“Sudah bangun?” tanya pria itu kembali sambil tersenyum.Sementara Nilna masih berusaha menormalkan kinerja jantung yang hampir lompat dari tempatnya.“Mas Lukman ngagetin aja. Sejak kapan ada di sini?” tanya Nilna.Lukman hanya tertawa menanggapinya. “Baru lima jaman. Ya, maaf kalau bikin kamu kaget.”Nilna mengamati jam dinding. Perasaan baru sejam yang lalu ia tertidur. Ia tahu Lukman bercanda.“Kenapa nggak dibangunin?”“Nggak tega. Pules banget kayaknya.”Pria itu mengambil sesuatu dari nakas. Setelah sebuah styrofoam sudah ada di tangan, ia mengangsurkan kepada Nilna setelah menata isinya. Ada nasi hangat dan cumi-cumi lada hitam yang terlihat menggugah selera.“Makasih.” Nilna menerimanya. Entah dari mana Lukman tahu kalau itu makanan favoritnya. Apalagi olahan tangan Lukman memang tidak diragukan lagi rasanya.“Makanlah. Entah sudah berapa abad kamu nggak makan sampai kurus kering begini.” Lukman mencoba bergurau.“Terakhir ketemu kamu sekitar sebulan yang lalu. Hampir saja ak
Pria itu mendekat hendak menyiramkan sesuatu ke tubuh Nilna yang masih mengeluarkan isi lambung. Posisi Nilna membelakangi hingga tidak sadar ada bahaya yang mengintai.“Hey, mau apa kau!” Suara bentakan terdengar.“Nilna awas!” Suara Lukman terdengar melengking.Pria asing itu lalu berlari menjauh sebelum niatnya terealisasi.“Hey, tunggu! Jangan kabur!”Lukman hendak mengejar, tetapi urung karena melihat Nilna yang duduk terkulai. Wanita itu syok dan lemas. Wanita berhijab navy tersebut masih terus muntah sambil memegangi kepala yang kian terasa pusing.“Kamu kenapa bisa sampe kayak gini?” tanya Lukman.Nilna tidak bisa menjawab. Dalam keadaan biasa saja ia sering mual dan muntah, apalagi ketika mencium bangkai? Mual bertambah luar biasa.Lukman memberanikan diri masuk kamar kos-kosan untuk mencari air. Beruntung ada sebotol air mineral yang ada di atas meja tidak jauh dari pintu. Setelah barang yang didapat ada di tangan, Lukman kembali keluar. Betapa terkejutnya pria berkaus abu-a
“Nggak usah repot-repot mengabarinya.” Nilna menggeleng.Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan? Satria sudah barang tentu tidak mau datang karena itu bukan anaknya. Seumur pernikahan, pria itu tidak pernah menjamah Nilna. Mustahil juga menjelaskan semua itu kepada Lukman.Di rahimnya ada janin pria bi*dab entah siapa. Haruskah ia mencari? Namun, untuk apa? Kalau tahu siapa penj*hat itu, apa semua akan baik-baik saja atau justru makin runyam? Terlalu pusing Nilna memikirkan.Kemarin, saat rawat inap pertama dokter sudah melakukan sugesti dan beberapa terapi agar Nilna tenang dan itu sedikit membantu. Ia sudah agak tidak terlalu memikirkan kehamilannya. Namun, setelah kiriman paket itu, jiwanya tertekan lagi. Belum lagi ditambah akan dilakukan USG. Nilna seperti akan melihat hasil noda permanen di rahimnya.“Mas pulanglah. Biar aku yang nanti meneleponnya sendiri. Itu urusanku. Jangan ikut campur terlalu dalam.” “Sekali nggak tetap nggak. Aku akan menemanimu. Kalau suamimu benar-benar d
“Jangan makan yang asem, kamu lagi sakit,” cegah Anggi.“Sekali aja, Nggi. Kalau nggak ada, rujak aja. Tapi banyakin nanasnya. Pliiis.” Nilna mengiba dengan mata syarat permohonan."Pliis, Anggi.""Kalau nggak kamu beliin, aku nggak mau minum obat."“Baiklah.” Dengan berat hati, Anggi memenuhi permintaan sang sahabat.Tidak butuh waktu lama setelah keluar, apa yang diinginkan Nilna ada di hadapan.Air liur Nilna bergejolak melihat nanas dan sambal. Tidak butuh waktu lama, makanan itu habis tidak bersisa.“Nggi, lagi.”Anggi hanya mengepalkan tangan ke wajah Nilna, pura-pura marah. Nilna hanya tertawa menanggapinya.**Hanya dua hari Nilna dirawat di rumah sakit. Hari ini, ia sudah diperkenankan pulang. Saat ini, ia masih menunggu perawat melepas jarum infus di tangannya.“Aku mau nyari kos-kosan sendiri ajalah, Nggi. Nggak enak ngerepotin kamu terus,” ujar Nilna, sedangkan Anggi mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang.“Udah ratusan kali kamu ngomong gitu. Sekali lagi, berhadi
