Suara Diego kembali menahannya.
Diego berjalan memutar. Mengelilingi Valerie, melihat penampilan sekretarisnya yang tidak modis dengan blus cream beserta rok pensilnya. Penampilan yang sangat menempel di ingatannya.
Diego mendekat, satu tangan terangkat menyentuh dagu Valerie, “Anda terlihat sangat tidak asing, saya yakin itu.”
Valerie menelan ludah, tatapan Diego membuatnya tidak mampu bergerak.
“Anda salah orang. Kita tidak pernah bertemu.”
Diego mengerutkan dahi. Kembali memindai Valerie dengan cepat. Bibir itu, sorot mata itu, mengingatkannya pada sesuatu.
“Nona Horny. Apakah itu kamu?” Diego langsung menyambung kepingan malam panasnya bersama wanita asing beberapa hari lalu.
“Nona Horny?” Valerie tertegun. “Saya Valerie. Sepertinya anda salah orang.”
“Tidak! Saya tidak salah orang. Itu memang kamu. Saya ingat bagaimana caramu berpakaian dan kaca mata itu…”
Valerie terkejut, ia mundur beberapa langkah. Ia tidak menyangka pria yang bercinta dengannya waktu itu adalah bos barunya.
Diego sudah terlalu dekat. Lelaki itu bahkan tersenyum tipis melihat ketakutan Valerie. Menemukan kebenaran yang baru saja ia temukan.
“Nona Horny, saya mencarimu selama ini dan ternyata kita bertemu di sini.” Diego tersenyum miring.
“Saya Valerie, anda bisa memanggil saya Valerie.”
“Sepertinya saya lebih suka memanggilmu, Nona Horny. Panggilan itu lebih tepat untuk wanita sepertimu yang bergairah besar dan meminta pria asing bercinta karena tidak tahan.” Diego tertawa lebar.
“Saya bukan wanita seperti itu. Malam itu hanya sebuah kesalahan.”
“Mm?” Diego mendekat lagi, kali ini lebih dekat, menundukkan wajah hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. “Malam itu kamu terlihat sangat… bergairah. Apa itu kesalahan?” Kalimatnya tajam, tetapi diucapkan perlahan, membuat tubuh Valerie panas hingga ke telinga.
Valerie terdiam, tidak tahu harus marah atau kabur. Ia terlalu malu mengingat apa yang terjadi malam itu.
Diego kemudian berkata, “Tapi tenang saja.” Ia menegakkan tubuhnya, terlihat formal dan profesional. “Dalam jam kerja, kamu sekretarisku. Dan saya adalah bosmu.”
Valerie hampir lega mendengarnya, tetapi ketika mendadak Diego kembali mendekat, lebih cepat, lebih intens, jantungnya berdebar kencang. Bosnya meraih pinggiran meja di sisi Valerie, memerangkapnya di antara tubuh dan meja.
“Nona Horny…” suaranya kali ini lebih pelan, sensual, “kalau kamu tidak mau saya memanggilmu seperti itu… kamu harus berhenti menatapku seperti tadi.”
Valerie mengerjap. “Seperti apa?”
“Seperti kamu ingin melanjutkan malam itu.”
Ruangan Diego terlihat sepi tanpa aktivitas. Sepanjang pagi ruangan tersebut membuat Valerie kehilangan konsentrasi saat melihatnya. Gosip hangat tentang pernikahan Diego sudah menyebar dan tidak ada satu pun staf yang diundang dalam acara mewah tersebut.“Nona Valerie?” seseorang berdiri di depan meja membawa sebuah bingkisan besar di tangan. “Ya, saya Valerie.”“Bingkisan untuk anda.” Lelaki berjas hitam dengan penampilan necis itu menyodorkan paper bag hitam besar dengan logo salah satu butik termahal di Chicago.Valerie ragu-ragu menerimanya, tetapi lelaki itu langsung meletakkannya di meja dan pergi sebelum mengatakan siapa pengirimnya.“Apa yang harus kulakukan?” Valerie cemas.Ia mengeluarkan Box hitam berlapis gold tersebut dari paper bag. Tidak ada nama pengirim, tapi Valerie cukup tahu siapa pengirimnya. Dengan hati-hati, ia menarik pita besar berwarna keemasan, membuka tutupnya perlahan. Sebuah gaun putih terlipat rapi seperti salju. Halus, jatuh, dan mahal. Sebuah kartu
Pagi menunjukkan kekuasaannya. Pakaian terlihat berserakan di lantai dan aroma bercampur antara cologne Diego dan parfum Valerie masih menggantung di udara.Di atas ranjang besar itu, Valerie terbaring memandang wajah lelaki yang tidur di sampingnya. Diego Stanford, lelaki asing yang ia temui di bar ternyata bos barunya di kantor. Takdir membawa mereka bertemu, meskipun Valerie ingin melupakan malam labilnya bersama Diego saat pertama bertemu. Mereka malah kembali terikat dengan malam penuh gairah. “Anda terlihat lebih tampan saat tertidur. Tenang, hangat dan menarik,” gumam Valerie. Helai rambut Diego jatuh menutupi dahinya. Valerie menyingkirkannya. Cahaya pagi menangkap garis rahangnya, menonjolkan ketampanan yang selalu membuat Valerie tersipu dalam diam. Ia mengangkat sedikit tubuh, berniat bangun. Namun sebuah lengan kuat melingkar dan mengencang di pinggangnya, menahan. Tubuh Valerie terkunci tidak bisa bergerak. “Berani sekali kamu mencoba pergi lagi setelah apa yang terj
