เข้าสู่ระบบUcapan Diego di ruang meeting kemarin terus bergema di kepala seperti rekaman rusak. Nona Horny… kalau kau mau, kita bisa lanjutkan sisa malam itu. Valerie menutup wajah dengan kedua telapak tangan setiap kali mengingatnya. Itu memalukan. Sangat memalukan.
Malam liar itu sudah cukup membuatnya ingin menghapus diri dari muka bumi, tapi Diego Stanford, bos barunya, pewaris Stanford Corporation yang dingin dan berwibawa itu, justru menyeret rasa malu Valerie ke level yang lebih brutal.
“Apa yang harusnya kulakukan saat bertemu Tuan Stanford?” Valerie menutup wajahnya. Ia kehilangan percaya diri dan keberanian.
Seharusnya Valerie menemani Diego meeting di luar kantor hari ini. Namun, karena tidak nyaman dengan yang terjadi kemarin membuat Valerie memilih menghindari bosnya.
Akhirnya ia meminta staf lain menggantikan posisinya dengan alasan sakit kepala. Alasan aman dan Valerie bisa menghindari Diego walau sesaat. Setidaknya jadwal bosnya meeting di luar hingga sore nanti.
Sayangnya, setelah jam makan siang, ketukan sepatu hitam mengarah ke mejanya. Valerie tidak terlalu memperhatikan awalnya—sampai bayangan tinggi itu berhenti tepat di depan monitor. Ia mengangkat kepala perlahan. Matanya terbelalak seperti melihat hantu di siang hari.
“Tuan Stanford.”
Diego berdiri di sana. Pulang lebih cepat dari jadwal. Tanpa ekspresi. Tanpa senyuman. Tapi tatapan itu… begitu tajam sampai Valerie merasa napasnya menguap begitu saja.
“Kenapa kamu tidak menemaniku meeting hari ini,” katanya datar.
Belum sempat menjawab. Diego menurunkan tubuhnya dan berjongkok tepat di depan kursi Valerie. Jarak yang seharusnya tidak pantas untuk atasan dan sekretaris. Jarak yang membuat Valerie bisa mencium wangi parfum maskulin yang sama seperti malam itu, hangat, segar, dan memabukkan.
Lelaki itu menyentuh dahinya. Terlihat jelas jika wajahnya panik. Diego bahkan tidak ragu melakukannya di ruang terbuka, di mana semua staf bisa memperhatikan yang mereka lakukan.
Valerie langsung menepisnya. “S-saya baik-baik saja, Tuan Stanford. Saya Hanya—”
Diego tidak mengizinkan penolakan. Tangannya kembali menempel, lebih kuat, memastikan wanita di depannya dalam kondisi baik-baik saja.
Beberapa detik kemudian, ekspresi Diego berubah. Tatapannya turun ke mata Valerie yang menghindar. “Kamu berbohong?” Ujung matanya mengerucut mengunci Valerie.
Nada bicara Diego rendah, tidak keras, tapi cukup membuat bulu kuduk Valerie meremang dalam sekejap.
“Saya tidak berbohong, kepalaku—”
“Valerie.” Suara Diego lebih dalam. Nyaris seperti geraman halus.
Valerie menggeleng cepat. Diego berdiri, tubuhnya menjulang. “Masuk ke ruangan saya. Sekarang.”
Lelaki itu langsung pergi meninggalkan Valerie tanpa ekspresi khawatirnya. Ia masuk ke dalam ruangan menunggu sekretarisnya datang.
Valerie menelan ludah saat melihat pintu ruangan Diego. Pintu lapis kaca berukuran besar itu berubah menyeramkan saat melewatinya. Bahkan hingga detik terakhir ia masih ingin kabur. Seringai Diego di ruang meeting kemarin membuat lambung Valerie seperti digulung dengan tangan ganas.
Valerie akhirnya membuka pintu dan masuk. Diego sudah duduk bersandar di sofa, kaki disilangkan, satu tangan menumpu dagunya, seperti raja menunggu bawahan yang akan diadili. Tatapannya mengikuti setiap langkah Valerie.
“Duduk,” katanya sambil menunjuk tempat di sebelahnya.
