Semua anggota keluargaku masih terdiam usai orang suruhan Tuan Muh mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke rumahku. Ya, dia datang untuk menyampaikan jika pernikahanku dengan Zaki di majukan."A-apa. Bagaimana, Pak? Apa Anda serius?" ucap Ayah terbata."Iya, Pak. Saya serius. Bu Halimah sedang sakit dan beliau ingin segera menyaksikan anaknya menikah dihadapannya," ucap tangan kanan Tuan Muh yang seingatku bernama Pak Lukas."Tapi kami belum memiliki persiapan apapun, Pak. Bagaimana kami akan datang kesana." Kali ini Ibu yang mengatakan demikian.Pak Lukas tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaket hitamnya. "Pak, Bu. Saya mendapatkan amanah dari Tuan Muh. Mohon di terima."Diserahkannya sebuah plastik hitam yang lumayan besar, aku tak tahu apa isinya. Namun jika kuterka sepertinya berisi sejumlah uang."Apa ini?" tanya Ayahku lagi tanpa berani menyentuhnya."Ini ada sejumlah uang untuk kalian gunakan untuk bersiap-siap. Kata Tuan Muh ini kurang lebih dua puluh juta rupi
Pagi-pagi buta semua anggota keluargaku sudah disibukkan dengan persiapan pernikahanku yang diadakan sangat mendadak. Setelah kemarin tangan kanan Tuan Muh datang dan meminta hari ini agar aku dapat menikah dengan Zaki karena ibunya sakit.Aku tak terlalu sibuk, karena sejujurnya saja aku justru sibuk menata hati dan pikiranku yang sedikit kalut. Antara tak percaya dengan apa yang akan kujalani, juga sangat gugup karena sebentar lagi statusku akan berubah."Nana, kok malah diem aja. Buruan siap-siap," ucap Ibu yang baru saja melintas di depan kamarku dan melihatku masih terduduk di atas sajadah sembari melamun.Tanpa menjawabnya, aku lantas melipat sajadah yang telah kugunakan beribadah setengah jam yang lalu. Rasanya duduk dan melamun di atas sajadah seusai sholat sangat menenangkan jiwa."Bu, Arum pakai baju ini saja, ya. Yang masih terlihat bagus hanya ini," teriak Arum dari dalam kamar ketika aku memilih membuka jendela ruang tamu."Bu, jangan sampai ada yang ketinggalan, ya. Kasi
"Mbak, dari tadi Tante Gina telepon aku terus. Om Burhan juga. Kayaknya mereka mau tanya soal pernikahan kamu, deh," ucap Arum ketika kami berada di luar rumah sakit."Terus kamu angkat?"Dia menggeleng, tapi disertai kekehan kecil. "Biar aja, Mbak. Mereka pasti bingung dengan unggahanku itu.""Sebenarnya aku nggak enak, seakan menggunakan nama Zaki untuk naik ke atas," ujarku dengan menyandarkan tubuhku di kursi taman tempat kami mengobrol.Arum juga langsung terdiam, dia menatapku dengan sendu. "Mbak, aku tahu bagaimana perasaanmu. Lagipula soal rumah, itu sudah menjadi hakmu sebagai istri kan? Dan juga, Ayah menolak pemberian rumah dari Mas Zaki "Ya, memang benar. Usai Zaki mengutarakan niatnya untuk mengajak mereka pindah, Ayah menolah. Ia merasa tak enak hati jika lantas pindah dan menempati rumah pemberian keluarga Zaki. Hanya saja, Ayah meminta pekerjaan pada Tuan Muh agar bisa untuk menyambung sekolah Arum. Dan betapa baiknya mereka, Ayah justru dijadikan sebagai pengawas lad
Sampai hari ini aku belum bisa melupakan kejadian saat keluargaku dihina dan ditertawakan saat datang ke acara pernikahan Tari. Yaitu saat kami memakai seragam bekas, sedangkan mereka semua bersuka cita dengan seragam baru nan cantik.Bagaimana hatiku tidak sakit, terlebih dengan jelas Tante Gina mengirimkan foto seragam baru yang masih banyak, hanya saja dia tak memberikan kepada kami. Kenapa? Bukankah dia adik kandung Ayah? Kenapa hanya perkara Ayah miskin, mereka sampai sebenci itu kepada kami? Perkara miskin atau kaya, kami juga tak bisa memilih, toh Ayah juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi kami keluarganya.Dan sekarang, saat semua telah diputuskan oleh Ayah dan kami memilih untuk hidup damai tanpa mereka, justru mereka yang mengusik kami. Terlebih kali ini, setelah Budhe Risma memakiku di depan umum, lalu Laras melontarkan sebuah fitnah kepadaku.Bagaimana bisa, aku sudah digauli oleh lelaki lain yang bukan muhrimku? Sedang aku saja selalu menjaga pandangan dan ta