Valerie masih merasakan panas di kulitnya ketika pintu ruangan bosnya menutup di belakangnya. Napasnya tersengal, langkahnya linglung.Beberapa menit lalu, Diego Stanford hampir menjeratnya dalam ketegangan. Satu gerakan kecil memutar pegangan pintu akhirnya menyelamatkannya. Aroma cologne Diego yang hangat, maskulin dan mahal masih menempel di kemejanya. Valerie mengusap dadanya, seakan ingin menghapus sensasi yang terlalu nyata. “Gila,” gumamnya pelan. “Kenapa harus Diego Stanford?”Hari berjalan lambat, Diego tidak muncul lagi di depannya; jadwal rapat yang padat membuat sang CEO sibuk dari satu ruangan ke ruangan lain. Ketika jam pulang tiba, Valerie membereskan mejanya dengan kecepatan ingin segera kabur dari medan perang. Ia mengintip ruangan Diego. Gelap, kosong. Tidak ada bayangan lelaki itu di balik kaca.“Syukurlah…” bisiknyaHari itu tidak boleh diakhiri dengan insiden lain. Ia butuh mandi air panas, butuh ranjangnya, butuh melupakan semua ketegangan yang Diego ciptakan.
Ucapan Diego di ruang meeting kemarin terus bergema di kepala seperti rekaman rusak. Nona Horny… kalau kau mau, kita bisa lanjutkan sisa malam itu. Valerie menutup wajah dengan kedua telapak tangan setiap kali mengingatnya. Itu memalukan. Sangat memalukan. Malam liar itu sudah cukup membuatnya ingin menghapus diri dari muka bumi, tapi Diego Stanford, bos barunya, pewaris Stanford Corporation yang dingin dan berwibawa itu, justru menyeret rasa malu Valerie ke level yang lebih brutal.“Apa yang harusnya kulakukan saat bertemu Tuan Stanford?” Valerie menutup wajahnya. Ia kehilangan percaya diri dan keberanian.Seharusnya Valerie menemani Diego meeting di luar kantor hari ini. Namun, karena tidak nyaman dengan yang terjadi kemarin membuat Valerie memilih menghindari bosnya. Akhirnya ia meminta staf lain menggantikan posisinya dengan alasan sakit kepala. Alasan aman dan Valerie bisa menghindari Diego walau sesaat. Setidaknya jadwal bosnya meeting di luar hingga sore nanti. Sayangnya, se
Valerie keluar ruangan dengan wajah pucat pasi. Ia masih berusaha mengatur napasnya agar stabil. Lila mendekat dan menarik tangannya.“Bagaimana? Apa yang terjadi?” tanya Lila berbisik.Valerie berjalan menuju kabin tempatnya. Ucapan Diego benar-benar membuatnya tidak tenang. Dan panggilannya pada Valerie sangat memalukan.“Valerie, apa dia memecatmu?” tanya Lila penasaran.Wanita berambut pendek dengan make up tebal itu sangat penasaran. Mendekati Valerie dan terus memburunya dengan pertanyaan.“Dia bos yang sangat menakutkan.” Valerie berkata spontan.Lila membelalakkan kedua bola matanya dengan mulut sedikit terbuka. Di saat lainnya menganggap Diego lelaki tampan dengan sejuta pesona, Valerie malah menganggapnya menakutkan.“Dia …kenapa harus dia?” kesal Valerie.“Kenapa? Ada apa dengan Tuan Stanford?” tanya Lila penasaran.Valerie melirik Lila kesal. Kepala bagian itu terlalu ingin tahu. Valerie memalingkan muka dan kembali mengecek agendanya.“Valerie, kamu belum menjawab pertany
“Kamu yakin?”Seorang pria asing menarik pinggang Valerie erat. Pria itu melihat tajam penuh perhitungan.Valerie mengangguk, matanya gelap dan basah. “Ya.” Wanita berkacamata itu pasrah dengan apa yang terjadi.Langkah mereka terhuyung kecil menuju kamar hotel, masih dengan bibir yang sesekali bertemu. Pintu menutup dengan bunyi lembut di belakang mereka. Cahaya kamar yang redup membuat semuanya terasa lebih dekat dan intim.“Bertahanlah, ini tidak akan lama,” bisiknya lembut.Lelaki itu membopong Valerie ke tempat tidur. Ujung jarinya mengayun lembut menyisir tubuh Valerie yang memanas. Tatapannya mulai liar tak terkendali, begitu pula dengan desahan napasnya yang membuat Valerie mengerang pelan, menarik leher pria tersebut lebih dekat dan begitu dekat tanpa batas.Malam habis tanpa hitungan waktu. Dua orang asing yang saling menemukan menukar hasrat yang tertahan. Tiap sentuhan pria itu tak terburu-buru, menyisakan Valerie yang tersenggal dalam balutan gairah yang membara.Kepala