Valerie menutup pintu dan berdiri canggung. Ia belum sempat mencari posisi duduk ketika Diego meraih remote. Dengan satu klik, kaca ruangan berubah gelap total, menutup pandangan dari luar.
“Sekarang kita bisa bicara tanpa gangguan. Setidaknya itu lebih membuatmu nyaman.”
Valerie tetap berdiri. “Saya… mungkin lebih baik duduk di kursi—”
Tangan besar itu bergerak cepat. Dalam sekejap, pinggang Valerie ditarik kuat hingga tubuhnya jatuh ke pangkuan Diego. Ia tidak membiarkan sekretarisnya duduk berjauhan.
“Tuan Stanford!” Valerie panik, tangan menumpu ke bahunya. Tubuh mereka terlalu dekat. Terlalu intim. “Ini kantor.”
“Ini ruanganku, saya bebas melakukan apa pun di sini. Termasuk menahanmu di sini,” bisik Diego.
Lelaki itu tersenyum, senyum yang sama seperti malam itu—tidak manis, tidak ramah, tapi mematikan.
“Kamu tegang sekali. Padahal…” jemarinya menyentuh pinggang Valerie, “…kamu tidak setegang seperti sekarangi saat malam itu.”
Wajah Valerie panas seketika. Diego kembali mengingatkan malam panas itu. Ia berusaha bangkit, tapi Diego menahannya dengan mudah.
“Kenapa berbohong?” tanyanya pelan, tapi nadanya tajam. “Kamu menghindariku?”
“Saya tidak menghindar. Saya hanya… banyak pekerjaan.”
Diego mengangkat alis, tidak percaya. Ujung jarinya naik ke rambut cokelat Valerie, memainkannya perlahan, seolah rambut itu miliknya. “Aneh. Kamu terlihat sangat bersemangat malam itu, tidak berhenti menggodaku, tapi hari ini… kamu lari.”
“Tidak, saya tidak meng—”
“Kamu menghindari saya,” potong Diego. “Dan saya tidak menyukainya.”
Diego mengambil kacamata yang bertengger di hidung Valerie dengan satu tangan. Valerie tertegun. Ia merasa telanjang tanpa benda itu meskipun ia masih bisa melihat wajah Diego jelas.
“Mungkin ini alasan kamu terlihat terlalu polos,” kata Diego, bola matanya menelusuri wajah Valerie tanpa berkedip. “Cukup Cantik, kamu hanya perlu modis untuk terlihat lebih cantik.”
Valerie menelan ludah keras-keras. Diego semakin mendekat. Nafas hangatnya menyapu bibir Valerie. Dan saat Diego menarik pita blus Valerie, ia langsung membeku.
“Tuan Stanford—jangan—”
Satu tangan Diego menahan pinggang Valerie lebih erat, membuat tubuh mereka lebih rapat. “Kau tahu… sejak pagi kamu sudah menggodaku.”
“Apa?!” Valerie membelalak. “Saya tidak melakukan apa pun!”
Diego mendekatkan wajahnya sampai ujung hidung mereka hampir bersentuhan. “Justru itu. Kau tidak melakukan apa-apa, tapi kamu memprovokasi saya lebih dari semua wanita yang pernah mencoba menggodaku.”
Valerie berpikir harus menjauh. Posisinya sedang dalam tanda kutip dan berbahaya. Ia Harus bangkit. Harus—
Tapi, Diego lebih cepat menahannya untuk tidak lepas. Bibirnya menyentuh pipi Valerie, turun perlahan ke rahangnya. Valerie gemetar, tangannya menahan dada Diego, namun daya tariknya terlalu besar. Lelaki ini… berbahaya, sangat berbahaya.
“Malam itu kamu memanggilku, menggodaku dengan berani,” bisiknya. Suaranya terlalu dalam, terlalu dekat. “Jadi, kenapa sekarang kamu menolak dan takut?”
“Karena… karena itu… salah…” Valerie berbisik gugup.
Diego tersenyum tipis. “Yang salah hanya satu hal.” Ia menempelkan dahinya ke dahi Valerie. “Salah, jika kamu berpikir saya akan melupakan malam itu.”
Bibir Diego sudah hampir menyentuh bibir Valerie ketika—
KNOCK. KNOCK.