Aku masih terdiam usai Zaki mengatakan jika ia mengajakku ke rumah Tante Gina untuk memastikan apakah dia benar-benar sakit atau hanya mengelabuhiku. Sebelum ini, Laras sudah memfitnahku dan kini suamiku ingin membuktikan sendiri bahwa perkara Laras semuanya bohong."Hei, kenapa malah diam?""A, benaran?"Zaki mengangguk, lalu bangki dari duduknya. "Iya, aku serius. Besok kamu siap-siap. Kita ke rumah Tantemu, kalau memang dia benar-benar sakit, tak ada salahnya kita jenguk, kan?"Kedua mataku kembali berkaca-kaca, aku sangat terharu dengan sikap Zaki. Ia sungguh bijaksana dan tak mudah percaya dengan perkataan orang lain."Lagipula aku lihay ada yang aneh dari keluargamu. Mereka kenapa? Sepertinya terlihat sangat membencimu?"Apakah aku harus jujur pada Zaki? Bagaimana tabiat keluargaku?"Nana, tak apa kalau kamu belum siap cerita. Aku akan ....""Oh, tidak. Bukan begitu. Aku hanya tak enak jika harus menceritakan hal itu kepadamu," tuturku."Memangnya aku siapa? Aku ini suamimu, Nan
"Lho, kamu nggak percaya, Nak. Apa yang dikatakan Laras itu betul, saya memang sakit, bahkan kemarin tidak bisa bangun. Untung Laras sangat perhatian, jadi Tante bisa sembuh lebih cepat," tutur Tante Gina seakan belum menyerah, padahal sudah jelas-jelas terlihat jika mereka berbohong."Iya, saya percaya, Tante. Lagipula kedatangan saya kemari karena ingin mengantarkan istri saya untuk menjenguk Anda," jawab Zaki lembut dengan merangkul bahuku.Aku tahu jika Zaki hanya ingin menjaga perasaanku karena sejak tadi tak ada satupun yang memperdulikan keberadaanku. Sebenarnya aku tidak terkejut lagi, karena memang begitu tabiat keluarga Ayah."Em, seharusnya kamu itu jangan percaya dengannya, Nak Zaki. Kadang perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Kami sudah hafal dengan tabiat keluarganya. Seharusnya sadar diri kalau mereka itu tidak sebanding dengan keluarga Nak Zaki, tidak malah berani-beraninya ganjen ke Nak Zaki." Mana mungkin ada orang sakit yang bisa memaki seperti itu, te
"Zaki, kok kamu mau sih sama Nana? Bukannya banyak ya yang naksir kamu? Malah lebih segalanya dari dia," tutur Vika lagi membuatku semakin geram."Memangnya kenapa? Yang penting itu hatinya, kan?""Ya tapi kan dia ....""Eheemm, A udah belum milihnya?" ucapku mengagetkan mereka.Zaki lantas mendekat ke arahku dengan membawa sebuah parfum lelaki, dan dia juga meraih keranjang belanjaanku. Memang seperti itu lah kebiasaanya kalau kami sedang berbelanja. Dia tidak akan membiarkanku membawa keranjang belanjaanku sendiri."Sudah, kamu sudah selesai?" tanyanya terlihat canggung."Eh ada Vika juga. Apa kabar?" Aku sengaja menatapnya dengan senyuman lebar di bibirku.Namun bukan sambutan hangat pula yang kudapatkan, melainkan sapaanku diacuhkan olehnya. Sedari dulu kami tak terlalu dekat, dan memang dari dulu tidak banyak anak yang mau dekat denganku karena aku ini miskin. Mereka menyangka jika aku hanya akan merepotkannya saja."Baik. Eh sudah dulu ya Zaki, aku pergi dulu. Oh iya, soal yang
"Tidak usah sok baik, Nana. Kamu pasti senang kan anakku sekarang ada di dalam sana dan kritis? Pasti kamu sedang menertawakan kami, kan?" ujar Budhe Risma memakiku.Rasanya aku sangat menyesal telah berkomentar. Jika tahu begini aku akan diam saja."Maaf, Budhe. Istri saya hanya bertanya, kenapa Anda sekasar itu?" ucap Zaki ketika mendengar jawaban Budhe Risma.Tatapan Budhe Risma masih tajam ke arahku, sedangkan aku memilih mengalihkan pandangan daripada harus ribut di tempat seperti ini. Sudah kukatakan, mereka tak akan bisa menghargaiku meski aku sudah menjadi konglomerat sekalipun."Memang begitu adanya Nak Zaki. Dia pasti hanya ingin menertawakan keluargaku yang sedang kesusahan."Aku memilih diam, tapi dengan hati yang sangat dongkol. Seburuk-buruknya diriku, aku tak akan menertawakan saudaraku yang sedang kesusahan seperti mereka."Maaf, aku bukan seperti kalian yang justru menertawakan keluargaku ketika sedang kesusahan. Kalau sekiranya Budhe tidak mau kami temani, tak apa, b