“Satria! Ke sini kau!” Suara Anggi kembali melengking.Satria menoleh sekilas, lalu kembali fokus kepada wanita di dekapannya. Seorang perawat datang sambil membawa brankar dorong, lalu wanita yang bersama Satria ditidurkan di sana. Wanita itu Rosa.“Nggi, kenapa malah kamu panggil dia? Ayo pergi aja dari sini,” ajak Nilna dengan suara bergetar.Meskipun tahu sang suami tidak pernah menginginkannya, melihat Satria bersama wanita lain sementara ia sakit, itu sangat menyesakkan. Terlebih, suaminya terlihat sangat khawatir dengan Rosa. “Nggak. Sebelum aku ngasih pelajaran ke pria itu.”“Jangan nambah masalah. Biarin dia semaunya. Aku lelah.”“Ini nggak adil, Na. Bagaimanapun juga, kamu masih istrinya, kalian masih terikat pernikahan, kamu sakit. Tapi dia nggak sekali pun peduli. Sementara itu wanita lain dan dengan manisnya diperlakukan demikian. C*h!”“Lebih tepatnya mantan. Ingat itu. Anggi, ayolah kita pergi dari sini. Atau aku akan jalan sendiri.” Nilna berusaha bangkit. Namun, belu
“Su-surat perceraian?” Nilna kembali memastikan.Anggi mengangguk. Ia menatap sahabatnya sendu.Bahu Nilna terkulai. Ia sudah mempersiapkan diri dengan semua ini, tetapi nyatanya saat sesuatu yang ‘menyakitkan’ itu benar-benar datang, hatinya tetap tercubit.“Are you okey?” Anggi menggenggam telapak tangan Nilna yang tengah melamun.Pelan, Nilna mengangguk. Ia mengambil alih kertas itu dari tangan sang sahabat.Nilna membacanya. Di sana, tertulis kalau perceraian sebab Nilna terbukti berselingkuh. Ia juga tidak berhak atas harta gono-gini sepeser pun. Nilna dilepaskan tanpa membawa apa-apa.Air mata Nilna tidak bisa dibendung. Setetes demi setetes cairan transparan itu terjatuh ke pipi.“Belum setahun bergelar istri, aku sudah berganti gelar menjadi janda. Ah, lucu sekali.”“Nilna sayang. Menangislah, bersedihlah, itu manusiawi.” Anggi membawa Nilna dalam dekapan.“Pernikahanku benar-benar harus berhenti di sini. Apa aku bisa menjadi ibu tanpa suami? Apa aku bisa memberikan hidup laya
“Aku masih waras. Aku cinta sebatas rasa hormat, nggak lebih. Kalau selama menikah aku selalu dibenci, diolok-olok, tidak mungkin di hatiku tumbuh rasa cinta sesungguhnya. Bagiku, definisi cinta itu rasa nyaman, damai, tenteram, dan saling menghargai. Aku tidak menerima semua itu dari Bang Satria. Mustahil aku bisa cinta dalam arti sebenarnya sama dia.”Anggi hanya mengangguk. “Baguslah kalo gitu.”“Apa aku harus datang ke pernikahan mereka, Nggi?”“Nggak usah! Nggak harus datang kalau kamu hanya ingin membuktikan kamu kuat. Move on, Beibeh. Hempaskan semua yang berhubungan sama Satria. Kamu sekarang wanita bebas yang bisa ke mana pun kamu suka. Saatnya menata hidup. Aku yakin kamu bisa bangkit. Pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat!”“Berlagak. Dialogmu kayak HUT RI aja. Nggak pantes kalo kamu yang ngucapin.”Keduanya tergelak.“Kamu benar, aku harus kuat, aku pasti bisa bangkit.”“Semangat!” Anggi mengepalkan tangan.Setelah membuka paket Nilna, Anggi membuka paketnya sendiri.“Kamu
“Ibu bicara apa tadi?” tanya driver online yang sempat mendengar gumaman Nilna.“Ah, bukan apa-apa, Pak.” Nilna hanya tersenyum kecut. Sungguh, saat ini hatinya sangat kalut.Nilna takut hukum sebab akibat buruk akan diterimanya.**Setelah beberapa saat perjalanan, tiba juga Nilna di kediaman sang bapak setelah sebelumnya mampir dulu ke supermarket untuk membeli beberapa oleh-oleh. Rumah sang bapak terlihat tertutup. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, akhirnya terbuka.Dua bocah menyembul di belakang wanita yang membukakan pintu.“Hore, Mbak Na datang!” Dua bocah yang terpaut usia tidak terlalu jauh itu mendekap tubuh Nilna.Nilna memberikan kantong plastik berisi makanan ringan kepada mereka.“Nggak boleh rebutan,” pesan Nilna. Dua bocah itu mengangguk, lalu berlari masuk ke kamar.“Berani ke sini setelah apa yang kamu perbuat?” tanya Yanti, ibu tiri Nilna.“Memangnya aku berbuat apa, Bu?”“Masih bisa tanya? Video itu! Bikin malu kamu, ya! Bisa-bisanya melempar kotoran ke wajah o