Ketukan pintu menggema, merobek atmosfer intens yang menggantung di antara mereka. napas Diego tercekik saat keadaan mulai mengacau. Valerie memejamkan mata keras-keras—setengah lega, setengah lemas—sementara Diego mendesah, pelan, frustrasi. Ia menatap Valerie seolah ingin menggigitnya hidup-hidup.
“Kamu selamat… untuk sementara waktu.” Suaranya nyaris gelap.
Valerie segera turun dari pangkuannya, lututnya hampir goyah. Ia menarik napas berulang kali seperti selamat dari bahaya mengancam. Diego menatapnya dari sofa, pandangan itu seperti janji bahaya yang belum lunas.
“Tetap di sini, Valerie,” katanya lirih, sebelum memanggil orang yang mengetuk masuk.
Dan Valerie tahu, hari-harinya ke depan tidak akan tenang lagi dan damai seperti sebelum Diego datang memasuki hidupnya.
Ruangan Diego terlihat sepi tanpa aktivitas. Sepanjang pagi ruangan tersebut membuat Valerie kehilangan konsentrasi saat melihatnya. Gosip hangat tentang pernikahan Diego sudah menyebar dan tidak ada satu pun staf yang diundang dalam acara mewah tersebut.“Nona Valerie?” seseorang berdiri di depan meja membawa sebuah bingkisan besar di tangan. “Ya, saya Valerie.”“Bingkisan untuk anda.” Lelaki berjas hitam dengan penampilan necis itu menyodorkan paper bag hitam besar dengan logo salah satu butik termahal di Chicago.Valerie ragu-ragu menerimanya, tetapi lelaki itu langsung meletakkannya di meja dan pergi sebelum mengatakan siapa pengirimnya.“Apa yang harus kulakukan?” Valerie cemas.Ia mengeluarkan Box hitam berlapis gold tersebut dari paper bag. Tidak ada nama pengirim, tapi Valerie cukup tahu siapa pengirimnya. Dengan hati-hati, ia menarik pita besar berwarna keemasan, membuka tutupnya perlahan. Sebuah gaun putih terlipat rapi seperti salju. Halus, jatuh, dan mahal. Sebuah kartu
Pagi menunjukkan kekuasaannya. Pakaian terlihat berserakan di lantai dan aroma bercampur antara cologne Diego dan parfum Valerie masih menggantung di udara.Di atas ranjang besar itu, Valerie terbaring memandang wajah lelaki yang tidur di sampingnya. Diego Stanford, lelaki asing yang ia temui di bar ternyata bos barunya di kantor. Takdir membawa mereka bertemu, meskipun Valerie ingin melupakan malam labilnya bersama Diego saat pertama bertemu. Mereka malah kembali terikat dengan malam penuh gairah. “Anda terlihat lebih tampan saat tertidur. Tenang, hangat dan menarik,” gumam Valerie. Helai rambut Diego jatuh menutupi dahinya. Valerie menyingkirkannya. Cahaya pagi menangkap garis rahangnya, menonjolkan ketampanan yang selalu membuat Valerie tersipu dalam diam. Ia mengangkat sedikit tubuh, berniat bangun. Namun sebuah lengan kuat melingkar dan mengencang di pinggangnya, menahan. Tubuh Valerie terkunci tidak bisa bergerak. “Berani sekali kamu mencoba pergi lagi setelah apa yang terj
Valerie masih merasakan panas di kulitnya ketika pintu ruangan bosnya menutup di belakangnya. Napasnya tersengal, langkahnya linglung.Beberapa menit lalu, Diego Stanford hampir menjeratnya dalam ketegangan. Satu gerakan kecil memutar pegangan pintu akhirnya menyelamatkannya. Aroma cologne Diego yang hangat, maskulin dan mahal masih menempel di kemejanya. Valerie mengusap dadanya, seakan ingin menghapus sensasi yang terlalu nyata. “Gila,” gumamnya pelan. “Kenapa harus Diego Stanford?”Hari berjalan lambat, Diego tidak muncul lagi di depannya; jadwal rapat yang padat membuat sang CEO sibuk dari satu ruangan ke ruangan lain. Ketika jam pulang tiba, Valerie membereskan mejanya dengan kecepatan ingin segera kabur dari medan perang. Ia mengintip ruangan Diego. Gelap, kosong. Tidak ada bayangan lelaki itu di balik kaca.“Syukurlah…” bisiknyaHari itu tidak boleh diakhiri dengan insiden lain. Ia butuh mandi air panas, butuh ranjangnya, butuh melupakan semua ketegangan yang Diego ciptakan.
