LOGINWajah Robert Stanford terlihat tenang, tetapi sekaligus mematikan.Begitu pintu apartemen terbuka, lelaki itu melangkah masuk. Langkahnya mantap, sepatu kulitnya berbunyi pelan di lantai marmer.Valerie berdiri kaku beberapa langkah dari pintu, merasakan udara yang berubah dingin.“Kita bertemu lagi, Nona Valerie.”Pandangan Robert menyapu ruangan luas itu tanpa rasa sungkan. Sofa yang sedikit bergeser. Meja kecil yang belum sepenuhnya rapi. Aroma kopi dan sesuatu yang masih tertinggal dari pagi tadi.Melihat penampilan Valerie membuat Robert Stanford menatapnya tajam tanpa perlu senyum atau kerutan dahi.“Apa ini yang dinamakan urusan pekerjaan?”Valerie menunduk, berusaha menutupi apa yang bisa ia tutupi.Diego melangkah maju. Tubuhnya secara refleks menghalangi garis pandang ayahnya. Robert mengangkat alis sedikit, memperhatikan gerakan itu, lalu menatap putranya dengan sorot m
Valerie membuka matanya lebar-lebar setelah tidur nyenyak semalam. Akhir pekan kali ini begitu hangat baginya. Semalam ia tidak bisa melupakan sedikit pun dengan tersenyum. Bibirnya tersenyum jelas memandangi ruang kosong di sampingnya.“Kali ini saya yang gila atau memang kamu yang menggila?” gumam Valerie mengusap tempat Diego tidur di sampingnya.Seyumnya terlihat jelas merasakan kebahagiaan saat bersama Diego. Setelah beberapa hari mereka memasang tembok tinggi, sekarang mereka bisa meruntuhkannya sesaat.Aroma harum cokelat dan mentega menyusup hingga membuat perut Valerie bereaksi. Ia beranjak turun mengenakan kaos Diego yang terasa longgar di tubuhnya. panjangnya hingga menutup paha dan lebarnya cukup menutup lengannya.Valerie berjalan ke arah dapur dan Diego tengah berdiri di depan kompor.Valerie berhenti sejenak di ambang dapur, membiarkan dirinya menikmati pemandangan itu. Pagi ini, rambut Diego sedikit berantakan, memakai kaus ketat le
Valerie tiba di kantor lebih awal. Beberapa staf mulai berdatangan, suara langkah terdengar pelan di koridor. Terlihat beberapa staf masuk ke ruangan Diego. Valerie berjalan cepat, takut melewatkan sesuatu.“Sepertinya ada pertemuan mendadak.”Valerie berhenti di mejanya, buru-buru meletakkan tas dan mengambil tablet miliknya. Ia berhenti di depan ruang Diego. Merapikan rok dan memasang senyum.Pintu terbuka. Di dalam, Diego sudah ada bersama beberapa orang—staf divisi lain, asistennya, dan Lila. Mereka duduk mengelilingi meja, map terbuka, layar laptop menyala. Wajah Diego serius.Pandangan mereka bertemu.Hanya sedetik.“Apa saya terlambat?” tanya Valerie canggung.Diego langsung memalingkan wajahnya, kembali ke pembicaraan. Tidak menjawab pertanyaan dan membuat suasana sangat canggung. Semuanya pun hanya saling pandang tak berani mengeluarkan suara.Valerie memegang erat tabletnya, membenarkan posisi kacamata, lalu berjalan masuk seperti biasa.“Apa ada yang saya lewatkan,” ucapnya
Diego bangun melihat Cahaya tipis jatuh di wajah Valerie yang masih terlelap. Butuh beberapa detik untuk menyadari semua. Banyak wanita cantik dan kaya yang bisa memberi segalanya dengan mudah, tidak ada satupun yang membuat Diego serius untuk memilikinya. Namun, wanita di depannya dengan mudah mengikatnya di satu malam panas itu.Diego mencium pipi Valerie singkat. Mencoba membangunkannya. “Sayang …” gumamnya.Tidak ada reaksi, Valerie masih memejamkan mata. Ia menunduk sedikit, mengecup bibir Valerie sekilas. Lembut. Singkat.“Diego …” suara Valerie serak saat matanya terbuka. “Apa itu senjata rahasiamu membangunkanku?”Diego tertawa kecil. “Saya hanya memastikan kamu sudah bangun atau tidak.”Valerie mengangkat wajahnya, menatap Diego dari jarak yang terlalu dekat. “Dan hasilnya?”“Berbahaya, kamu berhasil memancingku di pagi hari,” jawab Diego jujur.“Bohong, itu hanya alasan. Kamu hanya ingin seperti ini sepanjang hari.”“Itu yang kuinginkan,” bisik Diego lembut. Keduanya tida
Lila menutup pintu pantry lebih pelan dari biasanya. Ruangan itu mendadak terasa sempit, hanya berisi mereka berdua dan suara mesin kopi yang masih hangat. Sementara Valerie berusaha mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Gila! Ini benar-benar gila! ” kata Lila akhirnya, menyandarkan tubuh ke meja. “Pelankan suaramu, kamu membuatku semakin pusing.” Valerie hanya menggeleng melihat sikap Lila. Lila tertawa pendek, tapi tidak ada santai di sana. “Di saat seperti ini kamu masih bisa santai? Valerie, kamu berhadapan dengan Laura Smith.”Valerie mengangkat wajah. Tatapan Lila tidak lagi bercanda seperti biasanya saat mereka ikut menggosip di sudut kantor. Ada sesuatu yang menunggu jawaban.“Apa yang harus ditakutkan? Semua hanya tentang pekerjaan. Wanita itu salah sasaran.” Valerie berkilah. Lila menatapnya tajam, “jangan bohong, saya melihat apa yang Tuan Stanford lakukan padamu,” ujar Lila pelan. Valerie menelan ludah. Jari-jarinya mengencang di gagang cangkir. Lila mengetahuinya.
Valerie terbangun dengan tubuh yang terasa lebih ringan. Membuka matanya lebar, melihat sekeliling. Diego terlihat duduk di bawah ranjang menunggunya. Kepalanya masih sedikit berat, tapi tidak lagi berputar. Ia menggeser selimut dan duduk perlahan di tepi ranjang.“Valerie, apa yang akan kamu lakukan?”Tangan Diego menangkap pergelangan tangan Valerie saat sadar sekretarisnya bangun. Dengan hati-hati Diego menuntun tubuh Valerie duduk dengan nyaman, seolah takut Valerie akan roboh jika berdiri.“Kamu masih harus istirahat,” katanya.Valerie menoleh. Wajah Diego tampak lebih lelah darinya. Lingkar tipis di bawah matanya belum hilang. Ia teringat kilasan kemarin—keributan, lengan yang mengangkatnya, suara Diego yang terdengar terlalu dekat.“Saya sudah lebih baik,” ucap Valerie pelan.Diego menggeleng. “Kamu pingsan dan membuatku khawatir.”Valerie tersenyum kecil. “Dan sekarang saya baik-baik saja.”Diego menghela napas, melepaskan tangannya sebentar lalu mengusap wajah. “Tinggallah