Ucapan Diego di ruang meeting kemarin terus bergema di kepala seperti rekaman rusak. Nona Horny… kalau kau mau, kita bisa lanjutkan sisa malam itu. Valerie menutup wajah dengan kedua telapak tangan setiap kali mengingatnya. Itu memalukan. Sangat memalukan. Malam liar itu sudah cukup membuatnya ingin menghapus diri dari muka bumi, tapi Diego Stanford, bos barunya, pewaris Stanford Corporation yang dingin dan berwibawa itu, justru menyeret rasa malu Valerie ke level yang lebih brutal.“Apa yang harusnya kulakukan saat bertemu Tuan Stanford?” Valerie menutup wajahnya. Ia kehilangan percaya diri dan keberanian.Seharusnya Valerie menemani Diego meeting di luar kantor hari ini. Namun, karena tidak nyaman dengan yang terjadi kemarin membuat Valerie memilih menghindari bosnya. Akhirnya ia meminta staf lain menggantikan posisinya dengan alasan sakit kepala. Alasan aman dan Valerie bisa menghindari Diego walau sesaat. Setidaknya jadwal bosnya meeting di luar hingga sore nanti. Sayangnya, se
Valerie keluar ruangan dengan wajah pucat pasi. Ia masih berusaha mengatur napasnya agar stabil. Lila mendekat dan menarik tangannya.“Bagaimana? Apa yang terjadi?” tanya Lila berbisik.Valerie berjalan menuju kabin tempatnya. Ucapan Diego benar-benar membuatnya tidak tenang. Dan panggilannya pada Valerie sangat memalukan.“Valerie, apa dia memecatmu?” tanya Lila penasaran.Wanita berambut pendek dengan make up tebal itu sangat penasaran. Mendekati Valerie dan terus memburunya dengan pertanyaan.“Dia bos yang sangat menakutkan.” Valerie berkata spontan.Lila membelalakkan kedua bola matanya dengan mulut sedikit terbuka. Di saat lainnya menganggap Diego lelaki tampan dengan sejuta pesona, Valerie malah menganggapnya menakutkan.“Dia …kenapa harus dia?” kesal Valerie.“Kenapa? Ada apa dengan Tuan Stanford?” tanya Lila penasaran.Valerie melirik Lila kesal. Kepala bagian itu terlalu ingin tahu. Valerie memalingkan muka dan kembali mengecek agendanya.“Valerie, kamu belum menjawab pertany
“Kamu yakin?”Seorang pria asing menarik pinggang Valerie erat. Pria itu melihat tajam penuh perhitungan.Valerie mengangguk, matanya gelap dan basah. “Ya.” Wanita berkacamata itu pasrah dengan apa yang terjadi.Langkah mereka terhuyung kecil menuju kamar hotel, masih dengan bibir yang sesekali bertemu. Pintu menutup dengan bunyi lembut di belakang mereka. Cahaya kamar yang redup membuat semuanya terasa lebih dekat dan intim.“Bertahanlah, ini tidak akan lama,” bisiknya lembut.Lelaki itu membopong Valerie ke tempat tidur. Ujung jarinya mengayun lembut menyisir tubuh Valerie yang memanas. Tatapannya mulai liar tak terkendali, begitu pula dengan desahan napasnya yang membuat Valerie mengerang pelan, menarik leher pria tersebut lebih dekat dan begitu dekat tanpa batas.Malam habis tanpa hitungan waktu. Dua orang asing yang saling menemukan menukar hasrat yang tertahan. Tiap sentuhan pria itu tak terburu-buru, menyisakan Valerie yang tersenggal dalam balutan gairah yang membara.Kepala





![Penyesalan Tuan CEO [Mantan Kekasihku]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)

